Hidup sebagai single parent tak membuat Risa kesulitan dalam membahagiakan putri semata wayangnya. Namun satu hal yang ia lupakan. Safira, putrinya, juga membutuhkan sosok lelaki yang di sebut ayah, yang meski ada tapi terasa tak ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon putrijawa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lamaran
PoV Rendy
Sedari pagi tadi aku sudah menelponi Risa. Namun tak kunjung diangkat. Saat ku tanyakan pada Zein tentang kakaknya, dia bilang Risa sedari subuh belum bangun. Bahkan dia juga belum mengisi perutnya.
Tidak mungkin dia berhibernasi. Sekarang kan bukan musim penghujan.
Aku tahu, mungkin dia kelelahan. Karena Zein bilang kalau mereka pulang sangat larut dari Kafe. Aku merasa bersalah karena tak mengikuti saran Kak Mira untuk menunggunya. Lagian aku juga memikirkan bagaimana aku nantinya akan pulang, jika aku harus menunggunya pulang hingga acara selesai. Tidak mungkin kami saling antar mengantar. Apalagi sampai aku harus menginap dirumahnya. Hal yang tidak mungkin terjadi.
Entah sudah berapa puluh panggilanku yang diabaikan oleh Risa. Aku mulai frustasi. Ku lirik jam di ponsel. 11.53. Sebentar lagi memasuki waktu zuhur. Jika sampai kami tiba disana dia belum mempersiapkan diri bagaimana ? Ah, siapa peduli. Ku lamar saja dia walau hanya memakai daster. Baiknya ku peringatkan dia terlebih dahulu agar memperhatikan pakaiannya.
[Sehabis Zuhur aku akan kerumah. Pakai baju yang rapi. Jangan kayak inem]
Ku kirimkan pesan pada Risa. Masalah dibaca atau tidak, itu urusan belakangan. Setidaknya jika nanti dia ingin mengomeli aku, aku punya pembelaan. Aku lalu gegas mengikuti Papa menuju mesjid. Setelah memastikan persiapan yang akan dibawa ke rumah Risa lengkap.
*****
Pulang dari mesjid. Ku lihat Sakha sudah duduk di kursi teras dengan berpakaian rapi. Tampan sekali bocah itu. Wajahnya persis milikku saat aku kecil dulu. Itu kulihat di album poto masa kecil dulu. Mama masih menyimpannya dengan rapi di lemari bersama buku - buku bacaan lainnya.
Kak Mira dan Mama mengeluarkan bingkisan seserahan. Papa, kulihat sedang menyalakan mesin mobilnya dan mengecek keadaan mobil. Lita, sepupuku dari pihak Papa, yang sudah beberapa hari tinggal dirumah keluar membawa bucket bunga.
"Pasti kalian semua lupa sama yang ini, kan ?", ucapnya sambil meletakkan bucket tersebut ke pelukkannya.
Kak Mira terkesiap. "Iish... Kamu bener, Lit. Untung aja ada kamu. Kalo gak, calon kadal ini mana ngerti sama urusan yang begini. Aku heran deh sama kamu, Ren. Kok bisa gitu kamu dulu jadi buaya ? Gonta - ganti pacar. Sebulan bisa dua kali ganti. Tapi urusan yang begini, nih kamu malah gak ngerti. Gak ada romantis - romantisnya". Ucap Kak Mira dengan nada meremehkan.
"Eh, jangan salah, Kak. Bang Rendy ini romantis loh orangnya. Aku pernah liat dia bawa bucket waktu pacaran sama... lupa namanya siapa. Yang ada tahi lalatnya di deket pipi itu. Yang orangnya manis. Kalo gak salah mereka pacaran empat bulan. Rekor buat bang Rendy karena cuma sama itu cewek bang Rendy bisa lama pacarannya. Itu dia romantis, loh Kak. Tapi keseringan romantis kok bang Rendy ini kalo sama pacar - pacarnya".
Aku tak tahu dari mana Lita bisa tahu itu semua. Karena yang ku tahu, Lita saja sekolah dan kuliah di luar daerah. Kenapa bisa dia tahu segala gerak - gerikku dengan beberapa wanita. Untuk sedikit informasi. Lita sudah kuliah semester tiga di salah satu universitas ternama di Jakarta. Dia sengaja pindah kesini karena bosan berada jauh dari keluarga. Sebelumnya dia kuliah di Padang, Sumatera Barat.
"Aku juga kadang mikir, mungkin ini yang dinamakan fase metamorfosis. Dari buaya ke kadal. Cuma sama Risa, dia gak bisa romantis dan gak bisa marah. Hebat, kan Risa ?", Kak Mira sungguh pengamat yang baik. Dia tahu betul bagaimana aku jika sudah di dekat Risa.
"Assalamualaikum... "
"Waalaikumussalam... "
Ucap kami serempak sambil menoleh ke sumber suara. Pria jangkung dengan kemeja batik lengan panjang warna cokelat dan celana jean warna abu - abu membuatku terkesima. Apa - apaan dia ? Tampilannya kenapa seolah dia yang punya acara ? Hampir mirip denganku, hanya berbeda dengan warna batiknya. Aku melirik Mama yang terus tersenyum melihat keponakannya itu.
"Waw... Mas Tio ganteng banget. Kalau bang Rendy", ucapnya sambil mengibaskan tangannya ke arahku. "Eh, tapi tunggu deh. Kita ini sebenernya mau ngelamar untuk siapa, Tan ? Bang Rendy atau Mas Tio ? Takutnya kak Risa nanti salah sangka lagi. Kak Risa kan suka sama Mas Tio".
Astaga. Kenapa hatiku jadi ketar - ketir gini sih dengan ucapan Lita. Mereka ini apa - apaan ? Bukannya menyemangatiku, malah membuatku cemas seperti ini. Tio lagi. Kenapa juga dia harus ikut. Ah, bisa - bisa Risa bakal berpaling dariku kalau ada Tio.
"Noh, Ma liat. Anak bujang Mama udah minder tuh karena Tio ikut", kali ini Kak Mira yang menggodaku. Haaah. Senang sekali wanita - wanita ini menggodaku. Jantungku serasa di tempat fitness ini.
"Heeh... Kalian lama sekali, sih. Mau jam berapa lagi kita berangkatnya ? Keburu bobok cantik yang punya rumah nunggu kita", ucap wanita paruh baya yang berada di mobil Avanza warna silver. Itu adalah mobil keluarga Tio. Sedangkan yang berbicara tadi adalah Tante Diah, Mamanya Tio.
Kami langsung bersiap menuju rumah Risa setelah teguran dari Mamanya Tio. Aku membawa mobil sendiri dengan Lita. Sedangkan Mama, Kak Mira dan Sakha ikut satu mobil dengan Papa. Hanya orang tua Tio yang diajak Mama ke acara ini. Papa Tio adalah kakak kandung Mamaku. Orang tua Lita tidak bisa ikut karena Ayahnya sedang sakit.
Setelah setengah jam perjalanan, akhirnya kami sampai ke tujuan. Rumah Risa. Disana, ku lihat sudah ada beberapa orang yang mengisi rumah Risa. Zein dan Bapak tampak duduk dengan dua orang lelaku paruh baya. Dan tunggu... Aku melihat sosok pria jangkung yang sangat aku kenal. Sedang apa dia disana ? Aku bahkan tak memberi tahu satupun teman - temanku tentang acara ini. Tapi kenapa dia ada disini juga ? Apa Risa yang mengundangnya ?.
Tok tok tok
Astaga. Suara ketukan di jendela mobilku menyadarkanku. Lita ? Sejak kapan dia ada diluar. Ku turunkan kaca mobilku.
"Bang, ayo turun. Malah ngelamun". Ucapnya dengan kesal.
Semua keluarga ternyata sudah berjalan menuju rumah Risa. Ah, gara - gara dia, aku jadi melamun begini. Aku langsung turun dari mobil dan melebarkan langkahku untuk mengejar keluargaku.
Bapak dan Zein menyambut kedatangan kami. Disusul dengan dua lelaki paruh baya yang ternyata adalah kakak dari Ibunya Risa. Kami langsung dipersilakan masuk oleh mereka. Saat menghampiri pria jangkung tersebut, dia langsung menahan tanganku dan mendekat.
"Gila lo, gercep banget. Atau malah cuma nganter calon doang ?", Ucapnya sambil terkikik. Matanya menatap Tio yang berjalan bersama Lita sambil membawa bucket bunga.
Astaga, aku baru sadar. Harusnya bucket itu aku yang pegang. Lita juga. Kenapa malah diberikan pada Tio. Ini semakin terlihat kalau yang sebenarnya punya niatan adalah Tio. Bukan Aku. Sial!
"Berisik lo", aku hanya bisa mengabaikan ucapan Erik saja. Ya. Pria jangkung itu adalah Erik. Temanku juga Risa.
"Padahal tadi aku kesini mau pinjem Safira. Eh, ternyata ada acara makan enak. Aku tunda dulu deh acaraku. Ini kayaknya lebih penting". Sambungnya lagi saat kami sudah duduk di dalam.
Oh, jadi ternyata dia sama sekali tidak tahu tentang acara ini. "Jangan sampek semua alumni tau tentang ini, ya".
"Aman. Asal ada ini", Erik menyatukan jari telunjuk dan jempolnya lalu menggesek - gesekkan keduanya.
"Dasar cowok matre".
Aku harus membungkam mulut Erik agar dia tak menyebarkan berita tentang acara ini ke alumni. Aku hanya takut jika nanti Risa akan kembali mendapat gosip tak sedap dari teman - teman yang lain. Terutama dari Wulan. Dia paling senang jika menjelekkan Risa. Mulut tajamnya tak akan pernah berhenti sebelum Risa terpojok.
Aku mengedarkan pandangan. Mencari sosok wanita yang selalu ku rindu. Namun sepertinya dia belum keluar. Atau malah belum bangun ? Ya Tuha. Semoga hari ini dia bisa bersikap sewajarnya wanita. Semoga saja Manda bisa mengatasi kakaknya yang ajaib itu.
"Baiklah. Terima kasih atas kedatangannya. Pak Rino, Nak Rendy beserta keluarga. Silakam dicicipi dulu hidangannya", ucap lelaki paruh baya yang belum ku ketahui namanya. Dia merupakan Kakak tertua dari Ibunya Risa.
"Iya, Pak. Terima kasih atas sambutannya. Sebaiknya kami langsung saja menyampaikan maksud kedatangan kami kemari". Itu Om Salim, Papanya Tio yang bicara.
Wah. Kenapa malah Om Salim yang berbicara ? Bisa - bisa dia malah melamar Risa untuk Tio. Oh, Tuhan. Kenapa disaat seperti ini bukannya Papa yang berbicara untuk mewakiliku. Hatiku rasanya tak tenang kalau begitu situasinya.
"Yang mau melamar elu ato si Tio ? Atau, lu malah kena tikung ama sepupu sendiri".
Aku terkesiap mendengar ucapan Erik. Bukannya menenangkanku, dia malah memanas - manasi hatiku. Pikiranku saja sudah tak karuan karena Om Salim memulai pembicaraan. Ditambah lagi Erik yang berbicara asal.
Ku tatap Kak Mira yang berada diseberangku. Dia tersenyum tapi seakan meledekku. Ku palingkan pandanganku pada Lita. Dia malah menjulurkan lidahnya. Astaga. Sikap mereka malah semakin membuatku kesal. Ku lirik Tio. Wajahnya sangat ceria. Senyumnya tak pernah pudar dari wajah tampannya itu. Aduh... Kenapa aku malah jadi insecure begini padanya.
Ku hela nafas pelan. Berkali - kali ku atur nafasku untuk menenangkan diri. Aku harus optimis. Ini adalah hariku. Aku yang berjuang, dan aku yang akan menikmati apapun hasilnya. Aku harus tetap tenang. Senyum, Rendy. Jangan tunjukkan pada mereka kegalauanmu.
"Kedatangan kami kemari, untuk meminta anak perempuan Pak... "
"Sarja". Bisikku pada Om Salim yang belum tahu nama Bapaknya Risa.
"Iya, Pak Sarja. Dihari ini, kami ingin meminta restu kepada Pak Sarja untuk mengizinkan putra kami meminang Risa. Bagaimana Pak Sarja ? Apakah Pak Sarja kiranya sudi memberikan restu pada anak kami untuk meminang Risa ? Menjadikan Risa istri dari anak kami Rendy".
Akhirnya. Namaku juga yang disebut. Aku pikir Om Salim lupa dan malah menyebut nama anaknya. Hah. Lega rasanya hatiku.
Kulihat keluarga Risa sedang berunding. Zein tampak senyum - senyum memperhatikan para lelaki paruh baya berdiskusi. Lalu mereka tampak tertawa kecil.
"Terima kasih atas niat baik Bapak sebagai wali Nak Rendy. Kami menerima baik pinangan dari Nak Rendy. Tapi semua ini alangkah baiknya kita kembalikan pada Nak Risa. Karena mereka yang akan menajalani rumah tangga. Jadi apapun yang menjadi keputusan Nak Risa, akan kita hormati dan hargai". Ucap Omnya Risa itu.
Ya. Itu memang benar. Keputusan Risalah yang menentukan semua ini. Hatiku masih tidak tenang menunggu jawaban itu. Sedari tadi aku tak melihat Risa. Dimana dia sebenarnya ?
saya masih penulis baru, yang butuh masukan dan motivasi dalam penulisan cerita saya.
Di penulisan selanjutnya saya akan mencoba lebih baik 🙏
trima kasih sudah setia membaca sampai akhir ☺️