BUKAN MENANTU BIASA
Pria dengan penampilan lusuh, duduk di luar ruang operasi sebuah rumah sakit.
Netra sang pemuda memejam, wajah Maghala terlihat pucat, kepala terasa pusing dengan telinga berdengung. Darahnya baru saja di ambil hingga tiga labu untuk gadis yang dia selamatkan semalam.
"Lemas sekali. Semoga dia tak apa. Salahku ya Robb," keluh Maghala, menekan pangkal alis guna menghalau nyeri di kepala.
Tiba-tiba sebuah suara mengagetkannya.
"Heh, aku gak mau tahu ya! pokoknya kamu harus tanggung jawab mengurus putriku sampai sembuh total. Dokter mengatakan bahwa Asha akan cacat!" sentak suara seorang wanita padanya, berdiri di hadapan Ghala seraya berkacak pinggang.
Lelaki muda itu menduga bahwa wanita di hadapan adalah keluarga korban. Maghala mendongakkan kepala. "Dengan cara apa?" tanya Ghala, netra di wajah pucat itu memandang sendu.
"Karena kamu penyebab kecelakaan putriku, tapi juga sekaligus penyelamat nyawanya. Maka kau harus mengabdikan diri untuk Asha dan keluarga Cyra bila tak ingin masuk bui dengan tuduhan kelalaian hingga mengancam nyawa seseorang," cecar Adhisty berapi-api, dia adalah pemilik perusahaan sepatu dengan brand ternama, Cyra.
"Anda yakin hanya itu? sebab dokter banyak mengatakan hal lain padaku, Nyonya," jawab Maghala lagi, sejenak memejam.
Deg! Adhisty tertohok. Dia menduga pemuda ini tahu aib putrinya.
"Kau!" geram sang Nyonya, mengepalkan tangan dengan kedua mata membelalak.
"Kawinin aja napa sih, Ma. Gentle dong jadi laki!" cibir Alka, berdiri bersedekap menyandar pada tiang.
"Anda memaksaku menikahi dia bukan hanya sebab dua perkara tadi kan?" ucap Maghala masih duduk di bangku.
"Pokoknya, kau harus bertanggung jawab. Mau jadi apa anakku? dia cacat karenamu!" cecar Adhisty, meraih kerah baju Maghala dengan kedua tangannya lalu menghempas kasar.
Maghala tahu, menikahi wanita hamil sebab pria lain adalah makruh, meski secara akad sah. Dia pun merenung sejenak.
Suara tangis wanita paruh baya yang kini duduk di bangku, sangat membuat nuraninya tergugah meski separuh hati merasa terpaksa.
Membayangkan gadis itu putus asa sebab mengetahui kenyataan bahwa dia cacat. Tangisan depresi atau bahkan percobaan bunuh diri, menghantui benak Maghala.
Sebagai rasa tanggung jawab, juga untuk menyelamatkan martabat seorang gadis, Maghala akhirnya menyanggupi. Dia pasrah kemana garis nasib akan membawanya.
"Baik. Aku akan menikah dengan putri Anda," kata Maghala beberapa jam kemudian.
Pernikahan pun di gelar esok hari meski Asha belum sadar.
...***...
Ashadiya Cyra tertegun kala Adhisty mengatakan bahwa lelaki dengan penampilan sederhana ini adalah suaminya.
Melihat tangan dan kaki kanan di gips menggunakan papan penahan, kepalanya di perban, membuat Asha seketika berteriak.
"Mama, bagaimana dengan pagelaran seni yang akan di gelar pekan depan? aku susah payah berlatih hingga lolos seleksi ... tapi ini?!" pekik Asha putus asa.
Adhisty menenangkan, mengatakan bahwa dia akan menjalani pengobatan hingga kemanapun agar tangannya dapat di gunakan untuk melukis kembali meski masa pemulihan agak lama.
"Enggak! apa salahku, Tuhan!" teriak Asha lagi, kepalanya menggeleng cepat tanda dia tak menerima nasib.
"Kau, karena kau, kan. Ini karenamu!" geram Asha melihat ke arah Maghala dengan tatapan tajam.
"Maafkan aku. Maaf," kata Maghala balas menatap istrinya sendu.
Perasaan bersalah menghantui Maghala. Keseharian setelah Asha di perbolehkan pulang tak lantas membuatnya lega. Teriakan, makian, cibiran menjadi sarapan pagi suami nona muda Cyra.
"Ghalaaaaa! lelet amat sih, ngapain aja!" teriak Adhisty pukul enam pagi di ruang makan. Dia menghentakkan sepatunya hingga menciptakan bunyi bising.
Menantu Cyra datang tergopoh menghampiri sang mertua. "Ya, Ma? aku sedang menyiapkan air untuk Asha mandi. Ingin sarapan sekarang?" tanya Maghala sembari melepas apron.
"Kamu nanya? kamu nanya? bodoh kok di piara, lihat sudah jam berapa ini? kan kemarin sudah ku bilang, akan ada meeting pagi, artinya kamu harus lebih dini siapkan sarapan!" seru Adhisty tepat di wajah Maghala. Telunjuk sang mertua, sukses mendarat di dahi Ghala disertai pandangan remeh.
"Baik," balas sang menantu, berlalu ke dapur untuk mengambil menu yang telah dia siapkan semenjak subuh.
"Heran, gak pinter-pinter," omel Adhisty lagi, dia memutar bola mata jengah seraya menarik kursi meja makan.
"Kenapa lagi, Ma? masih pagi udah rame aja," tanya Alka, putra sulung Adhisty. Dia menarik kursi dan duduk di sana.
"Siapa lagi penyebabnya bila bukan si bodoh benalu ini. Asha, nasib kamu begini amat sih? punya suami kok bego. Kalau gak terpaksa, aku gak Sudi!" cibir Adhisty, melihat dengan ekor mata kala Maghala membawa baki berisi hidangan dan menata di atas meja.
"Sama," gumam Maghala sangat lirih.
"Heh, Ghala, sesekali buatlah dirimu menjadi berguna. Padahal hanya kerjaan ringan begini kok ya gak sat set. Mau kau kasih makan apa adikku jika gak numpang hidup di sini? sampai kapan bercita-cita jadi benalu?" sambung Alka, menyeruput kopi sambil mengacungkan sendok hampir mengenai wajah Ghala.
"Ya di kasih makan nasi, Kak. Masa dedak," kekeh Maghala masih menata pinggan.
Brak!
"Berani jawab? ayo, lagi!" sentak Adhisty lagi, menggebrak meja. Semua hidangan menjadi terguncang dan percikan tersebut membuat kotor taplaknya.
Maghala seketika diam, kalimat sarkas ini bagai dengungan lebah di telinga. Dia lantas meninggalkan ruang makan menuju kamar.
"Asha, air untuk mandi sudah siap. Aku angkat ya," kata Ghala meminta izin membopong istrinya menuju kamar mandi.
"Pake nanya segala," gumam Asha. Dia akui, kehadiran Maghala sedikit banyak memudahkan dirinya bergerak, mandi dan lainnya. Meski separuh hati turut membenci.
Saat membantu mengeringkan rambut Asha, teriakan Adhisty kembali bergema, wanita itu telah berdiri di ambang pintu kamar mereka.
"Ghala! jangan lupa cuci dan ganti seprei di kamarku dan Alka. Sudah waktunya rumah ini ganti karpet dan semua gorden," ujar sang mertua, berseru lantang dari ruang keluarga.
"Baik, Ma. Setelah Asha sarapan akan aku kerjakan semua," jawab Maghala.
Adhisty menghampiri, dia lalu membuka dompet dari dalam tas. "Sekalian belanja bulanan, nih, uangnya," sambung ibu Asha, menyerahkan setumpuk uang kertas.
Belum sampai tangan Maghala menerima sodoran uang, Adhisty sengaja menjatuhkan gepokan rupiah itu ke lantai, hingga berantakan.
"Ups!" ucap Adhisty, menutup mulut disertai netra yang menyipit, lalu terkekeh seraya berbalik badan dan melenggang pergi.
Harga diri Maghala di rendahkan bertubi di rumah ini. Namun, apa daya, janji telah mengikatnya dan dia akan bertahan. Istri cantik ini menjadi semakin pendiam dan tak memiliki semangat hidup, bahkan acuh padanya.
"Sabar, sabar," gumam Maghala. Dia memungut lembaran uang dari lantai, mengumpulkan menjadi satu.
Ashadiya hanya diam melihat suaminya di perlakukan rendah oleh ibu dan Alka. Ada rasa iba tapi dia tak peduli. Anggap sebagai imbalan telah membuatnya cacat hingga gagal meraih cita-cita.
"Makan dulu ya, nanti aku bantu pijat lagi agar kakimu tidak kaku," kata Maghala, mendorong kursi roda Asha menuju ruang makan.
Nafas pria itu terasa berat manakala melihat meja makan berantakan. Maghala pun membersihkan area sebagian agar Asha tak merasa risih dan jijik. Tiada sisa makanan di sana, hanya cukup untuk istrinya.
"Ayo, aku suapi."
Maghala tak pernah mendapat respon atas segala ucapan untuk Ashadiya. Istrinya bahkan lebih mirip kulkas, dingin.
"Kau tahu, Asha, semua tekanan yang ku terima tak serta merta membuat aku menyerah. Aku akan menemanimu, mengenal lebih dekat keluarga ini dan mencari tahu siapa ayah dari janin yang kau kandung," kata Maghala, menatap manik mata Asha.
"Apakah dugaanku benar, pria itu adalah...."
.
.
...____________________...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Edy Sulaiman
menarik ceritanya, baca dulu ya thor..
2024-05-09
0
Ⓝⓨⓐⓘ Ⓖⓐⓑⓤⓣ
Yang jadi patokan adalah akadnya, sah atau tidak, bukan masalah HB-nya. Pun perihal nasabnya nanti. Temukan jawaban kasus tadi di part selanjutnya 🥰
2023-10-07
1
Sulaiman Efendy
UDHLH DITOLONG DGN NIKAHI ANAK LO YG HAMIL DILUAR NIKAH, DN SKRG CACAT,,BKN TRIMA KASIH...
2023-08-01
3