JUARA 3 EVENT LOMBA MENGUBAH TAKDIR S3.
Maghala terjebak dalam situasi tak menguntungkan akibat peristiwa yang dipicu olehnya. Dia terpaksa menyelamatkan banyak hal meski hatinya enggan.
Status sosial yang tinggi membuat sang mertua malu mempunyai menantu pedagang angkringan pinggir jalan sehingga memaksa Maghala berhenti berjualan. Fokus mengabdikan diri pada keluarga Cyra.
"Menantu benalu, pengangguran!" Kalimat cibiran keluarga Cyra, menjadi penghias keseharian Maghala.
Suatu siang, kala Maghala hendak membeli obat bagi sang istri, langkahnya dijegal seseorang, Hilmi sang tangan kanan Magenta grup, membawa misi dari Janu untuk meminta Ghala menjadi pewaris utama.
Banyak misi di emban Maghala, termasuk membantu Asha agar bangkit. Semua dikerjakan secara rahasia hingga membawa sang menantu babu, berada di pucuk pimpinan Magenta grup.
Siapakah sosok sang menantu? Bagaimana nasib rumah tangga mereka? Akankah Maghala membalas perlakuan terhina?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Qiev, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23. BANTUAN
"Apa kau bilang? sebab terlalu apa?" sebut sang pemuda dengan wajah penasaran.
Maghala tak lagi mengulang kalimat tadi, bukan urusan dia, pikir sang tuan muda. Otaknya dipenuhi oleh Asha, si Humaira nan jelita dalam pandangan Ghala.
Bibir sensual Maghala mengulas senyum tipis, meski mata memejam dan lisan masih setia melafalkan doa Nabi Yunus. Banyak yang mengamalkan hingga empat puluh kali bahkan seratus ucapan untuk mencapai fadhilahnya. Dan ini adalah kesempatan bertepatan di waktu mustajab.
Tepat saat baru saja selesai salam setelah menunaikan salat subuh. Maghala dipanggil oleh Patrianusa sebab ada seseorang yang ingin bicara dengannya.
"Mas Ghala, ada tamu. Mari ikut sejenak," ujar sang petugas, seraya membuka teralis jeruji.
Keduanya lalu menuju ruangan semula saat Maghala di interogasi malam tadi. Dia pun masuk ke dalam sementara Patrianusa menunggu di balik pintu.
Setelah menutup pintu, Maghala langsung menerima salam hormat dari seorang pria dengan setelah serba hitam. Hanya tampak satu berkas saja di atas meja, tanpa tas layaknya seorang pengacara.
Lisan tuan muda Magenta masih mengunci, ingin mendengar lebih dulu penjelasan seseorang yang mencarinya. Pemuda di hadapan pun tampak tengah menimbang sesuatu, dia bahkan mengeluarkan sebuah alat mirip metal detektor berukuran mini.
"Clear," lirih sang pria bersetelan jas sambil memasukkan alat itu kembali ke dalam saku dalam.
"Selamat pagi, Tuan muda Maghala. Saya Pierre, utusan Hilmi. Anda ingin keluar siang ini atas jaminan atau bagaimana?" tanya sang pria.
Maghala lega, Hilmi mengerti kode yang dia kirimkan semalam sehingga sosok pemuda ini pun ada di hadapan.
"Tidak usah. Aku hanya akan keluar dari sini sebab lemahnya tuduhan Adhisty. Pesanku, jaga Ashadiya Cyra dari lelaki bernama Sade dan keluarganya," ujar Ghala masih berdiri tak jauh dari pintu.
Kedua lengan tuan muda Magenta pun bersedekap di depan dada. Dia tengah memindai utusan di hadapan. Hilmi rupanya mempunyai standar postur juga garis wajah kala merekrut mereka. Semua anak buah asisten Janu terlihat tampan, tegap juga masih terbilang muda.
"Baik. Ada lagi, Tuan muda?" tanya sang pemuda.
"Ponselku di sita Alka. Tolong ambil kembali dan biarkan Asha menyimpannya. Jangan memancing hal berlebihan seperti ini lagi. Aku akan bebas layaknya masyarakat umum jika terjerat masalah kecuali mertuaku memakai intrik lain, kalian boleh ambil sikap lebih jauh," tutur Ghala. Dia menilai, Hilmi gegabah kali ini. Jika di satgas ada mata-mata Adhisty, runyam sudah nasib Maghala.
Bodyguard itupun mengangguk sebagai tanda hormat, tak lama dia pamit untuk melaporkan pada pimpinannya.
...***...
Kediaman Cyra.
Adhisty menuju kamar Alka untuk membangunkan pria itu agar menemaninya ke kantor polisi membuat laporan untuk mendesak Maghala.
Sade, menunggu nyonya Cyra bertindak sebelum kucuran dana periode satu, turun. Pria itu gantian menekan Adhisty setelah peristiwa lolosnya Maghala dari jebakan panas mereka.
"Alka. Kak, ayo kita ke kantor polisi!" seru sang mama, menggedor beberapa kali pintu kamar sang anak.
Tak ada sahutan dari dalam, membuat Adhisty mengulang hal sama. "ALKA!" sebutnya lantang dengan berkacak pinggang.
Putra sulung Cyra membuka panel pintu kamar, dia sangat rapi tapi tujuannya bukan untuk menemani sang mama.
"Lama amat kayak kura-kura ganti tempurung!" sergah Adhisty memberi tatapan sinis, ke arah putranya.
"Aku gak nemenin Mama ke sana, ya. Itu bukan urusanku dan ogah terlibat jauh. Rencana Mama dengan Sade kan? maka kerjakanlah berdua. Jangan mau susah sendiri," ujar Alka menatap sekilas ibunya dan melanjutkan langkah meniti tangga.
Adhisty seketika naik pitam. Dia melakukan ini sebab ulah Alka yang menjebol dana lewat proyek fiktif. Pimpinan Cyra pun melangkah cepat menuruni tangga. Bunyi heel sepatunya beradu dengan lantai granit dan menimbulkan suara bising.
Wanita dalam balutan setellan blazer itu menarik lengan Alka, hingga tubuh putranya sedikit terhuyung dan berdiri menyamping.
"Bagus ya. Bagus! jika bukan karena ulah kamu, mana mungkin aku stres memikirkan bagaimana cara untuk menjadi penjilat yang elegan," omel Adhisty, mencekal lengan Alka seraya menggeram. Tatapannya tajam, bibir berpoles lipstik itu mengatup hingga mengerucut, membuat wajah Adhisty bagai nenek sihir dalam film Hansel and Gretel.
Alka tak menampik apapun. Toh, membantah pun percuma. Ibunya akan menarik semua fasilitas. Dia hanya butuh meredam amarah Adhisty agar aibnya yang lain tak ikut terbongkar.
"Oke. Aku antar, tapi tidak ikut masuk. Jika Mama bersikeras menuduhku dengan bukti palsu, maka lihatlah pekerjaan anakmu ini agar tiada prasangka," ucap Alka dengan intonasi datar, tanpa ekspresi bahkan emosi.
Adhisty melonggarkan cekalan di lengan sang anak. Ada yang aneh dengan Alka hari ini. Dia seperti sedang menghindari kontak fisik dengan Maghala. Ini bukan putranya.
"Kamu gak anget kan?" tanya Adhisty, meletakkan punggung tangan di dahi Alka.
"Ck, kek bocah! ayo, nanti aku kesiangan meeting," sahut sang tuan muda Cyra melangkah turun ke lantai dasar.
Mereka menempuh perjalanan di dampingi oleh pengacara semalam. Tak lama, rombongan itu pun tiba.
Adhisty langsung melayangkan banyak protes pada petugas tentang fasilitas yang di berikan pada Maghala.
"Kok cuma di jeruji besi? mana bersih pula. Harusnya kan isinya penjara itu banyak. Keenakan dong dia di sini, makan tidur enak," cerocos sang nyonya besar Cyra.
"Ya kalau gak mau leha-leha, cabut tuduhan saja Nyonya. Toh, di rumah Anda ada CCTV bukan? kami minta itu di cantumkan sebagai bukti kuat," ujar Patrianusa. Memeriksa ulang berkas Maghala yang dia tangani.
Glek.
Adhisty menelan ludah kasar. Pangkal tenggorokan sang nyonya tampak jelas turun naik. Ucapan Patrianusa di luar prediksinya.
Sang pengacara hanya mengatakan bahwa bukti tersebut akan di lampirkan menyusul seraya menunggu berkas lengkap.
"Harus segera jika ingin P21. Kan nanti olah TKP dan lainnya," ucap Patrianusa santai, dia bahkan melipat kedua lengannya di atas meja sembari tersenyum.
"Jika tidak dapat menghadirkan alat bukti. Status Mas Ghala ini bisa di tangguhkan, kami minta dihadirkan dalam satu jam, karena pasti ada record bukan? ... jangan bilang, kediaman semewah itu tidak ada CCTV," desak sang petugas.
"Selama ini tidak ada kasus seperti ini. Jadi kami kurang waspada," elak Adhisty, dia mengepal tangan di atas pahanya.
Patrianusa hanya manggut-manggut, permintaan dia harus dipenuhi dan Adhisty kini meminta Alka menyediakan bukti tersebut. Namun, alangkah kesalnya dia kala mengetahui putra sulung Cyra itu sudah tak ada di tempat.
Ponsel Alka pun tidak aktif. Adhisty bagai boneka Mampang, terlihat bergoyang ke sana sini padahal dia sedang meluapkan amarah.
"Mas Ghala. Siap-siap bebas bersyarat ya," ujar Patrianusa sekilas saat mengunjungi sel dimana Maghala berada.
Tuan muda Magenta hanya tersenyum tipis menanggapi kalimat Patrianusa. Maghala, menduga sang Briptu telah mengetahui siapa dirinya, dari tanda pengenal yang Ghala serahkan saat pemeriksaan.
.
.
...____________________...
magala itu aslinya orang arab ya...