Seharusnya sudah melewati 10 tahun usia pernikahan, rumah tangga harusnya semakin harmonis apalagi sudah ada kehadiran dua malaikat kecil di dalam kehidupan mereka.
Namun, tidak dengan rumah tangga Yana Ayunda.
Sikap suaminya langsung berubah setelah melewati 10 tahun pernikahan mereka, Yana berusaha agar rumah tangganya harmonis kembali.
Tapi, semakin hari sikap suaminya semakin dingin dan mudah marah terutama pada dirinya.
hingga Yana memutuskan untuk mencari tahu penyebab perubahan sikap suaminya itu.
Apakah Yana bisa menemukan titik terang penyebabnya?
Mampukah ia melewati itu semua?
Yuk simak ceritanya!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erni sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Siang ini, Damar terlihat banyak pekerjaan. Sehingga untuk makan siang saja dirinya belum sempat, bahkan siang ini setelah selesai jam istirahat ia harus pergi ke luar kota untuk mengecek proyek pekerjaannya yang saat ini tengah berlangsung.
“Yana. Makan gak ngajak sih?” panggil Vita langsung duduk di sampingnya.
Saat ini mereka tengah duduk di kantin.
Vita ikut memesan makanan yang di makan oleh Yana, karena sangat menggiurkan baginya.
“Yana, dimana ayang beb?” goda Vita menyenggol bahu Yana menggunakan bahunya.
“Apaan sih?” sahut Yana.
“Halah, pura-pura. Bagaimana, apa kamu suka dengan bunganya? Atau mm ....”
“Atau apa?” tanya Yana melihat Vita menggantungkan ucapannya.
“Atau, kalian sudah resmi jadian. Jangan lupa undang aku ya.” Vita terlihat bahagia karena sudah menggoda yang tampak masih malu-malu.
“Apaan sih Vit. Aku dan Damar hanya berteman biasa,” sahut Yana santai.
“Wih, Damar. Keren nih, sepertinya ada bau menuju ke pelaminan nih.” Vita tak henti-hentinya menggoda Yana sejak datang ke kantin.
Tanpa mereka sadari, jika ada yang tidak suka dengan percakapan mereka.
“Sstt ... Vita. Pelankan suaramu, nanti ada yang mendengarnya dan menyebar Fitnah, bagaimana?”
“Iya, maaf. Tapi beneran kalian sudah ini?” bisik Vita memperlihatkan jarinya yang saling menyatu.
“Tidak ada Sayangku Vita. Kami hanya berteman,” sahut Yana berusaha meyakinkan temannya tersebut.
“Benarkah? Pasti kamu bohong! Tapi, apapun itu. Aku berharap kamu bisa menemukan kembali kebahagiaanmu, Yana lupakan masa lalu buruk itu. Deva dan Diki juga butuh sosok Ayah yang menyayangi Ibunya.”
Yana tersenyum.
“Terima kasih, Vita. Aku akan pikirkan itu nanti, yang terpenting saat ini adalah aku sudah terbebas dari masa lalu itu yang menjeratku dan fokus untuk menyembuhkan luka lama.”
“Jangan berlarut untuk menyembuhkan luka, kadang luka di hati butuh seseorang juga untuk menyembuhkannya.”
Yana menatap Vita, usianya jauh di bawahnya. Namun, entah kenapa kata-katanya seperti orang yang sudah sangat dewasa.
“Vita, sepertinya kamu salah makan! Ganti makanannya!” seru Yana membuat Vita menatapnya bingung.
“Makanannya enak kok,” ucap Vita polos.
“Masa, tapi setelah kamu makan ini. Perkataanmu itu terlihat lebih dewasa dariku, apa karena makanan yang kamu makan?” ujar Yana terkekeh.
“Dasar, aneh!” gerutu Vita, lalu keduanya terkekeh.
Selesai jam istirahat, Yana melirik dari dinding kaca terlihat Damar masih fokus dengan layar komputernya.
Yana berniat ingin memberikan bekal yang sengaja ia bawa dari rumah, awalnya memang ia siapkan untuk di berikan pada Damar.
Namun, setelah mendengar ucapan Vita yang ternyata sebenarnya Damar adalah pemilik perusahaan di mana dirinya bekerja. Membuatnya seketika langsung minder, takut jika Damar tidak biasa memakan makanan yang ia buatkan.
Tapi, ia juga kasihan karena Damar pasti belum makan. Karena terlihat Damar masih berada di tempat sebelumnya.
Yana mengambil bekal tersebut, lalu perlahan membawa kotak makan tersebut keluar ruangannya.
“Mau kemana?” tanya sekretaris Damar yang ternyata membawa makanan juga untuk Damar, raut wajah wanita tersebut tampak tidak suka melihat Yana.
“Mau ke ruangan Tuan Damar,” sahutnya.
Netra wanita tersebut tertuju pada tangan Yana yang terlihat membawa kotak makan.
“Mm ... Tuan Damar sudah memesan makanan, ia akan sakit perut jika memakan makanan sembarangan.
Yana menatap kotak makan tersebut.
Ceklek ... pintu ruangan terbuka.
Tampak Damar membenarkan jas miliknya, sembari membuka pintu.
“Kalian, kenapa berdiri di depan ruanganku?” tanya Damar.
Ia melihat di tangan dua wanita tersebut sama-sama membawa makanan, hanya saja sekretarisnya membawa makanan tersebut di dalam nampan yang sudah di sajikan di dalam piring.
Yana langsung menyembunyikannya di belakangannya.
“Tuan pasti belum makan siang, aku membawa ini untuk Tuan.”
Damar melototkan matanya, karena sekretarisnya memanggilnya dengan panggilan Tuan di depan Yana.
Wanita tersebut tampak menunduk.
“Aku harus ke luar kota siang ini dan akan kembali sore hari. Kamu makan saja makanannya. Yana, kamu ikut bersamaku.” Menarik tangan Yana dengan pelan.
“Maaf, Dam ... eh maksudku, maaf Tuan. Ini bukannya ini bukan tugas ku?” tanya Yana pelan.
Damar mengernyit heran, karena pertama kalinya Yana memanggilnya dengan sebutan Tuan.
“Oh iya ... memang benar. Tapi, sekarang menjadi tugasmu. Ambil tas milikmu, lalu kita berangkat sekarang. Aku sudah tidak punya waktu,” ujar Damar melihat jam di pergelangan tangannya.
Yana mengangguk, ia hendak melangkah masuk ke dalam ruangannya. Namun, Damar lebih dulu mengambil kotak makan yang ada di tangan Yana.
Yana sedikit terkejut.
“Cepatlah, aku menunggumu di depan lift.”
Yana tersenyum lalu kembali mengangguk.
Damar melangkah dengan senyum yang mengambang di bibirnya, tanpa peduli dengan wanita yang tengah berdiri menatap punggung Damar dengan nampan berisi makanan tersebut.
Dengan air mata yang mengalir di pipinya menatap makanan tersebut, dengan raut wajah kecewa ia membawa kembali nampan tersebut ke mejanya.
Ia menatap Yana yang terburu-buru keluar ruangan, sembari membenarkan tas miliknya.
“Seharusnya aku yang di ajak, karena aku lebih tahu tentang pekerjaan di sana. Tapi, dengan mudahnya kamu menggeser posisiku sekarang! Lihat saja, aku akan balas perbuatanmu ini!” geramnya mengepalnya dengan kuat.
Di dalam mobil, Damar tampak sibuk membaca berkasnya.
“Yana, apa kamu sudah makan?” tanyanya.
“Sudah,” sahutnya.
“Oh, begitu. Aku sangat lapar, tapi aku juga harus bekerja. Kalau tidak pemilik perusahaan ini akan marah, jika aku salah dalam melakukan pekerjaanku. Apa kamu bisa menyuapiku?” tanyanya dengan wajah memelas.
Yana tampak gugup, ia berusaha agar tak terlihat gugup. Apalagi, setelah mengetahui jika Damar ternyata pemilik perusahaan besar itu.
“I-iya, Tuan.”
Yana perlahan mengambil kotak makan tersebut.
“Sejak kapan kamu memanggilku, Tuan. Aku hanya karyawan seperti kalian juga, jangan memanggilku dengan sebutan Itu. Panggil namaku saja,” ucap Damar, netranya belum berpindah.
“Aku akan memanggil Tuan dengan sebutan nama jika di luar kantor, jika masih dalam masa bekerja aku akan memanggil Tuan. Karena, aku tidak mau di bilang kurang ajar pada bos ku sendiri!”
Damar langsung menoleh ke arahnya.
“Yana, kamu ....” menggantungkan ucapannya.
“Vita sudah mengatakan semuanya, Tuan.”
“Hah!” Damar kalah terkejutnya menderanya.
Ia sudah berusaha menutupinya dari Yana, membuatnya menghela napas berat.
“Tuan, makanlah ....” Yana mulai menyendokkan makanan tersebut dan menyodorkan pada Damar.
“Maaf, jika masakanku tidak enak atau membuat Tuan sakit perut.”
“Kamu bicara apa, Yana? Bukankah aku sudah sering makan di rumahmu!” celetuk Damar sembari mengunyah makanan tersebut.
Terbesit di pikiran Damar, tentang bunga yang ia kirim pagi tadi ke ruangan Yana.
“Yana, apa kamu menyukai bunganya?” tanya Damar menatap Yana.
Yana langsung tertunduk malu, ia juga baru ingat tentang bunga tadi lagi.
***