Valerie memutuskan pulang ke Indonesia setelah dikhianati sang kekasih—Kelvin Harrison. Demi melampiaskan luka hatinya, Vale menikah dengan tuan muda lumpuh yang kaya raya—Sirius Brox.
Namun, siapa sangka, ternyata Riu adalah paman terkecilnya Kelvin. Vale pun kembali dihadapkan dengan sosok mantan, juga dihadapkan dengan rumitnya rahasia keluarga Brox.
Perlahan, Vale tahu siapa sebenarnya Riu. Namun, tak lantas membuat dia menyesal menikah dengan lelaki itu, malah dengan sepenuh hati memasrahkan cinta yang menggebu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makan Malam Bersama
Lima hari setelah Sander tiba di Indonesia, Camelia dan yang lain tiba juga di sana.
Lewat tengah hari mereka meninggalkan bandara Ibu Kota. Satu tempat yang menjadi tujuannya adalah rumah Jason. Sesuai dengan rencana, Kelvin juga ikut serta dalam kepulangan itu. Tak ada yang curiga dengan niat tersembunyi Kelvin, dia begitu rapat menyimpannya.
Sama seperti kedatangan Sander. Di antara mereka tak ada satu pun yang tahu, karena Riu dan Jason juga menyimpan rapat hal tersebut.
"Kamu sudah menghubungi Papa?" tanya Annisa pada adiknya.
"Sudah. Si lumpuh juga katanya sudah ada di rumah."
"Baguslah. Aku sudah tidak sabar melihat wanita yang menjadi istrinya. Pasti kampungan dan mata duitan." Annisa melipat tangan di dada, meluapkan kekesalan atas pernikahan adiknya.
"Itu pasti. Memangnya wanita baik mana yang mau menikah dengan pria cacat seperti dia," timpal Theo.
"Pokoknya kita harus menyusun rencana dengan matang. Jangan sampai wanita itu menolak berpihak dengan kita." Camelia ikut menyahut. Niatnya untuk menghancurkan Riu begitu.
Vir tak mau kalah. Dia juga buka suara sesaat setelah istrinya bicara.
"Setelah ini sekalian beri pelajaran untuk Riu. Jangan sampai dia berulah lagi di kemudian hari. Habisi saja kalau perlu."
Perbincangan pun terus berlangsung dengan topik yang sama. Ungkapan-ungkapan rencana licik terlontar begitu saja. Semua tampak berapi-api, sama sekali tak merasa terbebani.
Hanya Kelvin yang terus diam, menyamai sopir yang sejak tadi tak berani membuka mulut. Keduanya diam dengan pikiran yang berbeda. Sopir merasa bersyukur terlahir sederhana. Karena dengan begitu, tidak akan terlibat konflik fatal yang bertumpu pada harta.
Sementara Kelvin, dia terus memikirkan Vale. Entah mengapa perasaannya makin tak nyaman. Ada rasa waswas akan pertemuannya nanti. Bagaimana kalau suami Vale adalah lelaki yang lebih sempurna darinya? Ahh, Kelvin tak mungkin bisa menerima itu.
"Andai saja orang tuamu konglomerat, dan prinsipmu tidak kolot. Kita tidak akan putus, dan kamu tidak perlu menikah dengan lelaki lain. Kamu akan tetap menjadi kekasihku, Vale," batin Kelvin.
Makin ke sini, dia merasa dilema dengan hatinya sendiri. Di satu sisi yang ia cintai memanglah Vale. Namun di sisi lain, wanita itu tak bisa memuaskan hasratnya, juga tak lebih kaya darinya. Satu lagi yang pasti, sekarang wanita itu sudah menikah dengan lelaki lain.
Karena terlalu larut dalam lamunannya sendiri, Kelvin sampai tak sadar jika perjalanan sudah berakhir. Mobil yang membawanya telah berhenti di depan rumah megah tiga lantai dengan dominan warna gold—rumah utama keluarga Brox.
"Selamat datang, Tuan, Nyonya!"
Empat pelayan menyambut mereka dengan hormat. Tak hanya menyapa sambil membungkuk, mereka juga membawakan tas dan barang lain yang dibawa majikan.
Setibanya di ruang tamu, mereka disambut pelayan lain. Yang kemudian mengantarnya ke ryang keluarga. Sebuah ruangan tempat Jason dan Riu menunggu.
"Selamat datang, Kakak. Bagaimana kabar kalian?" sapa Riu dengan senyuman lebarnya. Namun, tidak disambut baik oleh Annisa dan yang lain. Mereka hanya membalas sekenanya. Sekadar penutup agar Jason tidak curiga.
"Senang melihat kalian pulang dalam keadaan sehat. Menginaplah lebih lama nanti." Jason memeluk Camelia dan Annisa secara bergantian. Lantas, melakukan hal yang sama pada Kelvin.
Jason berusaha bersikap biasa meski aslinya gelisah. Kedatangan Sander tempo hari—secara diam-diam, membuatnya tahu bahwa ada konflik di antara anak cucunya.
Usai berbasa-basi, masing-masing mengambil tempat duduk. Annisa yang berada tepat di depan Riu. Tatapannya nyaris tak beralih dari adiknya itu, dan dengan tajam tentunya. Akan tetapi, Riu pura-pura tak tahu.
"Di mana istrimu? Apa tidak kamu ajak ke sini?" tanya Theo sambil menatap ke segala arah. Mencari sosok istri Riu yang mungkin saja membantu para pelayan. Sebagai wanita kampungan, sudah sepantasnya kan begitu?
"Dia masih kerja, Kak. Makan malam nanti dia akan ke sini," jawab Riu masih dengan senyumannya. Bahkan, ia terlihat tenang duduk di kursi roda, seolah itu merupakan tempat kebanggaan.
Theo menatap remeh, "Kerja di mana?"
"Di sekitar sini saja," jawab Riu. Tidak termasuk bohong karena tempat kerja Vale masih berada di kota yang sama, dan tidak membutuhkan waktu berjam-jam untuk menempuh jaraknya.
Namun, Theo dan yang lain salah paham akan hal itu. Mereka mengira tempat kerja Vale hanyalah kafe atau restoran biasa yang benar-benar di sekitar sana.
"Pantas saja kamu merahasiakan identitasnya, Paman. Ternyata ... dia hanya wanita biasa yang kerja di tempat kecil," ucap Kelvin dengan pelan. Namun, cukup jelas untuk didengar.
"Vin, kamu jangan begitu. Dia wanita pilihan pamanmu, harus kita hargai. Dan kamu, Riu, tidak berniat menceraikan dia, kan?" Annisa tersenyum penuh kemenangan.
"Tentu tidak, Kak. Meski dia wanita biasa, tapi sifatnya baik. Bahkan, masih mau bekerja meski aku sudah menjamin semua kebutuhannya. Kupikir ... itu lebih pantas dinikahi, dari pada cantik menawan tapi ... suka menggagahi warisan mertua," jawab Riu sambil meraih gelas minumannya.
Sekilas ia melirik ke arah Vir dan Theo, yang tampak meradang karena sindirannya barusan.
"Kalau mereka lebih bisa mengurus, ya sah-sah saja. Dari pada diurus anak sendiri, tapi malah berantakan. Kasihan orang tuanya dong, perjuangan kerasnya jadi sia-sia." Dengan tangan yang mengepal erat, Vir mengucapkan kalimat itu.
"Sudah sudah. Kalian kan baru menempuh perjalanan jauh. Lebih baik istirahat dulu. Riu, kamu juga kan tadi di kantor lumayan sibuk. Istirahat sebentar gih!" sela Jason. Ia sudah menangkap sesuatu yang lain dalam perbincangan anak-anaknya. Sebelum merambat lebih jauh lagi, lebih baik ia akhiri saja.
"Sepertinya itu ide bagus. Kakak, kalian istirahatlah! Aku juga akan istirahat. Nanti kita berkumpul lagi saat makan malam, sekalian kukenalkan istriku pada kalian. Kelvin, semoga kamu menyukai bibimu ya," ujar Riu, lagi-lagi dengan senyuman dan sikap yang tenang.
"Kenapa aku?" Kelvin mengernyitkan kening.
"Kamu kan masih lajang. Mana tahu nanti setelah kenal dengan bibimu, ada keinginan juga untuk menikah. Orang tuamu sudah mapan, usiamu juga sudah matang, tidak ada salahnya kan memikirkan pernikahan?"
"Aku menikah ya karena keinginan sendiri, bukan karena kenal dengan Bibi. Memangnya sehebat apa dia, sampai mempengaruhi keputusan besarku." Kelvin bersungut-sungut. Tidak terima dengan ucapan Riu yang seolah-olah membanggakan istrinya.
Tanpa menunggu tanggapan Riu, Kelvin langsung beranjak pergi. Annisa dan yang lain pun bergegas mengikutinya. Tak terkecuali Jason.
Namun, belum terlalu jauh Jason meninggalkan ruangan itu, Riu memanggilnya.
"Ada apa, Riu?"
"Tidak. Aku hanya mau bilang, janji Papa kemarin masih kupegang."
Tubuh Jason menegang. Ia mulai bertanya-tanya, apa kiranya yang terlewat dari pengetahuannya.
Sayang sekali, pelayan sudah mendorong kursi roda Riu, sehingga Jason tak bisa bertanya lebih jauh. Hanya mampu menunggu sampai waktu menjawab dengan sendirinya.
_______
Tepat pukul 07.00 malam, Jason dan anak cucunya berkumpul di meja makan. Hidangan sudah terjadi dengan rapi, tapi masih ada satu kursi yang kosong—di sebelah Riu.
Wajah-wajah yang ada di sana memasang tampang kesal, tak suka jika harus menunggu. Apalagi orang itu adalah istri Riu, sosok kecil yang menurut mereka tak ada arti.
"Riu, sudah lima menit kita duduk di sini dan istrimu belum datang juga. Apakah ini sopan? Apakah ini yang kamu sebut wanita baik tadi?" gerutu Annisa dengan tangan yang dilipat di dada.
"Dia sudah tiba," jawab Riu.
Bersamaan dengan berakhirnya ucapan itu, suara ketukan high heels samar-samar terdengar. Makin lama makin dekat, mencuri perhatian beberapa pasang mata yang kini menatap pada satu arah.
Bersambung...