Denara baru saja menyelesaikan sebuah novel di sela-sela kesibukannya ketika tiba-tiba dia terikat pada sebuah sistem.
Apa? Menyelamatkan Protagonis?
Bagaimana dengan kisah tragis di awal tapi menjadi kuat di akhir?
Tidak! Aku tidak peduli dengan skrip ini!
Sebagai petugas museum, Denara tahu satu atau dua hal tentang sejarah asli di balik legenda-legenda Nusantara.
Tapi… lalu kenapa?
Dia hanya ingin bersenang-senang!
Tapi... ada apa dengan pria tampan yang sama disetiap legenda ini? Menjauhlah!!
———
Happy Reading ^^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DancingCorn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kisah Ande-Ande Lumut (12)
Ibu Klenting mengingat semua itu belum lama ini. Dulu, dia benar-benar tidak peduli. Sejak awal, dia tidak pernah menyukai Klenting Kuning.
Meskipun orang itu memberi banyak uang untuk membesarkan Klenting Kuning, Ibu Klenting tetap enggan memperlakukannya seperti anak kandung sendiri. Baginya, Klenting Kuning hanyalah anak tiri yang tak memiliki hubungan darah, tak lebih dari beban yang diberi imbalan.
Namun seiring waktu, Klenting Kuning tumbuh menjadi gadis yang luar biasa cantik. Wajahnya bersih, kulitnya cerah, senyumnya lembut. Setiap hari, kecantikannya makin terlihat.
Dan itu membuat Ibu Klenting geram.
Bukan karena Klenting Kuning berbuat salah, tapi karena rasa iri. Dalam hati kecilnya, dia sering bertanya, "Kenapa? Kenapa anak secantik ini bukan anakku sendiri?"
Saat kabar tentang sayembara Ande-ande Lumut tersebar, Ibu Klenting langsung menolak Klenting Kuning untuk ikut. Dia tahu, jika Klenting Kuning ikut, maka anak-anak kandungnya, Klenting Merah dan Klenting Biru, tidak akan punya harapan untuk menang.
Namun beberapa bulan setelahnya, desas-desus aneh mulai terdengar. Bahwa tidak ada satu pun gadis yang berhasil memikat Ande-ande Lumut. Semua ditolak. Padahal, Ibu Klenting tahu, di desanya ada banyak gadis cantik dan anggun, bahkan lebih memikat dari anak-anaknya sendiri.
Jika mereka saja gagal... bagaimana dengan Merah dan Biru?
Dia tidak akan percaya kalau kedua anak yang dia besarkan itu akan menang ketika bunga desa sebelah kalah.
Namun saat itu dia belum berpikir untuk mengijinkan Klenting kuning pergi dan mengikuti sayembara.
Sementara kedua anak kandungnya sudah lebih dulu pergi mengikuti sayembara. Tinggallah Klenting Kuning bersamanya di rumah.
Yang mengejutkan, Klenting Kuning tidak protes. Gadis itu menjalani hari-harinya seperti biasa. Menyapu, mencuci, tertawa bersama anak-anak desa, memasak makanan hangat untuk mereka berdua. Seolah tak pernah terlintas keinginan untuk menjadi pasangan pemuda tampan, Ande-ande Lumut.
Hari demi hari berlalu, dan hati Ibu Klenting perlahan mulai melembut. Dia teringat lagi akan pria berpakaian serba hitam yang dulu menitipkan bayi mungil itu padanya, bersama pesan samar tentang masa depan kerajaan.
Dia menatap Klenting Kuning yang selalu tersenyum meski tak pernah diperlakukan adil. Dan untuk pertama kalinya, Ibu Klenting merasa bersalah. Dia sangat bersalah.
Lalu, diam-diam, dia mengambil baju kuning paling cantik yang dia simpan bertahun-tahun. Dia berikan pada Klenting Kuning, dan berkata dengan suara yang hampir gemetar, “Pergilah… coba sayembara itu.”
Klenting Kuning awalnya menolak karena tidak ingin meninggalkan ibu Klenting sendiri, namun Ibu Klenting memaksanya. Setelah beberapa paksaan dari Ibu Klenting, akhirnya Klenting Kuning pergi bersama restu Ibu Klenting.
Setelah itu, Ibu Klenting menunggu. Hari demi hari berlalu dengan harapan yang dia simpan rapat-rapat—harapan akan kabar baik, akan kepastian bahwa Klenting Kuning baik-baik saja.
Namun tak ada yang datang. Tak ada kabar. Tak ada pesan.
Hingga suatu hari, sebuah surat tiba. Ditulis dengan tinta rapi dan harum bunga, berasal dari Klenting Merah.
Isinya membuat hati Ibu Klenting berdebar.
Dalam surat itu, Klenting Merah menulis bahwa Klenting Kuning telah terpilih sebagai calon istri Ande-ande Lumut, yang ternyata adalah Pangeran kerajaan, Raden Panji Asmarabangun. Dikatakan pula bahwa, berkat kebaikan Klenting Kuning, Klenting Merah dan Klenting Biru kini juga tinggal di istana, hidup bersama sebagai saudari.
Kehidupan mereka digambarkan begitu indah—istana yang megah, hidangan mewah, dan pakaian sutra yang tak pernah habis.
Ibu Klenting merasa lega saat membaca surat itu. Meski hatinya sempat diliputi penyesalan, dia menenangkan diri dengan keyakinan bahwa anak-anaknya kini bahagia. Tentu saja, sesekali dia merindukan mereka. Tapi kerinduan itu ditelan oleh rasa puas karena mereka telah mendapat kehidupan yang lebih baik.
Namun kini, Yuyu kangkang yang duduk di hadapannya, memberi penjelasan yang bertolak belakang dengan isi surat itu. Segala harapan runtuh. Betapa dia senang sebelumnya, betapa dia sedih dan menyesal sekarang.
Semua itu… hanyalah kebohongan.
Air mata perlahan mengalir di wajah tuanya yang telah dipenuhi kerutan. Dia menatap kosong ke arah lantai, suaranya nyaris tenggelam dalam isak tertahan saat berkata, "maaf, tapi tolong. Bisakah kamu ceritakan kehidupan Klenting kuning selama ini."
Yuyu kangkang dapat merasakan ketulusan Ibu Klenting. Dia menghela nafas pelan sebelum menceritakan tentang pertemuan Yuyu dan bagaimana kehidupan Klenting Kuning selama dua tahun terakhir.