Lahir di sebuah keluarga yang terkenal akan keahlian berpedangnya, Kaivorn tak memiliki bakat untuk bertarung sama sekali.
Suatu malam, saat sedang dalam pelarian dari sekelompok assassin yang mengincar nyawanya, Kaivorn terdesak hingga hampir mati.
Ketika dia akhirnya pasrah dan sudah menerima kematiannya, sebuah suara bersamaan dengan layar biru transparan tiba-tiba muncul di hadapannya.
[Ding..!! Sistem telah di bangkitkan!]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bayu Aji Saputra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Trauma masa lalu?
Mereka terus berjalan melewati lebatnya hutan yang mulai diselimuti senja.
Cahaya oranye matahari perlahan meredup, menciptakan bayangan-bayangan panjang di antara pepohonan.
Suasana menjadi sunyi, hanya suara gesekan daun dan gemerisik ranting yang terdengar setiap kali angin berhembus pelan.
Kaivorn berjalan di depan, langkahnya ringan, hampir tanpa suara, namun setiap gerakan tampak penuh perhitungan.
Dia tahu betul medan yang mereka lalui, meskipun belum pernah datang ke hutan ini sebelumnya.
"Buku survival di hutan sangat membantu." gumam Kaivorn dalam hati, mengingat buku yang pernah dia baca di perpustakaan Vraquos.
Di belakangnya, Calista mengikuti dengan ragu.
Setiap kali ranting patah di bawah kakinya, tubuhnya sedikit tersentak, seolah-olah bunyi itu akan menarik perhatian bahaya yang tak terlihat.
Gerakannya kaku, terkadang tidak sinkron, membuat Kaivorn menoleh sesekali dengan alis terangkat.
Meskipun Calista bergerak seakan pernah dilatih, ada sesuatu yang tidak pas, seperti ada celah antara keterampilan yang dia kuasai dan trauma yang membebani tubuhnya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Kaivorn tanpa menoleh, namun nada suaranya menunjukkan perhatian.
Calista mengangguk cepat, sedikit gugup. "Ya… ya, aku baik-baik saja," jawabnya, meskipun suaranya terdengar terlalu pelan untuk meyakinkan.
Kaivorn tidak menanggapi, tapi dalam hatinya, ia mengamati lebih dalam.
"Dia tidak bergerak seperti orang biasa," pikir Kaivorn, alisnya sedikit berkerut. "Gerakannya mengingatkanku pada ahli sihir, tapi ada sesuatu yang tidak selaras. Ada ketidakkonsistenan."
Setiap langkah Calista tampak menghindar, seolah takut akan sesuatu yang tidak terlihat.
Tidak ada yang salah dengan caranya melangkah, bahkan Kaivorn bisa melihat ada pola yang terlatih.
Gerakan yang mirip dengan ahli sihir yang terampil, tetapi bersamaan juga tidak.
Ada keraguan di sana, seakan tubuhnya enggan menuruti pikiran yang seharusnya lebih percaya diri.
"Mungkin karena trauma masa lalunya..." pikir Kaivorn. "...sebagai budak pelarian."
Gerakan-gerakannya yang kaku dan seringnya menundukkan kepala adalah sisa-sisa dari kehidupan lamanya, kehidupan yang penuh dengan ketakutan dan perintah.
Kaivorn menghela napas dalam hati. "Mungkin dia butuh lebih banyak waktu untuk merasa aman."
Kaivorn melirik kembali ke arah Calista, berusaha menegaskan sesuatu yang mengusik pikirannya.
"Tampilkan profil Calista," perintahnya kepada sistem dalam hati.
...—————————————————————————...
...[Profil]...
...[Nama: Calista]...
...[Tittle: -]...
...[Usia: 15]...
...[Tinggi Badan: 1,67 Meter]...
...[Berat Badan: 43 Kilogram]...
...•••••••••••••••••••••••••••••••...
...[Kemampuan]...
...[Tidak memiliki kemampuan]...
...••••••••••••••••••••••••••••••••••...
...[Statistik]...
...[Kekuatan: 14]...
...[Konstitusi: 16]...
...[Kecepatan: 13]...
...[Kecerdasan: 19]...
...[Pesona: 38]...
...—————————————————————————...
"Sangat lemah," gumam Kaivorn dalam hati setelah meneliti profil tersebut. Sorot mata merahnya menatap tajam, terlahir dari rasa curiga yang mendalam. "Namun, mengapa hal ini justru membuatku semakin penasaran?"
Setelah beberapa saat berjalan, Kaivorn melihat sebuah celah kecil di antara pepohonan yang tampak menjanjikan sebagai tempat istirahat.
Ia mempercepat langkah, dan ketika sampai di sana, sebuah tanah lapang kecil yang teduh dengan sungai kecil di sisinya terlihat.
"Kita bisa berhenti di sini untuk malam ini," ujar Kaivorn sambil melirik Calista, yang tampak sedikit lega. "Sungainya bersih, dan tempat ini cukup tersembunyi."
Calista hanya mengangguk lagi, tidak banyak bicara.
Kaivorn bisa merasakan kelelahan dari tubuh gadis itu, mungkin ketakutan akan masa lalu masih menghantui pikirannya.
Tanpa banyak bicara, Kaivorn mulai bekerja.
Ia mengambil beberapa ranting kering yang berserakan di tanah dan menyusunnya dengan rapi.
Ranting-ranting itu dipilihnya dengan teliti, yang lebih besar diletakkan di bagian bawah sebagai dasar, dan di atasnya, ranting yang lebih kecil disusun berseberangan untuk memberikan ruang bagi udara.
Tangannya bergerak cepat dan efisien, mengingat kembali cara membuat api unggun yang pernah dia baca dalam salah satu buku survival di perpustakaan keluarganya.
Ia kemudian mengambil sepotong batu tajam dari tanah, dan dengan penuh perhatian, ia menggosokkan dua batu itu satu sama lain.
Percikan kecil muncul dan menari di udara, menantang udara sejuk malam.
"Membuat api tidak terlalu sulit," ucap Kaivorn, penuh percaya diri.
Ia melanjutkan prosesnya dengan menempatkan beberapa serbuk kering di bawah tumpukan ranting.
Ketika percikan api akhirnya menyentuh serbuk itu, nyala api kecil mulai muncul.
Kaivorn dengan sigap mengarahkan aliran udara dari mulutnya untuk membantu menyalakan api.
Dalam sekejap, api unggun itu membesar, menerangi sekelilingnya dengan cahaya hangat dan mengusir kegelapan malam.
Cahaya dari api unggun yang baru menyala memantul di wajah Kaivorn, menyorotkan keseriusan di balik tatapan matanya yang merah menyala.
"Duduklah di dekat api. Itu akan menghangatkanmu," kata Kaivorn, kali ini suaranya lebih lembut.
Dia memandang Calista yang terlihat sedikit ragu sebelum akhirnya duduk dengan hati-hati di dekat api.
Ada keheningan yang aneh di antara mereka.
Calista menatap api dengan pandangan kosong, sementara Kaivorn diam-diam mengamati.
Ada sesuatu yang tidak biasa dalam cara gadis itu bertingkah, sesuatu yang sulit dijelaskan.
Tangannya sering kali menggenggam rok lusuhnya, meremasnya kuat-kuat, dan setiap kali ia mencoba berbicara, suaranya gemetar.
"Mereka... Mereka selalu bilang aku tak berguna..." gumamnya pelan, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Kaivorn menoleh, Ia bisa mendengar ketakutan dan keraguan dalam kata-kata Calista, seolah setiap kalimat adalah cermin dari luka batin yang dalam.
Dia tidak langsung menanggapi, membiarkan keheningan mengisi udara di antara mereka.
Dalam hening itu, Kaivorn melihat tangan Calista bergetar samar saat dia meraba lehernya, seolah mencari sesuatu yang tak ada.
Gerakannya kecil, nyaris tak terlihat, tapi mata tajam Kaivorn berhasil menangkapnya.
"Itu gerakan yang aneh." pikirnya, mencoba menganalisis lebih jauh. "Apakah ini efek dari trauma? Atau ada sesuatu yang lain?"
"Apa kau pernah... diperlakukan dengan kejam?" tanya Kaivorn perlahan, suaranya hati-hati namun penuh perhatian.
Dia tahu betul bahwa membangkitkan kenangan lama bisa jadi pedang bermata dua—mungkin bisa membantu Calista membuka diri, tapi bisa juga menyakiti lebih dalam.
Calista tersentak kecil, dan matanya sejenak terpejam rapat.
"Bukan kejam..." bisiknya akhirnya, tapi Kaivorn bisa melihat tubuhnya menegang. "Mereka hanya... memperlakukan aku seperti... seperti barang yang bisa dibuang kapan saja."
Diam sejenak.
Api unggun berkedip-kedip, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di tanah.
Kaivorn mengangguk pelan, tanpa banyak berkata-kata.
Di dalam hatinya, ia semakin yakin bahwa Calista telah melewati banyak hal yang mengerikan dalam hidupnya.
"Aku harus lebih sabar dengannya." ucap Kaivorn dalam hati. "Trauma seperti ini tidak mudah hilang."
Namun, ada sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih aneh dari sekadar trauma.
Tiba-tiba, Kaivorn melihat Calista memegangi kepalanya, raut wajahnya menegang dalam sekejap.
Ia tampak kebingungan, seolah ada sesuatu yang tidak beres di dalam dirinya.
"Calista?" Kaivorn mendekatinya dengan cepat.
Namun, sebelum ia bisa menyentuh bahu gadis itu, Calista melepaskan tangannya dari kepala dan memaksakan senyum lemah.
"Tidak apa-apa... Hanya sedikit pusing..." katanya dengan nada yang hampir meyakinkan, tapi Kaivorn bisa merasakan ada yang tidak beres.
Meski begitu, ia memutuskan untuk tidak menekan lebih jauh.
Malam semakin gelap.
Mereka berdua duduk di sekitar api, diam dalam pikiran masing-masing.
Angin malam mulai berhembus lebih dingin, namun kehangatan api unggun tetap menjaga mereka.
Kaivorn menatap api unggun yang berkedip lemah, merasakan dinginnya angin malam yang semakin menusuk.
Matanya kembali melirik Calista, yang tampak tenang dalam tidurnya, namun Kaivorn tahu betul itu hanyalah kedok.
Gadis itu menyimpan sesuatu yang lebih gelap dan berbahaya di balik wajah polosnya.
"Ada sesuatu yang sangat salah," pikirnya lagi, lebih tajam kali ini.
Gerakan kecil Calista, kilatan aneh di matanya sesekali, semua itu menyiratkan sebuah rahasia besar yang bersembunyi di balik kulitnya yang rapuh.
Keheningan malam mendadak terpecah.
Suara gemerisik dari pepohonan di sekitar mereka semakin jelas.
Kaivorn bangkit, matanya menyipit penuh kewaspadaan.
Sesuatu sedang mendekat—bukan hewan liar, melainkan manusia.
Puluhan orang melompat dari balik bayangan pepohonan, muncul seperti bayangan kelam yang siap menerkam.
Senjata mereka bersinar redup di bawah cahaya bulan.
"Keluarlah," kata Kaivorn, suaranya rendah namun jelas terdengar hingga ke bayang-bayang yang mendekat. "Jika kalian datang untuk mencari masalah, maka kalian telah memilih waktu yang salah...."
Dia mengangkat satu tangan ke belakang lehernya, merasa terganggu oleh kehadiran yang tiba-tiba itu.
Sebuah senyum dingin tersungging di wajahnya, lalu dia melanjutkan. "...Karena aku sedang dalam suasana hati yang buruk."
[The basic sword art of Vraquos (B) telah di aktifkan.]