NovelToon NovelToon
The Stoicisme

The Stoicisme

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Berbaikan
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Wahyudi0596

Shiratsuka mendecak, lalu membaca salah satu bagian esai yang ditulis Naruto dengan suara pelan tetapi jelas:

"Manusia yang mengejar kebahagiaan adalah manusia yang mengejar fatamorgana. Mereka berlari tanpa arah, berharap menemukan oase yang mereka ciptakan sendiri. Namun, ketika sampai di sana, mereka menyadari bahwa mereka hanya haus, bukan karena kurangnya air, tetapi karena terlalu banyak berharap."

Dia menurunkan kertas itu, menatap Naruto dengan mata tajam. "Jujur saja, kau benar-benar percaya ini?"

Naruto akhirnya berbicara, suaranya datar namun tidak terkesan defensif. "Ya. Kebahagiaan hanyalah efek samping dari bagaimana kita menjalani hidup, bukan sesuatu yang harus kita kejar secara membabi buta."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyudi0596, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 15

Keesokan harinya, Naruto yang tengah berjalan santai di koridor sekolah mulai menangkap obrolan-obrolan di sekitarnya. Berbagai bisikan dan gumaman samar terdengar dari kelompok siswa yang berkumpul di sudut-sudut kelas dan lorong.

"Serius, Tobe itu emang gitu? Aku dengar dia sering ngebully anak-anak yang lebih lemah."

"Dan Ouka… katanya dia punya koleksi barang-barang mesum? Gila sih, dia keliatan normal padahal."

"Yamato? Udah jelas lah, dia emang tukang tebar pesona. Aku nggak heran kalau dia emang suka main perempuan."

Naruto memperlambat langkahnya, membiarkan kata-kata itu mengendap di pikirannya. Rumor-rumor ini persis seperti yang disebutkan Hayama kemarin.

"Jadi ini yang dia maksud..." gumamnya pelan.

Ia tak bisa langsung mengambil kesimpulan, tetapi ada pola yang menarik di sini. Rumor tentang Tobe dan Ouka terdengar seperti tuduhan kejam yang mendiskreditkan mereka, sedangkan rumor tentang Yamato terdengar lebih seperti kelanjutan dari gosip yang sudah ada sebelumnya.

Naruto menarik napas dalam dan mulai berpikir. "Seseorang dengan sengaja menyebarkan ini. Tapi untuk tujuan apa?"

Langkahnya berlanjut ke kelas, di mana ia tahu bahwa Hachiman dan Yuigahama pasti sudah mendengar hal yang sama. Investigasi baru saja dimulai, dan dia harus memastikan langkah selanjutnya dilakukan dengan benar.

Saat istirahat siang, ruang klub relawan kembali menjadi tempat pertemuan kecil bagi Naruto, Yukino, Yui, dan Hachiman. Kali ini, Hayama juga hadir, duduk dengan tenang sambil menunggu laporan dari mereka.

Yui, yang biasanya ceria, tampak sedikit serius saat mulai berbicara. "Aku udah coba cari tahu soal rumor itu dari para gadis di kelas, tapi mereka sendiri nggak tahu siapa yang pertama menyebarkannya. Mereka cuma denger dari orang lain, lalu menyebarkan lagi. Jadi, intinya... ini kayak bola salju yang terus bergulir."

Naruto menyimak dengan seksama, sementara Yukino menghela napas kecil. "Begitulah biasanya rumor bekerja. Tapi tetap saja, ada seseorang yang mendorongnya sejak awal."

Hachiman, yang duduk dengan tangan disilangkan, akhirnya buka suara. "Aku masih belum punya petunjuk yang jelas."

Yukino melirik ke arahnya dengan ekspresi setengah mencemooh. "Tentu saja. Kalau itu dari dirimu, aku sudah menduganya."

Hachiman hanya mendesah malas, sementara Yui tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. "Yukinon, jangan gitu dong. Hikki juga udah berusaha, kan?"

Naruto, yang sedari tadi diam, akhirnya berbicara. "Jadi, intinya, belum ada sumber pasti siapa yang pertama kali menyebarkan rumor ini, ya?"

Yui dan Hachiman mengangguk.

Hayama, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. "Kalau begitu, kita harus mencari tahu motif di balik rumor ini. Biasanya, orang yang menyebarkan gosip seperti ini punya tujuan tertentu."

Naruto menyandarkan punggungnya ke kursi dan berpikir. "Kalau begitu, langkah pertama adalah mencari tahu siapa yang paling diuntungkan dari tersebarnya rumor ini."

Yukino menatapnya sejenak, sebelum akhirnya mengangguk setuju. "Itu masuk akal."

Diskusi pun berlanjut, dengan mereka mencoba mencari pola di balik rumor yang beredar. Masalahnya bukan hanya menemukan siapa penyebar pertama, tapi juga memahami alasan di baliknya.

Saat Naruto kembali ke kelas, suasana yang biasanya dipenuhi dengan obrolan ringan dan tawa kini terasa lebih berat. Di salah satu sudut ruangan, empat orang siswa berdiri dalam ketegangan yang tak terucapkan. Mereka adalah sekawan yang selalu terlihat bersama—Tatsuya, Riku, Mayu, dan Kenji. Namun, kali ini, ada sesuatu yang berbeda.

Tatsuya, yang selalu menjadi pemimpin tak resmi di antara mereka, menatap teman-temannya dengan ekspresi sulit. "Jadi... kalian benar-benar nggak mau berpisah?" suaranya terdengar datar, tapi Naruto bisa menangkap nada kecewa yang tersembunyi di dalamnya.

"Bukan masalah mau atau nggak mau," sahut Mayu, gadis satu-satunya di kelompok itu. "Ini aturan. Satu kelompok hanya boleh tiga orang. Kalau kita terus memaksakan untuk tetap bersama, kita bakal melanggar peraturan, dan itu bisa bikin masalah."

Naruto tetap diam, mengamati situasi dari kejauhan. Dia tidak perlu mendekat untuk tahu bahwa perasaan mereka sedang bergejolak. Mereka bukan hanya sekadar teman, mereka adalah satu kesatuan—seperti roda yang berputar bersama. Tapi kini, aturan sekolah memaksa mereka untuk membuat keputusan yang bisa merusak keseimbangan itu.

Kenji, yang paling pendiam di antara mereka, mengusap wajahnya dengan frustasi. "Tapi kenapa harus seperti ini? Kenapa kita nggak bisa minta pengecualian? Bukankah kita udah cukup lama bersama? Harusnya ada cara lain..."

Mayu menghela napas panjang. "Aku juga nggak suka ini, tapi kita nggak bisa seenaknya sendiri. Kalau kita minta pengecualian, kelompok lain juga bakal protes. Lagipula..." dia menggigit bibirnya, "kita cuma berpisah sementara, bukan berarti persahabatan kita berakhir."

Namun, kata-katanya terasa hampa. Naruto bisa melihat itu dari cara Kenji mengepalkan tangannya dan Riku yang menundukkan kepala.

"Mudah buatmu ngomong kayak gitu," gumam Riku, akhirnya membuka suara. "Tapi kalau kamu yang ditinggalkan sendirian, apa kamu bakal tetap bisa bilang kalau ini nggak masalah?"

Kalimat itu seperti pedang yang menebas udara di antara mereka. Mayu terdiam. Tatsuya juga.

Karena kenyataannya, tak peduli seberapa kuat persahabatan mereka, ada perasaan takut ditinggalkan yang tak bisa diabaikan. Mereka semua tahu itu, tapi tidak ada yang mau mengakuinya.

Naruto menghela napas pelan. Dia pernah melihat situasi seperti ini sebelumnya—momen ketika kebersamaan diuji oleh keadaan yang tak bisa mereka kendalikan.

Dia bisa saja ikut campur. Memberikan sudut pandang lain. Mungkin bahkan menawarkan solusi.

Tapi apakah itu yang mereka butuhkan?

Atau justru mereka harus menyelesaikan ini sendiri, untuk membuktikan apakah persahabatan mereka cukup kuat untuk melewati rintangan ini?

Naruto memutuskan untuk tetap diam dan menunggu. Bagaimanapun juga, ini adalah ujian bagi mereka. Dan dalam kehidupan, tidak semua konflik harus diselesaikan oleh tangan orang lain.

Tapi nampaknya situasi keempat orang itu tidak menunjukkan tanda-tanda membaik, akhirnya Naruto menghela napas pelan. Ia bisa saja mengabaikan situasi ini, membiarkan mereka menyelesaikan masalah mereka sendiri. Tapi melihat ekspresi Tatsuya, Riku, Mayu, dan Kenji yang penuh kebingungan dan frustrasi, ia tahu bahwa jika masalah ini dibiarkan, luka yang terbentuk mungkin tidak akan mudah sembuh.

Ia pernah mengalami situasi serupa sebelumnya. Dulu, ia juga pernah merasakan bagaimana sesuatu yang kecil bisa menghancurkan hubungan yang tampaknya tak tergoyahkan. Dan ia menyesal karena saat itu ia tidak melakukan apa pun.

Berbekal pengalaman itu, Naruto akhirnya memutuskan untuk ikut campur.

Dengan langkah santai namun penuh keyakinan, ia berjalan mendekati mereka. "Sepertinya kalian sedang dalam masalah, ya?" suaranya terdengar ringan, tapi tidak meremehkan.

Empat orang itu menoleh hampir bersamaan. Tatsuya mengangkat alis, Riku terlihat sedikit waspada, Mayu tampak ragu, sementara Kenji hanya menatap Naruto dengan ekspresi lelah.

"Ini bukan urusanmu, Naruto," ujar Riku cepat, nada suaranya terdengar defensif.

Naruto mengangkat bahu. "Mungkin bukan. Tapi kalau kalian terus diam-diaman seperti ini, aku yakin ini bakal jadi urusanku juga nanti. Lagipula, kalau aku bisa membantu, kenapa tidak?"

Tatsuya melipat tangan di dadanya, menatap Naruto dengan tajam. "Jadi, menurutmu apa yang harus kami lakukan?"

1
Tessar Wahyudi
Semoga bisa teruss update rutin, gak apa-apa satu hari satu chapter yang penting Istiqomah. semangat terus.
Eka Junaidi
saya baca ada yang janggal, seperti ada yang kurang. coba di koreksi lagi di chapter terakhir
Nekofied「ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ」
untung bukan sayaka 🗿
Tessar Wahyudi: ah nanti terjawab seiring cerita berjalan
Nekofied「ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ」: walaupun masih bingung 🗿 mc nya renkarnasi atau bukan
total 3 replies
Eka Junaidi
Masih dipantau, semoga gak macet seperti karya lainnya. atau semoga semuanya bakal di lanjutkan lagi.
Eka Junaidi
Itu sinar matahari pagi atau sore, kok dia akhir Naruto menemukan dokumen Yamato hanya dalam waktu satu jam setengah. jika Naruto Dateng pagi jam setengah enam, setidaknya waktu baru menunjukkan pukul tujuh pagi. jadi itu adalah typo.
Eka Junaidi
mantap, semangat nulisnya bro
anggita
like👍pertama... 👆iklan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!