NovelToon NovelToon
ALTAIR: The Guardian Eagles

ALTAIR: The Guardian Eagles

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Fantasi Timur
Popularitas:15.4k
Nilai: 5
Nama Author: Altairael

[MOHON DUKUNGAN UNTUK CERITA INI. NGGAK BAKAL NYESEL SIH NGIKUTIN PERJALANAN ARKA DAN DIYAN ✌️👍]

Karena keserakahan sang pemilik, cahaya mulia itu pun terbagi menjadi dua. Seharusnya cahaya tersebut kelak akan menjadi inti dari kemuliaan diri si empunya, tetapi yang terjadi justru sebaliknya---menjadi titik balik kejatuhannya.

Kemuliaan cahaya itu pun ternoda dan untuk memurnikannya kembali, cahaya yang telah menjadi bayi harus tinggal di bumi seperti makhluk buangan untuk menggenapi takdir.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Altairael, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

MELAYAT

"Memangnya kamu ngimpi apa?" Bu Harnum bertanya sambil melangkah ke jendela dan menyingkap gordennya, menyisakan tirai tipis.

Tidak menjawab pertanyaan ibunya, Diyan malah mengalihkan topik. "Hujan, tapi kayaknya langit cerah banget."

Bu Harnum langsung teringat pada Bu Salamah. "Oh, iya. Yu Salamah tadi telpon, ngabari kalau keponakannya meninggal."

Sejenak suasana hening. Meskipun bukan anggota keluarga orang yang meninggal, kabar duka tetaplah terasa memilukan.

"Kalau gitu, kita kudu pergi melayat." Pak Satria mengusulkan.

"Mending aku sama kamu saja---"

"Aku juga mau." Diyan menyela dan ketika melihat ibunya menatap gelisah, dia menambahkan dengan bersungut-sungut, "Jangan perlakukan aku seperti pesakitan, Bu!"

"Nggak, bukan begitu." Bu Harnum buru-buru menyanggah, dia tidak mau bersitegang lagi dengan si bungsu. "Baiklah, kita semua pergi." Akhirnya, dia memutuskan. Meski bibir tersenyum, tetapi sesungguhnya hati sangat risau.

Jika hendak melayat, mereka harus pergi ke candi. Karena Desa Pandan memiliki tradisi: mengharuskan setiap jenasah terlebih dahulu dibawa ke candi untuk didoakan oleh para tua-tua sebelum dikebumikan.

Kemarin, Diyan mengalami masalah saat hendak menginjakkan kaki di jembatan yang menuju candi. Sebenarnya, itulah alasan kenapa Bu Harnum tidak ingin si bungsu ikut.

"Aku tidak ikut, palaku rasanya pening." Semua mata serta-merta menatap Arka yang sedang memijit pangkal hidungnya.

"Kenapa tiba-tiba?" Mata menyipit, Diyan menatap curiga kakaknya.

"Entahlah." Wajah Arka terlihat letih dan suara pun lirih. "Kepala ini rasanya denyut-denyut. An, aku numpang istirahat di sini bentar." Tanpa memberi muka pada adiknya, Arka langsung membaringkan diri dalam posisi miring membelakangi Diyan.

"Ya, sudahlah. Nanti kita bicarakan lagi saat sarapan. Sekarang ibu mau ke dapur dulu." Bu Harnum segera beranjak, sesampai di pintu berhenti sebentar hanya untuk mengatakan, "Kalau mau ikut ya buruan mandi terus siap-siap, An."

Pak Satria menatap Arka dan baru membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, tetapi urung gara-gara si sulung itu mengedipkan mata, memberi kode.

"Aah---kalau begitu aku juga harus siap-siap." Akhirnya Pak Satria mengatakan sesuatu yang sebelumnya sama sekali tidak terlintas dalam benaknya. "Kamu juga buruan, An."

Diyan bergeming. Tadi dia memaksa ikut karena yakin kakaknya pasti ikut. Kalau sudah begini, harus bagaimana? Setelah menimbang sejenak, akhirnya dia memutuskan untuk tetap pergi.

Arka membalik badan ketika merasakan adiknya beranjak dari tempat tidur. "Mau ke mana?"

"Ke mana lagi? Mandi terus siap-siap, lah," balas Diyan acuh tak acuh sambil melangkah ke kamar mandi.

Arka bangun dan termangu. "Keras kepala," gumamnya lirih.

Pintu kamar mandi terbuka dan kepala si bungsu menyembul. "Mas Arka, menurut Mas mimpi dihajar manusia bersayap emas, tapi nggak sakit juga nggak luka, itu pertanda baik atau buruk?"

"Kenapa tanya begitu?" Arka bertanya sambil mengernyitkan dahi dan melangkah mendekat.

"Tadi aku ngimpi seperti itu. Hebat, kan? Manusia bersayap emas itu menendangku ke batu besar. Tapi, aku nggak pa-ap malah batu itu yang hancur. Makanya aku ketawa ngejek. Mana tahu bakalan ngigau." Diyan nyerocos santai dan ringan tanpa menyadari perubahan di wajah sang kakak.

"Apa kamu ingat seperti apa wajah manusia bersayap itu?"

"Matanya hitam pekat dan tajam, alisnya runcing," Diyan menarik kedua ujung alisnya sendiri untuk memeragakan, "rambutnya hitam belah tengah. Oh, iya, pucuk rambutnya runcing kayak ujung pedang di sini." Dia menyentuh bahu, lalu bergeser turun untuk memeragakan rambut panjang yang ada di bahu menjuntai hingga ke dada.

Altair Agung Cariyapurna, Arka  membatin.

"Woe, Mas Arka ... bukannya Mas tadi bilang sakit kepala? Woe .... Ish, malah bengong." Diyan tidak sabar menunggu kakaknya sembuh dari bengong, langsung saja menghempas pintu kamar mandi.

Arka yang tengah lingkung pun terlonjak seketika saat pintu kamar mandi itu menggebrak. Sejenak dia terpaku menatap permukaan putih di depannya denga debaran jantung yang menggila. Dia tengah menimbang-nimbang, perlukah menceritakan mimpi Diyan kepada ayah dan ibunya?

Baik dirinya maupun ayah dan ibu, sudah mengetahui bahwa takdir mereka harus digenapi. Akan tetapi, menanti saat-saat takdir itu akan datang, rasanya seperti berada di dalam ruang penyiksaan yang gelap gulita dan kedap suara. Tahu maut itu akan datang, tetapi tidak bisa memastikan kapan dan dari arah mana. Setiap saat jiwa gelisah dan waspada, lelah sekali rasanya.

Dengan hati gamang Arka keluar dari kamar Diyan. Dia melangkah di lorong dengan benak dipenuhi pertanyaan tentang mimpi sang adik.

"Masalahnya, untuk melayat kita harus pergi ke candi. Kamu belum lupa kejadian kemarin, kan?"

Di antara desir air hujan, samar-samar Arka mendengar perkataan ibunya. Dia pun bergegas melangkah ke dapur.

"Tentu saja ingat, tapi kamu tau sendiri seperti apa dia," ujar Pak Satria dengan suara lelah.

Arka menimpali, "Lagian, ini sangat aneh. Tiga orang meninggal dalam semalam, di waktu yang hampir bersamaan dan dengan kondisi yang sama pula. Coba lihat juga cuaca pagi ini ...."

Kemunculan Arka menginterupsi obrolan kedua orang tuanya. Mereka menyambut kedatangan si sulung dengan senyum hambar. Arka tidak melanjutkan aksi pura-pura sakit, itu berarti dia sudah mutlak gagal mencegah si bungsu. Bu Harnum sudah bisa mendugany.

"An tetep mau pergi, kan?" Wajah Bu Harnum terlihat merana dan putus asa.

Arka duduk di samping ayahnya, berusaha tetap tenang meski sebenarnya hati risau. "Kita semua bersamanya, nggak usah terlalu khawatir." Sejenak, dia memandang bergantian pada ayah dan ibunya lalu berkata, "Besok sebelum tengah malam---"

"Kami tahu apa yang harus kami lakukan, Nak." Pak Satria menyela. Dia tidak mau ambil risiko bila tiba-tiba Diyan muncul dan mendengarnya.

Bibir Arka berkedut tipis, air ludah pun tiba-tiba seolah menjadi padat dan menyakiti kerongkongan saat ditelan. Hampir semalaman dia tidak bisa tidur karena memikirkan adiknya juga Bhanu Angkara. Takdir seperti apa yang harus mereka genapi dan nasib yang bagaimana yang akan diperbaiki? Semua berputar di kepalanya seperti benang kusut dan ruwet setelah dipermainkan kucing.

Sekitar satu jam kemudian setelah rutinitas pagi selesai, mereka pun keluar dari rumah diiringi kejailan Diyan.

"Bilang saja Mas Arka nggak berani tinggal di rumah sendiri," ujarnya sambil melingkarkan lengan di leher sang kakak.

Arka yang menjadi korban kejahilan pun tersenyum lebar. Diraihnya leher si bungsu, kemudian dipiting di bawah lengan. Tidak sampai menyakiti, tetapi bukan Diyan namanya jika tidak mendramatisir keadaan.

"Aw! Mas, ini sakit loh!"

"Ish, diam. Aku mau bawa kamu ke mobil kayak gini."

Diyan memberontak. "Ini penghinaan. Aku nggak mau." Dalam sekali sentak dia berhasil membebaskan diri, lalu melompat ke punggung kakaknya. "Begini lebih terhormat." Dengan sengaja dia mengeratkan dekapan pada leher sang kakak.

Arka terbatuk-batuk. "An, sesak."

Pak Satria dan Bu Harnum tergelak riang melihat keakraban mereka. Keakraban yang dalam lima hari terakhir ini sedikit berkurang karena keadaan yang tidak kondusif.

Walaupun hendak pergi ke tempat berkabung, mereka tidak bisa menyangkal rasa senang yang tengah menyirami hati. Di dalam mobil yang dikemudikan Pak Satria, Diyan terus berbuat jail. Namun, dia tidak berani mengusik ayahnya yang kebagian mengemban tugas berat.

Pak Satria sangat hati-hati saat melaju di jalan menurun basah yang, bahkan masih terus mengalirkan air dari dataran tinggi. Sesampai di pintu pagar pembatas, Dia menghentikan mobil tanpa mematikan mesin.

"Biar aku saja yang buka!" Diyan yang suasana hatinya benar-benar telah pulih, dengan senang hati menwarkan diri untuk membuka pintu pagar.

Setelah itu, perjalanan pun mulus tanpa hambatan. Sesampai di tujuan, mobil mereka diparkir di bahu jalan sebelah kanan kemudian menyeberang berdua-dua di bawah satu payung. Seperti halnya mereka, orang-orang yang datang ke candi pun kebanyakan memakai pakaian berwarna gelap.

Pak Satria dan Bu Harnum sudah mencapai jembatan dan tanpa ragu melangkah di atasnya. Sementara itu, Arka dan Diyan masih belum menyusul. Arka menggenggam tangan adiknya erat-erat karena si bungsu terlihat ragu. Mereka sampai harus menepi untuk memberi jalan pada orang yang hendak lewat.

"Percayalah, kali ini akan baik-baik saja. Lagian kamu nggak sendiri in." Arka berusaha meyakinkan adiknya.

Diyan pun akhirnya mengangguk. Namun, baru saja dia hendak mengayun kaki tiba-tiba insiden kecil terjadi.

"Ufh!

"Aow!"

Arka dan Diyan sama-sama tergelincir dari bibir jembatan, jatuh dan terguling di tangga yang tidak seberapa tinggi hingga terkapar di atas genangan air. Payung yang tadinya dipegang Arka pun terlepas, terbang dan mendarat di permukaan danau.

Tidak ada yang menjadi saksi atas peristiwa itu, selain gadis berambut panjang, bertudung hitam yang tidak lain adalah orang yang telah menyebabkan mereka terjatuh. Gadis itu berdiri mematung dengan tatapan tajam, menyaksikan kakak-beradik itu saling mendukung untuk bangkit.

"An, kakimu!" Arka berseru cemas saat tiba-tiba adiknya kembali jatuh, padahal dia sudah memapah lengannya.

"Kakiku lemas."

"Sini biar kugendong saja ...."

"Menjauh dari tempat ini."

Arka tersentak dan membatu sesaat. Setelah itu, dengan cepat menoleh ke arah jembatan bertepatan dengan sosok gadis berpakaian hitam tadi melangkah pergi.

Apakah dia yang barusan memberikan peringatan? Arka pun mulai menerka-nerka.

"Mas Arka, bantu aku."

Tidak ada waktu untuk menerka-nerka lebih lama. Mereka harus segera menyingkir dari tempat itu, apalagi pakaian juga sudah basah kuyup.

Tidak disangka, Diyan yang barusan bilang kakinya lemas, sekarang bisa bangkit sendiri.

"An, kakimu?"

Diyan pun menggerak-gerakkan kakinya. "Sekarang ngak pa-pa," ujarnya lirih dengan waja bodoh dan tatapan bingung.

1
bang sleepy
Akhirnya sampai di chap terakhir update/Whimper/ aku bagi secangkir kopi biar authornya semangat nulis 🤭💗
bang sleepy
pengen kuguyur dengan saos kacang rasanya/Panic/
bang sleepy
brisik kamu kutu anjing! /Panic/
bang sleepy
bisa bisanya ngebucin di moment begini /Drowsy/
bang sleepy
mank eak?
diyan selalu berada di sisi mas arka/Chuckle/
bang sleepy
shock is an understatement....... /Scare/
bang sleepy
sabar ya bang arka wkwwk
bang sleepy
tetanggaku namanya cecilia trs penyakitan, sakit sakitan trs. akhirnya namanya diubah. bru sembuh
bang sleepy
mau heran tp mrk kan iblis /Drowsy/
bang sleepy
dun dun dun dunnnn~♪
bang sleepy
astaga suaranya kedengeran di telingaku /Gosh/
bang sleepy
Hah... jd raga palsu itu ya cuma buat nguji arka ama diyan
Alta [Fantasi Nusantara]: Kenyataan emang pahit ya🤣🤣🤣🤣🤣🤣
total 1 replies
bang sleepy
bener uga ciii /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
bang sleepy
idih idihhh
bang sleepy
nyembur wkwkwkwk
bang sleepy
Tiba-tiba cinta datang kepadaku~♪ #woi
bang sleepy
kan bener. kelakuannye kek bokem. tp dia altair
bang sleepy
agak ngeri ngeri sedap emg si diyan ini wkwkw
Alta [Fantasi Nusantara]: /Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
total 1 replies
bang sleepy
anaknya anu kah
bang sleepy
buseeeeddd
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!