Arjuna Hartono tiba-tiba mendapat ultimatum bahwa dirinya harus menikahi putri teman papanya yang baru berusia 16 tahun.
“Mana bisa aku menikah sama bocah, Pa. Lagipula Juna sudah punya Luna, wanita yang akan menjadi calon istri Juna.”
“Kalau kamu menolak, berarti kamu sudah siap menerima konsekuensinya. Semua fasilitasmu papa tarik kembali termasuk jabatan CEO di Perusahaan.”
Arjuna, pria berusia 25 tahun itu terdiam. Berpikir matang-matang apakah dia siap menjalani kondisi dari titik nol lagi kalau papa menarik semuanya. Apakah Luna yang sudah menjadi kekasihnya selama 2 tahun sudi menerimanya?
Karena rasa gengsi menerima paksaan papa yang tetap akan menikahkannya dengan atau tanpa persetujuan Arjuna, pria itu memilih melepaskan semua dan meninggalkan kemewahannya.
Dari CEO, Arjuna pun turun pangkat jadi guru matematika sebuah SMA Swasta yang cukup ternama, itupun atas bantuan koneksi temannya.
Ternyata Luna memilih meninggalkannya, membuat hati Arjuna merasa kecewa dan sakit. Belum pulih dari sakit hatinya, Arjuna dipusingkan dengan hubungan menyebalkan dengan salah satu siswi bermasalah di tempatnya mengajar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bareta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 Teman Baru
Cilla baru saja kembali mencari makanan di sekitar hotel sambil menenteng kantong plastik berisi makanan khas kota Ambarawa, tanu serasi.
Cilla menyipit saat melihat sosok yang sedang menelepon di lobby depan. Berharap-harap itu bukan Arjuna. Hatinya masih sakit dengan ucapan Arjuna yang menganggapnya cewek nggak benar karena sering keluyuran malam-malam dan melakukan perbuatan yang tidak pantas.
“Malam Om Boni,” sapa Cilla dari belakang pria itu.
Mimi, kekasih Boni yang sedang melakukan video call dengan Boni terlihat mengernyit.
“Om Boni ? Siapa itu, yang ?” Mimi dengan mode siaga menanyakan pada Boni saat dilihatnya ada sosok perempuan di belakang kekasihnya.
“Malam Kak Mimi, saya dengan Cilla,” tanpa sungkan Cilla melambaikan tangannya, entah dilihat oleh kekasih Boni itu atau tidak.
“Cilla ?” Suara Mimi yang mengulang nama itu membuat Boni akhirnya mengarahkan handphonenya supaya Cilla bisa masuk satu frame dengannya.
Terlihat Cilla melambaikan tangannya dari belakang punggung Boni dan masih berjarak.
“Salam kenal Kak Mimi. Saya dengan Cilla, muridnya Pak Dono dan calon muridnya Pak Arjuna.”
Mimi masih menyipit, mencoba menelisik wajah Cilla yang terlihat agak jauh dari kamera.
“Kak Mimi cantik, pantas saja Om Boni selalu membanggakan calon istrinya,” Cilla dengan gaya bicaranya mulai memuji-muji Mimi.
Boni tertawa. Dasar Cilla lebay, ucapnya dalam hati. Kapan juga Boni membanggakan Mimi terus-terusan. Ia memang pernah menceritakan soal Mimi, kekasihnya, pada Cilla.
“Ini loh Yang,, anak cewek calon muridnya Arjuna yang sudah bikin dia mati gaya,” ujar Boni sambil terkekeh.
“Hais Om Boni lebay Kak, mana berani saya kurang ajar sama guru. Pak Arjuna aja yang terlalu pemalu, mengalah sama saya terus.”
Mimi akhirnya ikut tertawa pelan. Boni memang sempat menceritakan tentang Cilla pada Mimi. Bahkan mengirimkan foto Arjuna yang sedang berdebat dengan gadis itu. Karena foto diambil secara diam-diam, Boni tidak peduli bagaimana pose keduanya dan ternyata wajah Cilla tidak terlihat, hanya punggungnya saja.
“Kok kamu panggil Boni om, Cilla ?” Mimi terkekeh.
“Memang murid ajaran Dono nih, Yang, masa kita semua dipanggil om. Cuma. Dono dan Arjuna yang dipanggil, Pak.” Bukan Cilla yang menjawab tapi Boni yang mengadu.
“Ih lebay sih Om,” Cilla mencebik. “Udah pada kumisan masa mau dipanggilnya kakak, abang atau mas. Lebih cocok dipanggil om lah. Lagipula panggilan om itu membuat Om Boni terlihat matang dan berwibawa.”
“Terus kenapa panggil pacar saya kakak ?” Protes Boni.
Mimi yang sejak tadi melihat dan mendengarkan keduanya senyum-senyum. Dalam hati ia membenarkan kalau Arjuna bakal mati gaya bertemu abege unik model Cilla.
“Kak Mimi kelihatan lebih muda dan cantik, masa saya panggil tante. Iya kan, Kak ?”
Mimi mengangguk sambil tertawa.
“Boleh ngobrol tanpa Om Boni nggak, Kak ?” Cilla memajukan sedikit wajahnya di belakang Boni supaya terlihat lebih jelas di kamera.
“Boleh,” sahut Mimi sambil tertawa.
“Eh nggak boleh !” Tolak Boni. “Pacarnya siapa, kok situ yang mau menguasai pembicaraan ? Pakai ngusir segala lagi,” omelnya.
“Om Boni galak ya, Kak. Kok betah sih ?” Cilla seolah berbisik dan menutup mulutnya dari samping dengan telapak tangan yang terbuka.
“Dipelet gue, Cil,” sahut Mimi sambil tertawa.
“Biarin, besok nggak dibelain lagi loh dari penindasan Arjuna,” ancam Boni dengan wajah kesal.
“Lihat tuh Kak Mimi, cowok-cowok Lima Pandawasuka ngambek. Pantas aja mereka cocok jadi sahabat,” Cilla cekikikan.
“Loh kok Lima Pandawa, Cil. Mereka kalau sudah kumpul itu totalnya tujuh. Elo nggak hitung Dono ? Terus ada tambahan satu lagi Pius.”
Cilla mengangguk dan mengetuk dagunya dengan telunjuk, menautkan alis dengan gaya berpikir.
“Nggak ada ide kalau tujuh orang, Kak. Kalau tujuh, ingatnya langsung nama hari.”
“Eh bocil, udah sana naik ke kamar, cuci kaki, cuci tangan, gosok gigi terus tidur.”
Boni menggerakan kepalanya memberi isyarat supaya Cilla menjauh, tapi gadis itu menggeleng.
“Kak Mimi keberatan nggak kalau saya ikutan ngobrol.”
“Jangan !”
“Nggak !”
Boni dan Mimi menyahut bersamaan membuat Cilla tertawa.
“Kak Mimi yang punya mulut aja nggak keberatan ngobrol sama saya, Om.”
“Yang..” Boni memberengut membuat Mimi tertawa.
“Kak Mimi tenang aja, sampai saat ini Om Boni adalah pacar setia, nggak suka lirik-lirik, kecuali lirik saya sama Pak Arjuna kalau kami lagi berdebat.”
“Elo sudah punya pacar, Cilla ?” Tanya Mimi dan mengabaikan Boni.
Akhirnya Boni menyerahkan handphonenya pada Cilla. Ia sendiri langsung mengambil kantong plastik yang ada di tangan gadis itu, lalu mengambil tahu di dalamnya tanpa ijin dari si pemiliknya.
“Saya kasih Om Boni tahu dulu tuh Kak Mimi,” Cilla memutar kamera handphone mengarah ke Boni yang sedang menikmati tahu serasi.
“Biar anteng nggak protes lagi,” Cila terkikik. “Dan soal pertanyaan Kak Mimi, jawabannya saya belum punya pacar dan belum pernah pacaran juga. Kasihan ya Kak,” Cilla memasang wajah sedih. “Sudah mau lulus SMA, tapi belum pernah merasakan cinta monyet.”
“Kalau monyet cinta elo udah pernah ?” Mimi tertawa.
“Kalau monyet bertemu saya, pasti langsung jatuh cinta, soalnya saya bawa setandan bukan sesisir pisang.”
Mimi kembali tertawa. Cilla memang menjadi hiburan seperti cerita Boni.
“Kakak sudah lama pacaran sama Kak Boni ?”
“Sejak kelas 3 SMA sampai sekarang. Dulu gue satu sekolah sama mereka semua, satu angkatan juga.”
“Wuih keren loh, berarti pacarannya udah lebih dari 5 tahun dong,” Cilla memberikan jempolnya. Mimi mengangguk mengiyakan.
“Eh ngomong-ngomong nggak keberatan kan kalau pakai gue elo ?”
“Saya nggak masalah, Kak. Tapi saya nggak enak panggil Kak Mimi pakai gue elo, nggak sopan,” Cilla tertawa.
“Ya udah kalau begitu aku kamu aja gimana ? Sebetulnya aku nggak masalah kamu pakai gue elo.”
“Jangan Kak, kalau pakai gue elo terus kedengaran sama Pak Arjuna, dilaporin sama guru B Indo, bisa-bisa langsung dikasih angka mati.”
“Nggak naik kelas dong,” ujar Mimi sambil tergelak.
“Bukan nggak naik kelas lagi, Kak. Nggak lulus,” Cilla terkekeh. “Saya baru saja naik ke kelas 12.”
“Arjuna akan ngajar kamu ?”
“Isu di sekolah sih begitu, Kak.”
“Kok isu ?”
“Kan Pak Arjuna itu guru baru. Tiga bulan kemarin cuma peralihan dari Pak Wahyu, guru lama, ke Pak Arjuna. Nggak tahu gimana caranya, begitu masuk Pak Arjuna sudah naik kelas 12 aja.”
“Senang dong dapat guru ganteng, masih muda, single pula,” Mimi terkekeh.
“Masih muda itu tepat Kak. Tapi ganteng dan single ? Duuhh… kayaknya musti dibuat angket, karena saya salah satu murid yang akan menjawab salah untuk kedua pertanyaan itu.”
“Loh kenapa ?” Mimi menautkan kedua alisnya.
“Kan Pak Arjuna sudah punya Luna, calon istrinya.”
“Loh kok kamu tahu soal Luna ? Memangnya Juna curhat sama kamu ?”
“Ups,” Cilla yang merasa kelepasan menutup mulutnya dengan jari-jarinya. “Kelepasan deh saya.”
“Kapan Juna curhat ?” Mimi mengangkat sebelah alisnya.
“Nggak curhat, Kak. Pak Arjuna masih memasang foto Tante Luna di layar handphonenya. Saya pernah mengambil paksa handphone Pak Arjuna karena sok jaim nggak mau kasih nomornya ke saya. Kalau soal nama saya pernah dengar Pak Arjuna menyebutnya.”
Boni yang sudah kenyang makan tahu serasi kembali mendekati Cilla dan menyerahkan kantong plastik yang tadi berisi tahu.
“Udah kenyang.. Sana balik kamar, jangan ganggu orang pacaran !” Boni mengambil handphonenya dan memberi isyarat pada Cilla untuk kembali ke kamar.
“Ya ampun Om Boni, kenapa tahunya cuma disisain 2 ?” Gerutu Cilla dengan wajah kesal saat melongok isi kantong.
“Siapa suruh memboikot pembicaraan orang yang lagi pacaran. Anggap saja itu upah gantinya,” Boni tertawa meledek.
“Saya pamit dulu sama Kak Mimi,” Cilla megulurkan tangannya meminta handphone Boni.
“Awas ya kalau lanjut ! Pamitan doang,” ancam Boni.
Cilla mengangguk dengan wajah masih kesal karena tahunya hanya tinggal dua.
“Kak Mimi, Cilla balik kamar dulu ya. Kesel nih, tahu Cilla hampir dihabisin sama Om Boni,” gantian Cilla mengadu pada kekasih Boni.
“Tambah gembul dong pacarku ?” Tanya Mimi sambil tergelak.
“Bukannya udah bawaannya memang gembul ?” Cilla melirik Boni sambil mencibir.
Boni mengambil paksa handphonenya dan mengusir Cilla dengan tangannya.
“Kak Mimi, boleh minta nomor handphonenya, nggak ?” Tanya Cilla sedikit berteriak karena Boni sudah menjauh.
Cilla akhirnya naik ke atas, kembali ke kamarnya sambil mengangkat kantong plastik yang berisi 2 tahu serasi. Niat ingin menikmati makanan khas ambrawa itu sambil nonton, jadi gagal karena tinggal dua potong. Tapi Cilla tersenyum sendiri, merasa senang karena mendapat teman baru.
Sementara di lobby, Boni masih meneruskan obrolannya dengan Mimi.
“Cilla beneran bakal diajar sama Arjuna, Yang ?”
“Iya Arjuna bilang begitu. Nggak kebayang kalau mereka bertemu sebagI guru dan murid di kelas, tiap kali ketemu keduanya kayak Tom dan Jerry.”
“Tuh anak tahu soal Luna, Yang,” ujar Mimi.
“Oh ya ?” Boni terkejut. “Jadi teman curhatnya Juna juga ?”
“Bukan,” Mimi menggeleng. “Juna masih saja membanggakan Luna sebagi calon istrinya.”
“Nggak sadar-sadar juga tuh anak !” Gerutu Boni. “Tadi sore saja habis ditegur sama Dono.”
“Kenapa lagi ?”
“Aku juga nggak tahu, Yang. Aku jalan duluan sama Erwin dan Luki. Tahu-tahu Cilla meninggalkan Dono, Theo sama Arjuna dan Arjuna sendiri langsung diajak ngomong sama Dono.”
“Siapa tahu Cilla jodohnya, Yang.” Mimi terkekeh.
“Arjuna menolak mentah-mentah. Dia bilang daripada sama abege model Cilla, lebih baik pulang terima pilihan Om Arman. Sudah dapat istri, jabatan CEO juga balik ke tangan.”
Dan obrolan pun berlanjut membahas hal-hal biasa yang mereka perbincangkan. Hingga jam 11 malam, Mimi mengakhiri pembicaraan mereka.
“Udah dulu yah, Yang. Mau bobo. Besok harus berangkat pagian soalnya mau meeting bulanan.”
“Ya udah bobo, ya. Mimpi aku aja, nggak boleh cowok lain !” Wajah Boni terlihat begitu serius. Mimi mengangguk dan tertawa.
“Kamu juga ya, jangan ikut-ikutan tuh cowok-cowok jones. Dan jangan lupa kirimin nomor Cilla ke aku, biar dia bisa kirim live news buat aku.”
“Iya.. iya…”
Keduanya pun memberikan salam cium dari jauh sebelum menyudahi video call mereka.