Pernahkah kalian membayangkan, bagaimana rasanya bertemu mantan, yang tak lain merupakan cinta pertamamu?
Bella tak menduga jika ia kembali dipertemukan Arfa. Sosok mantan kekasih sekaligus cinta pertamanya, yang tak lain adalah Direktur baru tempatnya bekerja. Semula ia merasa percaya diri menganggap jika keadaan masih sama. Namun, sikap Arfa yang dingin dan ketus terhadapnya, membuatnya harus sadar diri, rasa percaya dirinya itu seketika terenggut dengan paksa. Bella memaksakan diri untuk membuang jauh-jauh perasaannya.
Namun, bagaimana jika keadaan justru membuatnya harus terus berdekatan dengan Arfa. Membuat rasa cinta itu tumbuh semakin besar. Seiring sesuatu alasan yang membuat Arfa berubah pun terkuak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon arsyazzahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berubah Tanpa Alasan
Tok! Tok!
Akhirnya ia memberanikan diri mengetuk pintu ruangan Arfa.
“Masuk!” sahutnya dari dalam. Membuatnya langsung membuka pintu.
“Pak Arfa manggil saya?” tanya Bella seraya meremas tangannya gugup.
Arfa yang saat itu tengah sibuk dengan laptop di hadapannya pun menoleh, sejenak matanya saling bertatapan. Namun, beberapa saat kemudian Bella langsung membuang mukanya.
“Iya. Kemarilah Bella,” pintanya menunjuk kursi depan mejanya.
Dengan langkah pelan dan ragu, Bella pun menurut untuk duduk di hadapan Arfa. “Ini ada apa ya, Pak?” tanyanya langsung wajahnya nampak bingung.
“Untuk masalah kemarin, saya mau bertanya sesuatu sama kamu.”
“Pak, bukankah Anda itu tahu saya dan Pak Dario itu tidak ada apa-apa. Hanya sekali kami terlibat obrolan, itu pun tidak lama anda datang. Masa anda gak percaya sama saya? Untuk apa saya menjadi pelakor?” seloroh Bella membela diri. Nafasnya memburu, wajahnya langsung bertekuk kesal.
“Kamu sudah ngomongnya?” tanya Arfa mengangkat alisnya.
“Eh.” Bella meringis lalu memalingkan wajahnya, bisa-bisanya dia sebar-bar itu ngomongnya, seakan lupa siapa yang ada di hadapannya kini. “Emm ma–maaf, Pak.”
Arfa menggelengkan kepalanya pelan. Menyingkirkan beberapa berkas di mejanya, kemudian ia mengambil satu buah amplop berwarna coklat berukuran tebal, entah apa isi di dalamnya. Bella mengerutkan keningnya tak mengerti, jika itu isinya uang, apakah itu artinya dia mau dipecat, hal itu semakin membuatnya terasa gelisah.
“Bell, ini–”
“Tidak!” Bella menggeleng dengan cepat. “Saya tidak mau menerimanya. Pak Arfa mau pecat saya? Tidak boleh begitu, Pak. Saya kan korban, masa saya yang dipecat sih.”
“Dengerin saya ngomong dulu, Bella!” tukas Arfa.
Bella langsung menutup mulutnya, untuk diam.
“Saya bukan orang yang akan memecat karyawan tanpa alasan.”
“Tapi suka berubah tanpa alasan!” celetuk Bella membuat Arfa terkesiap.
“Bella!” tegur Arfa wajahnya sudah memerah.
Bella tersenyum tipis. “Maaf, saya bercanda. Lanjutkan, apa yang mau anda sampaikan Pak Arfa, saya akan mendengarkan,” seru Bella sesaat lalu memalingkan wajahnya.
“Perempuan yang melabrak kamu itu adalah istrinya Pak Dario. Sedangkan Dario merupakan orang yang penting di perusahaan ini. Semua yang terjadi sama kamu itu hanya salah paham, saat kamu mengobrol dengan Pak Dario saat itu, ada seseorang yang memotret kalian berdua, lalu mengirimkannya pada Ibu Sarah, istrinya Pak Dario.”
“Lalu?” tanya Bella pasrah.
“Ibu Sarah telah meminta maaf. Di dalam amplop ini ada uang senilai dua puluh juta, ia memberikannya padamu sebagai uang damai. Tapi jika kamu menolaknya, saya bisa membantumu untuk meneruskan kasus ini,” tawar Arfa kemudian.
Bella terdiam sesaat. “Dua puluh juta?” tanyanya, entah kenapa fokusnya justru hanya nominal uang.
“Iya.”
Bella menggerakkan jarinya, seperti tengah menghitung sesuatu. Hingga tiba-tiba senyumnya merekah, lalu ia berkata. “Saya ambil uangnya saja. Maka masalah akan selesai kan."
Dengan cepat Bella mengambil amplop tebal itu, mengeluarkan isinya lalu menghitungnya. Tersenyum karena nominalnya pas. “Pas sekali,” ucapnya.
Ia tidak memperdulikan tatapan Arfa padanya. Lelaki itu tampak heran dengan sifat Bella.
“Saya tidak menyangka kalau kamu lebih menyukai uang dibandingkan harga dirimu,” kata Arfa.
Membuat senyum di wajah Bella surut. Mengangkat wajahnya, Bella menatap ke arah Arfa dengan senyum masam. “Karena harga diri saya memang sudah tidak penting, Pak Arfa.”
Arfa terperangah mendengarnya.
“Saya tahu pikiran anda tentang saya. Setelah saya menerima uang ini, anda pasti akan berfikir, saya adalah perempuan yang tidak punya harga diri.” Bella mengedipkan matanya berulang kali, berusaha menyamarkan matanya yang sudah mulai mengembun. Lalu ia kembali tersenyum. “Tapi saya tidak peduli apa penilaian orang terhadap saya. Yang perlu anda tahu adalah... Tidak semua orang terlahir seberuntung anda, hidup dalam kecukupan, dan bergelimang harta. Mungkin bagi anda harga diri itu penting. Memang benar, tapi kadang kala uang lebih penting, karena saya jauh lebih membutuhkannya.”
Arfa terdiam telak menatap wajah perempuan di depannya.
“Kalau gitu saya permisi. Terima kasih, Pak Arfa. Karena masih memberikan kesempatan saya untuk tetap bekerja di sini.” Bella beranjak dari tempat duduknya dengan membawa amplop.
Sepeninggal Bella. Arfa termenung, memikirkan kata demi kata yang dilontarkan mantan kekasihnya itu. “Ada masalah apa, Bell?” gumamnya lirih.
Setelah keluar dari ruangan Arfa. Bella langsung kembali ke mejanya mengambil ATM dan ponselnya. Ia berniat langsung mengirimkan uang itu pada kedua adiknya.
“Ada hikmah kok dibalik setiap kejadian. Dan aku yakin pilihanku tidak salah, semua ku lakukan demi keluarga. Aku tidak peduli lagi tanggapan Arfa kepadaku. Toh mau sebaik apapun aku, dia tidak akan mungkin kembali padaku kan.”
Kebetulan saat ia keluar dari ruangan Arfa tadi sudah memasuki jam makan siang. Jadi sahabatnya tidak ada di ruangan. Bella segera berlalu ke bank sebelah gedung perkantoran itu.
Melewati ruangan Arfa yang sedikit terbuka, Bella masih bisa melihat jika lelaki itu masih berada di ruangannya. Merasa heran karena di jam makan siang itu lelaki itu tidak keluar, dan milih tetap bekerja.
“Untuk apa aku peduli,” celetuknya langsung berlalu pergi dari sana. Ia tidak mau sampai jama makan siang habis, dan berakhir di panggil Arfa. Bisa habis terus-menerus disidang.