Hilya Nadhira, ia tidak pernah menyangka bahwa kebaikannya menolong seorang pria berakhir menjadi sebuah hubungan pernikahan.
Pria yang jelas tidak diketahui asal usulnya bahkan kehilangan ingatannya itu, kini hidup satu atap dengannya dengan status suami.
" Gimana kalau dia udah inget dan pergi meninggalkanmu, bukannya kamu akan jadi janda nduk?"
" Ndak apa Bu'e, bukankah itu hanya sekedar status. Hilya ndak pernah berpikir jauh. Jika memang Mas udah inget dan mau pergi itu hak dia."
Siapa sebenarnya pria yang jadi suami Hilya ini?
Mengapa dia bisa hilang ingatan? Dan apakah benar dia akan meninggalkan Hilya jika ingatannya sudah kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IAS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
STOK 28: Menuju Ke Rumah
Waktu berangkat Hilya dan Tara pun tiba, satu hal yang membuat Hilya berat adalah Hafiz. Adik lelaki satu-satunya Hilya itu terus menangis sedari sore tadi.
" Fiz, kamu lho udah gede masa nangis gitu. Nanti kalau libur dijemput buat main ke jakarta."
" Bener lho Mbak, awas ngapusi (bohong)."
Tara mengusap lembut kepala Hafiz, dia meyakinkan bahwa hal itu pasti akan terjadi. Jadi ia berkata untuk tidak khawatir.
Secara bergantian Yani dan Sulis memeluk putri mereka, pun dengan Tara. Sulis juga mengatakan sesuatu kepada Tara yang intinya adalah ia menitipkan putrinya. Tara tentu dengan sepenuh hati akan menjaga wanita yang ia cintai.
" Kami pamit dulu Pak, Bu, assalamualaikum."
Bruuum
Mobil Rubicon itu mulai melaju meninggalkan pekarangan rumah Hilya menuju jalan. Pelan tapi pasti, mereka mulai menjauh dari lingkungan tempat kelahiran Hilya.,
Tes
Air mata Hilya tidak lagi bisa ia bendung. Ia bahkan sampai terisak. Tara membiarkan istrinya itu sejenak larut dengan dirinya sendiri. Ia ingin Hilya mencurahkan semua rasanya saat ini.
" Maaf Mas, nggak seharusnya aku kayak gini."
" Eiiih, ya nggak apa-apa lah. Wajar kok kalau kamu sedih gini. Kalau kamu nggak nangis malah aneh. Tapi mau apapun ekspresi wajahmu, kamu tetep cantik di mataku."
Hilya terkekeh kecil mendengar ucapan suaminya. Ia kini tahu bahwa Tara adalah orang yang hangat dan bisa membuat suasana kaku menjadi cair.
Perjalanan yang lumayan lama dan tentunya jauh bagi Hilya, membuatnya bolak balik memejamkan mata. Sebenarnya ia berusaha keras untuk membuka matanya agar bisa menemani Tara saat mengemudi. Namun ternyata matanya kembali terpejam setelah terbuka beberapa waktu.
Ckiiit
" Mas, kita dimana?"
" Cirebon, kita istirahat sebentar. Cari makan yuk, kamu pasti laper."
Hilya mengangguk, Tara menggandeng tangan istrinya saat berjalan di kawasan rest area. Meskipun ia yakin bahwa tidak akan ada bahaya di tempat itu, tapi instingnya mengatakan bahwa ia tetap harus hati-hati, terutama perihal Hilya.
" Maaf ya kamu harus kayak gini?" sesal Tara. Ya saat ini Hilya diminta oleh Tara mengenakan sebuah kaca mata, masker dan menutupi kepalanya dengan jaket hoodie. Sedangkan Tara sendiri ia mengenakan topi dan juga sebuah kacamata. Bahkan Tara memasang sebuah kumis palsu tipis.
Tara melakukan semua itu bahkan sengaja berangkat saat malam hari untuk menutupi identitasnya. Entahlah ia hanya merasa harus melakukan seperti apa yang ia pikirkan.
" Nggak apa-apa Mas, kamu pasti punya pemikiranmu sendiri."
Tara mengusap lembut kepala Hilya. Ia sungguh bersyukur istrinya begitu paham tentangnya.
Sekitar setengah jam, mereka kembali naik ke mobil dan bersiap melanjutkan perjalanan. Tara melihat ke sekeliling area istirahat itu, dania bersyukur bahwa di sana tidak ada orang yang mencurigakan.
" Mas, apa mau aku gantiin nyetirnya?"
" Eeh, kamu bisa bawa mobil kah? Tapi nggak perlu sayang, aku aja yang nyetir kamu cukup duduk tenang. Tidur aja ya, aku nggak masalah kok."
Sebenarnya saat ini wajah Hilya tengah memerah. Setiap Tara memanggilnya dengan panggilan 'sayang' ia merasa malu karena belum terbiasa. Tapi mungkin ia harus mulai membiasakan telinganya dengan panggilan itu, karena Tara begitu ringan dalam mengucapkannya yang sesungguhnya hatinya pun merasa senang.
Mobil mulai membelah jalan bebas hambatan. Tidak lambat tapi juga tidak terlalu cepat. Tara memprediksi bahwa mereka akan sampai dini hari nanti. Ia melihat sepintas ke arah Hilya, istrinya itu tidur dengan lelap. Saat mengantri di gardu tol, Tara membenarkan posisi kursi milik Hilya sehingga terasa lebih nyaman. Dia juga menyelimuti tubuh istrinya dengan jaket miliknya.
Mungkin ini terlalu dini, tapi rasa sayang dan cinta Tara terhadap Hilya sudah bertumbuh dengan cepat. Ia ingin segera menyelesaikan semua masalah ini dan kembali lagi ke tempat dimana Hilya berada.
Sebuah rencana yang ia susun yakni ia ingin tinggal di lingkungan tempat Hilya lahir. Bahkan dia sudah mencari informasi tentang tanah yang dijual. Ia berencana membangun rumah di sana dan tinggal di tempat itu. Meski masih wacana tapi Tara serius tentang keinginannya tersebut.
Karena baginya yang seorang seniman, mau dimana saja tempat tinggalnya itu tidak akan jadi masalah. Dia tidak bekerja dnegan ikatan waktu dan tempat, jadi seharusnya ini akan lebih mudah. Untuk Nizam dan Luhan, dia bisa menjadikan mereka sebagai pengelola galeri yang ada di Jakarta, atau mereka bisa ikut bersamanya.
Semuanya bisa diatur sedemikian rupa. Namun saat ini yang terpenting adalah mengungkap dalang dibalik kecelakaan yang terjadi padanya.
" Aku kok ngrasa rencana mereka ini agak miss ya? Kalau mereka mau bunuh aku, seharusnya cukup ditenggelamin di laut kan beres. Ngapain kudu di buang di kebun? Aah iya Aunty Bri, aku harus ngehubungi Aunty Brisia kalau udah sampai rumah."
Sepanjang mengemudikan mobil, Tara terus berpikir tentang semua peristiwa yang terjadi padanya. Namun sebenarnya jika ditarik garis lurus, kunci dari semuanya adalah ingatannya yang hilang. Tara yakin jika ingatannya kembali maka semuanya akan jadi lebih mudah dari ini.
" Haaah, ini juga, ngapain ada yang mau amb TBGS. Padahal kan sebenernya tuh lukisan salah nama and konsep. Seharusnya itu tuh lukisan sunrise atau matahari terbit, tapi malah sama Tuan Romario dibilang Sunset atau matahari terbenam. Ya suka-suka dia sih, hanya saja kenapa beliau minta aku buat melukis dua lukisan yang 'mirip' ya?"
Tara mengusap wajahnya kasar. Ia mengingat waktu itu dia memang masih kecil, Romario menghubunginya untuk membuat sebuah lukisan dnegan contoh gambar dari sebuah foto. Tapi selang satu hari permintaan pria itu berubah, yakni dia meminta dibuatkan dua buah. Hanya saja yang lukisan yang kedua tidak perlu diberi nama Raka Pittore, dan ada detail yang dihilangkan.
Jika dilihat sekelebat akan terlihat sama, namun jika diperhatikan secara seksama ada beberapa detai yang hilang.
" Sepertinya kalau udah sampai aku harus lihat lagi tuh lukisan. Kayaknya ada sesuatu di sana."
TBC