Cinta Sang Berandal

Sudah lebih dari satu minggu Alya tinggal bersama Guntur, dan Anggi selalu bertindak seakan satpam di antara putra dan menantunya. Selama itu pula Guntur hanya bisa gigit jari karena Alya tidur di kamar terpisah.

“Mau ngapain kamu?” tanya Anggi sudah berada di belakang Guntur yang hendak mengetuk kamar Alya.

“Yaelah Mih, aku mau tanya tugas doang.”

“Halah, Mami nggak percaya. Kamu dilahirkan dengan otak yang lumayan cerdas, masalah tugas sekolah bukan alasan. Balik ke kamarmu,” titah Anggi yang dibalas dengan decakan.

“Mih, senin kami ujian. Masa kami gak boleh belajar bareng,” keluh Guntur.

“Boleh dong, tunggu di bawah aja nanti Mami dan Alya nyusul.”

“Hah, di bawah?”

“Iya, memang kamu berharapnya di mana? Kalau belajar di kamar, yang ada kalian hanya fokus belajar biologi.”

Guntur merajuk pada Anggi, tapi wanita itu tidak mau kalah karena sudah sepakat dengan Buana agar memisahkan sementara Guntur dan Alya sampai keduanya selesai ujian.

“Sudah sana ke kamar kamu, tunggu sampai beres ujian. Nggak sabar banget sih,” keluh Anggi sambil mendorong pelan punggung Guntur agar menjauh.

Sampai di kamar, Guntur menghentakan kaki dan mengacak rambutnya.

“Padahal gue mau dekat sama istri sendiri, tapi susah amat ya. Gue tunggu sampai Mami tidur, setelah itu gue beraksi,” gumam Guntur.

Pria itu berbaring di ranjang dan membuka ponsel., mengirim pesan untuk Alya.

[Alya]

Tidak lama ada balasan dari Alya.

[Iya. Jangan minta yang aneh-aneh, Mami ada di luar]

“Astaga, Mami kayak nggak pernah muda aja,” teriak Guntur.

Alih-alih beristirahat atau belajar untuk persiapan ujian, Guntur malah pergi dan bergabung dengan teman geng motornya. Apalagi ini malam minggu, mereka bisa berkeliling atau kumpul di satu tempat sampai tengah malam bahkan mungkin hingga pagi menjelang.

“Woy mana janji lo, gimana kalau tantangannya gue ganti,” seru Refan.

“Janganlah, Alya udah di tangan gue. Lo nggak tahu kalau dia tuh udah menunjukan kalau dia suka, artinya gue udah lakuin tantangan dari lo.”

“dan gue lihat lo juga suka sama Alya,” cetus Refan. “Ya udahlah, malam ini kita rayakan kalau lo hampir menang,” usul Refan.

Guntur, Refan dan yang lainnya menghabiskan malam dengan minum alkohol. Walaupun tidak sampai mabuk parah, tapi Guntur mulai oleng.

“Kayaknya gue duluan, kelamaan di sini bisa semaput. Yang ada gue dipecat sama bokap gue.”

“Halah, cemen lo,” ejek Refan.

“Terserah lo, gue dalam pemantauan. Dari pada dicoret dari kartu keluarga,” ungkap Guntur.

Guntur mengendarai motornya dengan penglihatan tidak jelas dan kepala berat. Bahkan dia hampir menabrak kendaraan lain yang melintas berlawanan arah.

“Shitt,” maki Guntur menghindari tabrakan dengan membanting motornya dan … terguling bersama motornya.

“Aaaa,” erang Guntur merasakan nyeri di kakinya.

Karena sudah tengah malam, tidak banyak orang yang ada disekitar kejadian Guntur terjatuh. Dibantu menepi termasuk juga motornya, Guntur menghubungi Alya dan Maminya tapi tidak ada jawaban. Sepertinya para wanita itu sudah tidur dan tidak menyadari panggilan telepon dari Guntur.

“Tinggal di mana Bang?”

“Nggak jauh dari sini kok,” sahut Guntur.

"Mau diantar ke rumah sakit Bang?:

“Pulang aja, tapi nanti tunggu mereka bangun untuk jemput,” ujar Guntur.

...***...

Menjelang subuh Alya terjaga dan melihat ada banyak panggilan telepon dari Guntur. Gadis itu mendatangi kamar Guntur dan ….

“Alya, Guntur kecelakaan,” ujar Mami Anggi.

“Kecelakaan?”

“Hm, semalam dia keluar. Katanya sih terguling, dari motor. Sekarang lagi di jemput supir Mami.”

“Dijemput? Nggak dibawa ke rumah sakit aja Mih,” usul Alya.

“Guntur bilang nggak ada luka parah, kita lihat nanti deh.”

Alya menunggu kedatangan Guntur dengan cemas, gadis itu begitu mengkhawatirkan suaminya. Dia menyesal semalam mengabaikan Guntur dan berakhir seperti sekarang. Terdengar deru mobil, sepertinya Guntur sudah tiba. Pria itu masuk dipapah oleh supir Mami Anggi.

“Bawa ke kamar aja!” titah Mami Anggi.

Sampai kamar, Alya menunjuk sofa, akhirnya Guntur didudukan di sofa. Anggi menatap putranya sambil bersedekap.

“Mami nggak habis pikir dengan kelakuan kamu, masalah satu belum kelar udah cari masalah lain.”

“Udah Mih, nggak usah ceramah. Aku ngantuk dan ini pada perih,” keluh Guntur.

“Alya, gantikan baju Guntur lalu obati luka-lukanya. Setelah itu pastikan dia tidur.”

“Mami biarkan aku dan Alya se kamar?” tanya Guntur.

“Memang kamu mau ngapain dengan luka dan jalan aja harus dibantu,” ejek Anggi lalu meninggalkan kamar Guntur.

Alya bergegas mengambil pakaian ganti dan air untuk menyeka luka di tubuh Alya.

“Al,” panggil Guntur karena Alya bungkam meskipun tangannya cekatan melepaskan pakaian pria itu dan hanya menyisakan boxer.

“Al pelan-pelan,” rengek Guntur ketika Alya membersihkan luka dan mengoleskan obat.

“Perih?” tanya Alya.

“Iya, sakit tahu.”

“Kamu mabuk 'kan ? Waktu minum dan keluyuran nggak mikir kalau bakalan begini, sekarang mengeluh,” ujar Alya dengan suara bergetar.

“Al, lo nangis ya?” Guntur menahan tangan Alya dan menangkup wajah gadis itu dan benar saja Alya memang menangis. “Tenang aja sih, ini mah luka kecil. Gue pernah rasakan lebih parah dari ini.”

“Tenang kamu bilang? Waktu Mami bilang kamu kecelakaan, aku … takut.”

Guntur menghapus air mata di wajah Alya. “Tapi gue nggak apa-apa, Al.”

“Kamu pernah berpikir nggak, kalau sesuatu terjadi sama kamu lalu aku harus gimana? Aku nggak ada siapa-siapa lagi yang bisa diandalkan selain kamu,” tutur Alya.

Kalimat Alya cukup mengena di hati Guntur. Apa yang terjadi dengan gadis itu adalah ulahnya dan dirinya satu-satunya tempat Alya bersandar.

“Iya, nggak usah nangis Al. Gue baik-baik saja.”

“Kamu nggak ngerti, aku tuh sayang sama kamu dan ….”

“Tunggu! Lo bilang sayang sama gue?”

Alya mengusap pipinya dan mengangguk pelan.

“Iya, aku sayang sama kamu. Aku cinta sama kamu. Terserah kamu mau percaya atau nggak, mau dibalas atau nggak. Yang jelas hmmm ….”

Guntur menghentikan ocehan Alya dengan membungkam mulut gadis itu dengan bibirnya.