"Mas, besok jadwal kontrol Revan. Kamu punya waktu untuk nganterin aku 'kan?" tanya Azzura pada sang suami.
"Tidak bisa, aku besok ada urusan," jawab Rio ketus
"Tapi, Mas. Sungguh aku repot bila pergi sendirian. Bahkan untuk makan saja aku tidak bisa," jawab Zura masih meminta pengertian lelaki itu.
"Aku bilang tidak bisa ya tidak bisa! Kalau kamu kerepotan, yasudah, kamu tidak perlu membawa anak itu lagi ke rumah sakit. Lagipula percuma saja ngabisin uangku saja!" bentak lelaki itu dengan bicaranya yang menyakiti relung hati Zura.
Ya, sejak kelahiran anak pertama mereka yang diagnosa cerebral palsy, maka dari sanalah dimulainya hubungan pasangan itu tak harmonis. Rio selalu saja menyalahkan Zura karena telah memberikannya keturunan yang tidak sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Risnawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di perjalanan
Pagi ini semua sudah bersiap untuk berangkat, kebetulan liburan kali ini mereka menggunakan jalur darat, dan bahkan kedua anak muda itu ingin nyetir sendiri.
Umi dan Abi, juga Tante Vera di kendarai oleh Pak Iwan, yaitu supir pribadi Zico yang sudah puluhan tahun bekerja bersamanya. Sedangkan Mama Mila dan Papa Adri di kendarai oleh supir mereka sendiri.
"Zurra, kamu dan Humaira sama Zaf ya," ucap Umi sembari membantu mengenakan pakaian untuk Revan.
"Baiklah, Umi. Sini biar saya saja, Umi," pinta Zurra merasa sungkan.
"Tidak apa-apa, Zurra. Umi sudah terbiasa mengurus bayi," ucap wanita itu masih keukuh mengurus bayi istimewanya.
Setelah selesai mengurusi Revan, Umi tak lantas memberikan pada Zurra, tetapi ia langsung menggendongnya.
"Semua keperluan Revan sudah di packing kan? Jangan ada yang ketinggalan," tanya Umi kembali mengingatkan.
"Sudah, Umi, semua sudah saya kemas," jawab Zurra sembari mengekor di belakang Umi.
"Zurra, sini aku masukin barang bawaan kamu ke bagasi mobil," ucap Zafran segera mengambil alih koper yang sedang di geret oleh Zurra.
Zurra hanya mengangguk menyerahkan barang bawaannya pada lelaki itu.
Setelah semua barang sudah masuk ke bagasi mobil masing-masing, kini saatnya mereka bergerak untuk meninggalkan kediaman itu.
"Zurra, Revan biar sama Umi dulu ya. Nanti kalau rewel Umi beritahu kamu," ucap Umi yang sedari tadi masih menggendong bayi mungil itu.
"Tapi, saya takut Revan merepotkan Umi," ucap Zurra tak enak.
"Tidak apa-apa, mana mungkin dia merepotkan. Ya kan, Sayang?" sahut Umi masih menimang bayi itu.
"Tidak apa-apa, Zurra. Revan aman sama Umi dan Abi. Nanti kalau dia haus, kita bisa cari tempat istirahat," sambung Zaf tampak senang. Namun rasa senangnya hilang seketika.
"Yasudah, kalau begitu ayo kita berangkat sekarang. Zurra, Maira, ayo masuk ke mobil Zaf!" titah Umi
Zafran hanya menghela nafas pelan, yang tadinya sangat berharap mempunyai waktu berdua dengan Zurra akhirnya pupus sudah.
"Terus, aku sama siapa dong?" tanya Rayy tak mau kalah.
"Salah sendiri sok-sokan mau nyetir juga. Udah kamu sama Mama dan Papa saja," sahut Mama Mila pada anak semata wayangnya itu.
"Nggak mau, Ma. Zaf aja bawa mobil masa aku nggak," jawabnya ngeyelan.
"Rayy, tinggal saja mobil kamu. Ayo masuk," titah Papa Adri.
"Nggak mau, Pa. Aku mau nyetir juga. Kalau nggak gini saja. Bagaimana jika Zhera sama aku, kan mobil aku kosong. Jadi biar ada teman ngobrol," timpal lelaki itu yang membuat Umi menatap tajam.
Mana mungkin wanita itu membiarkan putrinya harus berduan dengan lelaki yang bukan muhrimnya. Meskipun Rayy sudah seperti anak sendiri, tapi rasanya tidak mungkin membiarkan mereka berdua saja.
"Sudah, jangan bingung-bingung. Sekarang mobil Rayy di tinggal saja. Dan Rayy ikut dengan Zafran. Jadi kalian bisa bergantian mengemudi," ucap Abi Zi memberi solusi.
"Nah, kalau itu Umi setuju!" sambung Umi dengan cepat.
"Kami juga setuju!" ucap Mama dan Papa.
Zafran tersenyum tipis melihat wajah Rayy yang tak bersemangat. "Udahlah, jangan berkhayal terlalu tinggi, kalau jatuh begini kan sakit. Tenanglah, di dalam masih ada Maira yang akan menemani kamu," bisik Zaf sembari merangkul pundak sahabatnya.
Rayy menatap malas pada Zaf, lalu segera masuk kedalam mobil Zaf, ia mengambil bangku kemudi.
"Kamu yang ngemudi?" tanya Zaf.
"Iya, ayo kamu duduk di depan." Titah Rayy.
"Bagaimana jika Maira saja, soalnya aku ingin istirahat di kabin tengah," ucap lelaki itu beralasan.
"Hah, nggak usah banyak alasan kamu. Aku bilangin Umi kamu ya. Ayo masuk!" titahnya membuat Zaf dengan berat hati duduk di bangku yang ada di samping supir.
"Rayyan! Zafran! Ayo berangkat!" panggil Umi pada kedua lelaki itu yang masih saja tawar menawar.
Akhirnya mereka menduduki di bangku masing-masing yang sudah di tentukan. Sementara Zahira dan Humaira duduk di bangku tengah.
Mobil rombongan keluarga Pak hakim itu sudah mulai bergerak meninggalkan kota bertuah untuk tujuan ke kota Padang.
Zafran memutar musik sedikit kocak agar tak mengantuk. Zaf juga selalu curi-curi pandang pada Zurra. Namun, Maira merasa dirinya yang di lihat oleh Dokter tampan itu.
Maira sedikit merasa gugup saat Zaf selalu menatap ke belakang ke arah dirinya dan Zurra.
"Kak Zurra sebelumnya tinggal dimana?" tanya Maira mencoba memecahkan suasana.
"Saya tinggal di kota kecil yang ada di Xx." Zurra menjawab dengan jujur.
"Oh, apakah orangtua kakak masih ada?"
"Sudah tidak ada. Saya yatim piatu."
"Maaf kak, saya tidak tahu," sesal Maira merasa bersalah membuat Zurra sedih.
Zurra tersenyum sembari memegang tangan Maira. "Tidak perlu merasa bersalah begitu. Saya tidak pa-pa kok," ucap Zurra tersenyum lembut.
Kedua wanita itu terlibat obrolan cukup serius, mereka sudah tampak akrab dari sebelumnya. Sementara itu Zaf dan Rayy hanya diam mendengarkan obrolan mereka.
Sudah cukup jauh mereka melewati sepanjang jalan, terdengar suara ponsel Zaf berdering. Ternyata Umi yang menghubunginya.
"Ya, Umi?"
"Zaf, kita berhenti cari tempat istirahat ya. Sepertinya Revan sudah haus," ucap Umi.
"Baiklah, akan aku suruh Rayy berhenti setelah kami menemui tempatnya."
"Rayy, cari tempat istirahat dulu. Revan sudah haus ingin ASI," ucap Zaf.
"Baiklah, kita mau berhenti dimana?" tanya Rayyan.
"Cari tempat yang nyaman."
"Yang nyaman di hotel, Zaf," jawab Rayy.
"Bukan itu maksud aku. Seperti warung yang ada lesehannya. Sekalian kita bisa ngopi santai."
"Oke, kamu juga bantuin lihatnya."
"Apakah Revan rewel, Dok?" tanya Zurra yang sedikit tidak jelas isi percakapan Umi dan Zaf.
"Tidak terlalu rewel, tapi sepertinya dia sudah haus. Sebentar kita cari tempat istirahat dulu ya," ucap Zaf yang tampak begitu lembut menjawab pertanyaan Zurra.
"Baiklah, tapi jika sudah rewel biar sama saya saja, Dok. Kasihan Umi nanti repot."
"Kata Umi tidak apa-apa. Kamu tenang saja. Bentar lagi kita istirahat. Nah, itu kayaknya bagus tuh," tunjuk Zaf pada sebuah warung bakso cukup bersih dan mempunyai pondok lesehan.
Rayyan segera mengarahkan kemudinya berhenti di depan warung bakso itu.
"Benaran kita istirahat disini saja?" tanya Rayy memastikan sekali lagi.
"Iya, disini saja, Pak," jawab Zurra dengan cepat, karena ia tidak enak sama Umi. Takut bila Revan merepotkan mereka.
"Kak Zurra lucu banget ya, panggil Bang Zaf, "Dokter" Panggil Bang Rayy "Bapak" timpal Humaira tersenyum lucu dengan panggilan wanita itu. "Kenapa se formal itu, Kak? Anggap saja mereka seperti saudara sendiri," ujar Maira.
"Iya, aku setuju dengan Maira. Masa aku masih mudah mentah begini di panggil Bapak-bapak," ucap Rayy setuju dengan Maira.
Zurra hanya tersenyum malu. "Hehe, aku masih bingung mau panggil mereka apa," jawab Zurra dengan rona malu.
"Tidak perlu bingung Zurra, kamu bisa panggil aku Ay, atau Beb. Hahaha... Canda kok," ucap Zaf yang sebenarnya memang maunya begitu.
Bersambung....
Happy reading 🥰