Anisa menerima kabar pahit dari dokter bahwa dirinya mengidap kanker paru-paru stadium empat, menandakan betapa rapuhnya kehidupan yang selama ini ia jalani.
Malamnya, ketika Haris pulang dari dinas luar kota, suasana di rumah semakin terasa hampa. Alih-alih menghibur Anisa yang tengah terpuruk, Haris justru membawa berita yang lebih mengejutkan. Dengan tangan gemetar, Anisa membaca surat yang disodorkan Haris kepadanya. Surat yang menyatakan perceraian antara mereka berdua setelah 15 tahun membina rumah tangga.
Ternyata, memiliki kehidupan yang harmonis ekonomi yang bagus, serta anak-anak yang lucu tak bisa mempertahankan sebuah hubungan Anisa dan Haris.
Bagaimana kisah mereka selanjutnya? Yuk, simak di Bunda Jangan Pergi!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bunda 23
Minggu itu terasa begitu cepat bagi Tania, Haris, dan Anisa. Setiap hari, Tania berusaha keras untuk mengurus anak-anak mantan pacarnya, Haris. Ia ingin menjadi calon ibu yang baik bagi mereka. Anisa pun turut senang membantu Tania dalam menjalankan tugas-tugas rumah tangga.
Pagi itu, anak-anak duduk dengan tenang di ruang tamu, asyik bercanda dan tertawa bersama Tania. Mereka tampak begitu akrab dan menyenangkan, seperti sebuah keluarga bahagia. Anisa yang baru keluar dari kamarnya, merasa terkejut melihat anak-anaknya yang belum bersiap-siap untuk ke sekolah.
"Tania, kenapa anak-anak belum siap untuk sekolah?" tanya Anisa dengan nada khawatir. Tania tersenyum dan menjelaskan.
"Aku berencana mengambil cuti untuk mereka hari ini, Anisa. Aku pikir kita semua perlu waktu untuk lebih mengenal satu sama lain dan bersenang-senang bersama." Anisa terdiam sejenak, kemudian tersenyum mengerti.
"Baiklah, Tania. Aku percaya kamu tahu yang terbaik untuk anak-anak. Tapi, jangan lupa untuk mengajari mereka pelajaran sekolah juga ya." Tania mengangguk dan berjanji akan meluangkan waktu untuk mengajari anak-anak pelajaran sekolah. Mereka melanjutkan hari itu dengan berbagai kegiatan menyenangkan, seperti bermain di taman, menonton film kesukaan mereka, dan memasak makanan favorit bersama-sama. Seiring waktu berlalu, Tania semakin dekat dengan anak-anak dan menjadi sosok ibu yang baik bagi mereka. Anisa pun merasa lega melihat anak-anaknya bahagia bersama Tania, dan mereka semua berharap kebahagiaan ini akan terus berlanjut. Alvin, yang semula tak akrab dengan Tania kini pun mulai menerima wanita itu di dalam rumahnya.
Anisa dan Tania tersenyum bahagia saat melihat Alvin, Salsa, dan Rayhan bersemangat memilih barang yang ingin mereka beli di pusat perbelanjaan. Sudah lama sekali sejak terakhir kali mereka meluangkan waktu bersama-sama seperti ini.
"Alvin, kamu mau beli mainan apa?" tanya Anisa kepada anak sulungnya yang tengah asyik melihat-lihat berbagai mainan di etalase.
"Aku mau beli robot ini, Bun," jawab Alvin sambil menunjuk robot yang menarik perhatiannya.
"Baiklah, nanti Mama belikan ya," sahut Anisa sambil mengelus kepala Alvin yang sumringah.
Sementara itu, Salsa dan Rayhan tampak sibuk memilih buku cerita yang ingin mereka baca nanti. Tania menghampiri mereka dan berkata.
"Pilih buku yang bagus ya, Sayang. Nanti kita bisa baca bersama sebelum tidur." Salsa dan Rayhan mengangguk antusias, kemudian kembali mencari buku pilihan mereka. Setelah semua barang yang ingin dibeli oleh anak-anak telah dipilih, Anisa, Tania, dan ketiga anaknya berjalan menuju kasir. Mereka membayar semua barang tersebut dengan senang hati, mengetahui bahwa hari ini merupakan waktu berkualitas yang langka dan sangat berharga bagi mereka.
Di jalan pulang, Anisa dan Tania saling berpandangan dan tersenyum, merasa bersyukur karena bisa meluangkan waktu bersama anak-anaknya. Mereka tahu bahwa momen seperti ini sangat berarti bagi Alvin, Salsa, dan Rayhan, serta menjadi kenangan indah yang akan selalu mereka ingat.
Tiba di rumah, Haris sudah menunggu mereka. Meskipun sudah seminggu tinggal bersama dengan Anisa dan Haris, Tania masih terlihat begitu canggung saat bertemu dengan pria itu.
"Anak-anak, ayo kita masuk! Kalian harus mandi dan bersiap-siap untuk makan malam,"Anisa berkata sembari mengajak anaknya untuk masuk dan meninggalkan Tania dan Haris di depan pintu.
"Hai,"sapa Haris dengan senyuman canggung di wajahnya.
"Hai,"balas Tania yang sama canggungnya.
"Kamu juga perlu membersihkan diri. Kita semua akan makan malam bersama,"lanjut Haris, Tania mengangguk dan melenggang pergi begitu saja. Haris hanya dapat melihat punggung wanita itu yang berlalu di hadapannya.
Malam itu, suasana di ruang makan keluarga Anisa terasa begitu nyaman dan damai. Cahaya lampu yang hangat menyinari meja makan yang tertata rapi, sementara suara anak-anak tertawa dan berceloteh mengisi keheningan. Mereka tampak sangat bersemangat untuk menghabiskan makan malam yang telah disiapkan oleh Anisa dengan penuh cinta dan kasih sayang. Anak tertua Anisa dan Haris, Alvin, yang berusia 11 tahun, tiba-tiba mengatakan.
"Tante Tania, aku ingin minta bantuanmu untuk mengerjakan tugas kesenian sekolah besok. Bolehkah kamu membantuku setelah makan malam ini?" Anisa yang mendengar perkataan Alvin terkejut, karena biasanya Alvin selalu meminta bantuan darinya.
Sementara itu, Salsa, anak kedua Anisa berusia 6 tahun yang sebentar lagi akan lulus di TK, juga tampak ingin mencari perhatian Tania. Ia berkata dengan polos, "Tante Tania, nanti malam bolehkah aku tidur bersama kamu? Aku ingin kamu membacakan cerita dongeng sebelum tidur." Anisa merasa ada perasaan aneh yang mulai mengusik hatinya.
Dia menyadari bahwa Tania, orang yang akan membantunya untuk merawat ketiga anaknya setelah dia tiada, telah menjadi sosok yang begitu dekat dengan anak-anaknya. Namun, dia mencoba untuk tidak memikirkan hal itu terlalu dalam dan berusaha menikmati momen kebersamaan keluarganya di meja makan. Ada perasaan cemburu dan iri dalam diri Anisa tetapi sesaat kemudian Haris menggenggam erat tangan kiri Anisa seakan berbisik jika ini adalah pilihan Anisa sendiri. Anisa tersenyum dan melupakan perasaan yang menganggu hatinya itu.
Malam semakin larut, langit terasa semakin gelap dan bintang-bintang bersinar redup. Anisa terbaring di tempat tidur sambil memandangi Rayhan, anak terakhirnya yang tertidur dengan lelap di sampingnya. Namun, di tengah keheningan malam, suara tawaan Salsa dan Alvin yang bergema dari kamar Tania membuat hati Anisa bergetar seakan hendak pecah. Saat itu juga, Anisa merasakan sesuatu yang mengganjal di dadanya, seolah ada benang yang kian erat mengekang jantungnya.
Anisa menahan isakannya dan mengusap kedua matanya yang mulai berair. Perlahan, air mata itu jatuh mengucur, membasahi bantal di bawah kepalanya. Anisa membayangkan betapa hancurnya hati ketiga anaknya jika suatu saat ia harus pergi untuk selamanya. Sebuah perasaan yang tak terungkapkan membuat Anisa semakin larut dalam duka dan kesedihan. Meski ia berusaha untuk tidak memikirkan hal itu, namun pikiran itu terus menghantui dirinya, seperti bayangan yang tak ingin pergi.
Di sela-sela isak tangisnya, Anisa meraih tangan Rayhan yang mungil itu dan menggenggamnya erat. Seolah ingin meneguhkan dirinya bahwa ia akan selalu ada untuk anak-anaknya, menemani dan melindungi mereka dalam suka dan duka. Namun, di balik keteguhan hatinya itu, Anisa tahu bahwa dirinya tak memiliki kekuatan untuk melawan takdir yang telah digariskan. Anisa menutup matanya dan menghembuskan nafas panjang, berusaha menenangkan hati yang terus bergetar. Dalam hati yang penuh harap, ia berdoa semoga Tuhan melindungi ketiga anaknya dan memberi mereka kekuatan untuk melanjutkan hidup meski tanpa kehadiran ibu yang mencintai mereka.
Sementara itu, Haris di dalam kamar tamu sedang mengerjakan beberapa dokumen penting untuk perusahaannya. Haris, sendiri juga sering merasakan perasaan tak enak ketika dia berada di meja makan sama dengan kedua wanita yang pernah ada di hidupnya.
akhirnya km akan meninggal dgn perasaan sakit hatimu ketika anak2mu yg tidak membutuhkan kamu
kurang suka dgn sosok Anisa yg menyerah sebelum berjuang
dasar bapak lucnut dpt daun muda uang sekolah anak2 di abaikan
semoga Anisa sembuh thor