Aku hampir gila, karena dihadapkan pada dua wanita.
Nadira adalah gadis pilihanku, sedangkan Naura adalah gadis pilihan ibu.
Jika tetap mempertahankan Nadira, maka hati ibulah yang akan tersakiti, tetapi jika memilih wanita pilihan ibu, maka aku harus siap melihat Nadira terluka dan kecewa.
lalu aku harus bagaimana? Apa aku bisa mencintai wanita pilihan ibu seperti aku mencintai Nadira?
hai...mampir yuk di cerita terbaruku!
jangan lupa like dan komen ya.. terima kasih...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Embunpagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 23
Jangan tanya siapa yang memulai. Tahu-tahu kami sudah memulai penyatuan panas.
Namun setelah selesai melakukan ritual malam pertama, mengapa aku merasakan Nadira berbeda dengan Naura?
Malam pertamaku dengan Naura jauh lebih indah jika dibandingkan dengan Nadira. Dan yang membuat aku heran, kemana noda merah pembuktian keperawanan Nadira? Apa mungkin Nadira tidak perawan lagi?
"Raf, kamu kenapa termenung?"
Suara manja dan mendesah dari Nadira membuyarkan lamunanku.
Ternyata Nadira sudah mandi. Itu terlihat dari rambutnya yang masih basah.
"Kamu mandi gih! Bau."
Nadira menutup hidungnya.
Aku hanya mengangguk lalu mengambil handuk dan masuk ke dalam kamar mandi.
Aku menyiram kepalaku dengan air dingin, berharap pikiran negatif yang bersarang di kepalaku segera hilang.
***
Nadira sedang turun ke bawah. Katanya ada keluarga yang ingin bertemu dengannya. Saat menawarkan diri untuk mengantarnya kebawah, tapi Nadira menolak. Katanya, aku disuruh istirahat saja.
Sepeninggal Nadira, aku memilih berbaring di ranjang hotel. Kebetulan Nadira tidak ada, aku pun mengambil ponsel dan menelpon Naura.
"Assalamualaikum mas.."
Terdengar suara serak diujung telepon.
"Waalaikumsalam, kamu sakit Nau?"
Tanyaku sedikit panik.
"Enggak mas."
Jawabnya singkat. Setelah itu suasana menjadi hening.
"Nau..kita video call ya?"
"Enggak usah mas.." tolaknya.
Karena penasaran dengan keadaan Naura, akhirnya aku pun memaksa Naura untuk melakukan video call.
Naura menyembunyikan wajahnya. Ia kill kamera ponselnya pada langit-langit kamar.
"Nau..aku ingin melihat wajah mu."
"Untuk apa mas? Bukankah mas sedang bersenang-senang hari ini. Mengapa meneleponku?"
"Apa aku tidak boleh menelpon mu? Aku rindu Nau!"
Naura tertawa, hanya tertawa. Setelah itu ia izin untuk menyudahi obrolan kami.
Hari ini aku gagal melihat wajahnya meski sudah memaksa sekalipun.
Aku menghela napas kasar. Suntuk!
Karena mengantuk, akhirnya aku pun memilih tidur tanpa menunggu Nadira kembali.
***
Krieeeettt!
Aku terbangun kala mendengar suara pintu dibuka. Lampu kamar hotel yang sengaja ku matikan membuat bayangan seseorang mengendap-endap masuk ke dalam kamar.
Aku mengambil posisi duduk. Mataku dengan jeli memperhatikan sosok yang sedang berjalan-jalan mengendap-endap.
Tidak bisa menahan rasa penasaran, aku menghidupkan lampu tidur yang ada di sebelah ku.
"Rafka?"
Panggil Nadira. Wajahnya mendadak berubah pucat.
"Ka..kamu belum tidur?" Tanyanya cepat.
Aku memandang jam yang bergantung di dinding.
Sudah pukul sepuluh malam. Itu artinya Nadira pergi hampir dua jam.
"Maaf Raf! Ta-tadi aku bertemu dengan temanku, karena keasyikan mengobrol aku jadi lupa kalau aku..aku sudah menikah denganmu."
Aku manggut-manggut mendengar lasan Nadira yang masih masuk akal. Dia kan baru satu hari jadi istriku, jadi dia masih harus menyesuaikan statusnya sekarang.
***
Aku berdiri mematung di depan cermin. Penampilan ku sungguh berantakan. Mata sembab menghiasi wajahku.
Menangisi mas Rafka, itu yang kulakukan semalam. Ternyata tidak mudah berbagi suami dengan wanita lain meski pada saat itu bibirku terasa ringan untuk mengizinkannya.
Setelah tiga hari sendiri tanpa kehadiran mas Rafka, hari ini aku mencoba untuk bangkit. Cukup rasanya melakukan hal yang tidak berguna.
Hal pertama setelah bangun pagi adalah mandi. Ya, sudah tiga hari aku tidak mandi. Bahkan jadwal makan ku pun berantakan karena menangisi mas Rafka.
Aku berdiri di depan cermin. Menatap wajahku yang kusam, mataku yang bengkak dan sembab. Bahkan rambutku terlihat sangat kusut. Benar-benar tidak menarik.
Bagaimana kalau tiba-tiba mas Rafka pulang?
Bahkan ia semakin tidak berselera melihat aku dengan penampilan yang sangat buruk.
Yang lebih ngerinya lagi, rumah ini sudah tiga hari tidak dibersihkan. Debu-debu menempel di setiap ruangan. Piring kotor juga menumpuk di wastafel.
Oh, no!
Setelah merias wajah, aku mulai membereskan ruangan demi ruangan. Bukankah aku masih berusaha mendapatkan hati mas Rafka? Aku belum menang saat ini.
Jadi...apa salahnya berjuang?
***
Huft!
Aku menghela napas lega.
Akhirnya rumah ini kembali bersih seperti dulu. Beruntungnya aku, mas Rafka tidak memergoki diriku dalam keadaan berantakan.
Suara bel di depan rumah berbunyi berkali-kali. Setelah menyambar jilbab seadanya aku bergegas berjalan ke depan. Siapa yang datang siang-siang? Aku bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Cklek!
Pintu terbuka. Seraut wajah lelah muncul di depan pintu.
Mas Rafka?
"Nau.."
Mas Rafka memelukku erat. Mengecup pucuk kepalaku lalu tangannya mengusap perut buncitku.
Seperti tahu, dedek bayi di dalam perutku bergerak mendapat sentuhan lembut dari mas Rafka.
Mas Rafka merunduk, mengecup perutku berkali-kali.
Karena malu dilihat orang, akhirnya aku mengajak mas Rafka masuk kedalam rumah.
Mas Rafka duduk di kursi ruang tamu. Ia menyenderkan tubuhnya di kursi.
"Mas, mau minum teh?"
"Boleh."
Sahut mas Rafka singkat.
Aku bergegas pergi ke dapur. Berbagai pertanyaan berputar-putar di kepalaku.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Apa mas Rafka hanya lelah perihal malam pertama mereka? Secara mereka masih berstatus pengantin baru.
Ada rasa sakit yang menggerogoti dada.
"Mas..ini teh manisnya."
Aku menyuguhkan teh buatanku diatas meja.
Teh manis hangat itu langsung diminum oleh mas Rafka hingga habis.
"Nau..duduk sini." Mas Rafka menepuk tempat kosong disebelahnya.
Aku menurut saja duduk disebelah mas Rafka.
"Nau.. aku lelah menjalani biduk rumah tangga dengan Nadira." Ucap mas Rafka pelan.
Mataku membulat hampir tidak percaya dengan ucapan mas Rafka.
"Bolehkah aku menjatuhkan talak pada Nadira?" Ucap mas Rafka lagi.
Kali ini mas Rafka menatapku serius.
"Kamu kenapa, mas?"
Mas Rafka menunduk, wajahnya seperti menyimpan banyak beban.
Saat aku masih menunggu kelanjutan cerita mas Rafka, tiba-tiba ponsel miliknya berdering.
Mas Rafka hanya menatap ponsel itu sebentar, kemudian membiarkan ponsel itu tetap berbunyi.
Meski tidak jelas, tapi aku bisa tahu. Itu pasti Nadira.
"Angkat mas!"
Mas Rafka hanya menggeleng lemah.
"Aku lelah, Nau. Aku lelah menghadapi sifat manja Nadira. Aku..aku menyesal pernah berhubungan dengan Nadira. Kalau saja waktu bisa kuputar kembali, tentu aku tidak ingin sepenggal ceritaku dengan Nadira ada. Nau..aku tertipu."
Tertipu? Aku tidak salah dengar mas Rafka tertipu? Tertipu dalam hal apa?
"Nau..Nadira sudah tidak perawan lagi."
Perkataan yang keluar dari mulut mas Rafka bak petir yang menggelegar di siang hari.
"Bahkan aku tidak menemukan setitik darah pun saat malam pertama kami. jika dia tidak bisa menjaga harga dirinya, bagaimana dia bisa menjaga harga diriku nanti? Bagaimana nasib keturunan kami nanti yang akan lahir dari rahimnya? Apa dia bisa menyandang gelar ibu terbaik untuk anak kami nanti?"
Aku yang menjadi pendengar cerita mas Rafka hanya bisa diam seribu bahasa.
seperti appa! sakit. udhh gitu nadira kena racun dr air ketuban yg nyerang syaraf dan janntung. mukanya menyot ke kiri. tangan lumpuh,kaki lumpuh sebelah.
90% isinya perempuan/ istri2 yh ditinggal nikah lagi dan suaminya tdk peduli dgn anak2nya. yg buat stress dan depresi yg istrinya tdk bisa cari uang,tdk bisa apa2