Bismarck telah tenggelam. Pertempuran di Laut Atlantik berakhir dengan kehancuran. Kapal perang kebanggaan Kriegsmarine itu karam, membawa seluruh kru dan sang laksamana ke dasar lautan. Di tengah kegelapan, suara misterius menggema. "Bangunlah… Tebuslah dosamu yang telah merenggut ribuan nyawa. Ini adalah hukumanmu." Ketika kesadarannya kembali, sang laksamana terbangun di tempat asing. Pintu kamar terbuka, dan seorang gadis kecil berdiri terpaku. Barang yang dibawanya terjatuh, lalu ia berlari dan memeluknya erat. "Ana! Ibu kira kau tidak akan bangun lagi!" Saat melihat bayangan di cermin, napasnya tertahan. Yang ia lihat bukan lagi seorang pria gagah yang pernah memimpin armada, melainkan seorang gadis kecil. Saat itulah ia menyadari bahwa dirinya telah bereinkarnasi. Namun kali ini, bukan sebagai seorang laksamana, melainkan sebagai seorang anak kecil di dunia yang sepenuhnya asing.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Akihisa Arishima, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pergi Berburu (bag.1)
Festival panen yang berlangsung selama dua hari akhirnya usai. Musik yang menggema kini telah reda, dan lentera-lentera yang sebelumnya menerangi alun-alun perlahan mulai dipadamkan. Kegembiraan masih terasa di hati setiap orang, namun bagi keluarga Heinrich, kini tiba waktunya untuk kembali ke Drachenburg.
Di depan rumah Seraphina, rombongan bersiap untuk berangkat menuju kota Drachenburg. Para pengawal dengan sigap menaikkan barang-barang ke dalam kereta kuda, sementara Heinrich, Liliana, dan August berpamitan dengan penuh rasa enggan.
Di depan rumah Seraphina, rombongan bersiap untuk berangkat menuju kota Drachenburg. Para pengawal dengan sigap menaikkan barang-barang ke dalam kereta kuda, sementara Heinrich, Liliana, dan August berpamitan dengan berat hati.
Heinrich menggenggam tangan Seraphina erat, menatapnya dalam dengan sorot mata penuh keraguan. "Seandainya kita bisa tinggal bersama lebih lama..."
Seraphina tersenyum lembut, meski ada kesedihan yang tersirat di matanya. "Aku juga menginginkannya, Heinrich. Tapi desa ini membutuhkan kepemimpinanku. Masih banyak dokumen yang harus kuselesaikan, permasalahan warga yang harus kutangani. Aku tak bisa meninggalkan mereka begitu saja."
Ia menatap suaminya dengan penuh pengertian sebelum melanjutkan, "Tapi kau juga punya tanggung jawab besar, Heinrich. Sebagai pemimpin kota dan wilayah sekitarnya, tugasmu jauh lebih berat. Banyak orang yang bergantung padamu di Drachenburg."
Seraphina menghela napas pelan, menggenggam tangan Heinrich lebih erat. "Aku tahu kau ingin kita selalu bersama. Aku pun begitu. Kau sudah berjuang keras, mengubah pandangan para bangsawan tentang demi-human, menghapus perbudakan, dan menciptakan kedamaian. Tapi perjuanganmu belum selesai, bukan?"
Heinrich terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. Ia tahu Seraphina benar, meskipun hatinya berat untuk pergi.
Tiba-tiba, August berlari kecil dan langsung memeluk Seraphina dengan erat. "Ibu Seraphina, apakah aku masih bisa bermain lagi dengan Kak Ana?" tanyanya dengan nada penuh harap.
Seraphina terkekeh lembut, mengusap rambut bocah itu dengan penuh kasih sayang. "Tentu saja, Sayang. Anastasia pasti akan selalu menunggumu di sini. Kapan pun kau ingin berkunjung, pintu rumah ini selalu terbuka untukmu."
Di samping mereka, Anastasia berdiri dengan tatapan tegas, menatap langsung ke arah ayahnya. "Jangan khawatir, Ayah. Aku akan membantu Ibu menjaga desa ini."
Heinrich tersenyum bangga melihat putrinya yang tumbuh begitu kuat dan mandiri. Ia mengulurkan tangan, mengacak lembut rambut Anastasia. "Aku tahu kau anak yang kuat dan cerdas. Tapi tetap dengarkan ibumu, ya? Jangan gegabah dan selalu berhati-hati."
Anastasia mengangguk mantap. "Tentu, Ayah. Aku akan melakukan yang terbaik."
Hans, yang berdiri tak jauh dari mereka, memberi hormat kepada Heinrich. "Yang Mulia, saya bersumpah akan menjaga Nyonya Seraphina dan Nona Anastasia. Tidak akan ada yang bisa menyentuh mereka selama saya masih bernapas."
Heinrich mengangguk puas. "Aku percaya padamu, Hans. Jaga mereka baik-baik."
Liliana, yang sejak tadi diam, akhirnya mendekat dan menggenggam tangan Seraphina dengan erat. "Jangan terlalu memaksakan diri, ya? Jika ada sesuatu yang mendesak, kirim surat. Kami pasti akan datang."
Seraphina tersenyum dan mengangguk. "Tentu, Liliana. Kau juga, jaga kesehatan dan jaga Heinrich baik-baik."
Di kejauhan, Edward yang kini menggantikan Hans sebagai kusir, telah bersiap di tempat duduk depan kereta. "Yang Mulia, kita bisa berangkat kapan saja."
Heinrich menghela napas panjang sebelum akhirnya melepaskan genggaman tangannya dari Seraphina. "Baiklah... Sampai jumpa lagi, Sayang."
Seraphina dan Anastasia melambai saat kereta mulai bergerak meninggalkan desa. Perlahan, siluet Heinrich, Liliana, dan August semakin jauh hingga akhirnya menghilang di balik cakrawala.
Seraphina menarik napas panjang, menenangkan hatinya yang terasa berat. Ia menoleh ke Anastasia dan Hans. "Baiklah, kita masih punya banyak pekerjaan. Desa ini tetap harus berjalan dengan baik meskipun Ayahmu pergi."
Anastasia mengangguk dengan penuh semangat. "Iya, Ibu! Aku juga ingin membantu!"
Hans tersenyum tipis. "Kalau begitu, mari kita mulai bekerja."
Dengan semangat yang tetap menyala, mereka bertiga melangkah masuk ke rumah, kembali menjalankan tugas mereka untuk menjaga kedamaian dan kesejahteraan Fischerdorf.
Seraphina kembali menjalankan tugasnya sebagai kepala desa. Ia tenggelam dalam tumpukan dokumen yang belum selesai, sibuk mengurus laporan keuangan, perencanaan panen, serta berbagai permasalahan warga yang perlu ditangani. Hans, yang setia di sisinya, membantu menyusun laporan dan administrasi desa agar pekerjaannya lebih teratur dan efisien.
Sementara itu, Anastasia memilih pergi ke gudang di halaman belakang sendirian.
Di sana, ia membawa dua kantung bubuk smokeless powder yang sebelumnya ia pesan dari Cindy, seorang alkemis di kota Drachenburg. Tak lupa, ia juga membawa 200 selongsong kosong, primer, dan proyektil peluru yang masih terpisah, siap untuk dirakit menjadi amunisi.
Dengan cekatan, Anastasia mulai meracik peluru. Ia memasukkan bubuk smokeless powder ke dalam selongsong, menutupnya dengan proyektil peluru, lalu menggunakan palu karet padat untuk memasukkan primer di bagian belakang selongsong. Ia mengunci setiap selongsong yang telah terisi dengan hati-hati. Setelah beberapa jam bekerja tanpa henti, 200 butir peluru akhirnya selesai. Ia memasukkannya ke dalam kantung kecil, masing-masing berisi 20 butir, sehingga total ada 10 kantung.
Keesokan paginya, Anastasia memutuskan untuk berburu. Ia menghampiri ibunya yang sedang membaca dokumen di ruangannya bekerja.
"Ibu, aku ingin berburu hari ini," ucapnya dengan semangat.
Seraphina menurunkan dokumen yang ia pegang dan menatap putrinya. "Berburu? Kau yakin? Apa tidak terlalu berbahaya?"
Anastasia tersenyum percaya diri. "Aku sudah pernah berlatih berburu bersama August, bukan? Aku hanya akan pergi ke hutan timur untuk mencari rusa."
Seraphina berpikir sejenak, lalu menoleh ke arah Hans. "Hans, tolong temani dia. Aku tidak ingin ada hal buruk terjadi."
Hans membungkuk ringan. "Tentu, Nyonya. Aku akan memastikan keselamatannya."
Seraphina menghela napas, lalu berjalan menuju lemari di ruangannya. Ia membukanya, mengambil sebilah belati yang tergantung di dalamnya, lalu menyerahkannya kepada Anastasia. "Bawa ini. Selalu waspada dan jangan gegabah."
Anastasia menerima dagger itu dengan senyum penuh keyakinan. "Terima kasih, Ibu! Aku akan kembali dengan hasil buruan yang bagus!"
Setelah bersiap, Anastasia membawa Mauser C96 miliknya beserta dagger pemberian ibunya. Sementara itu, Hans, dengan pedang tajam layaknya seorang kesatria, menemani sang putri berburu. Mereka berjalan menuju timur desa Fischerdorf, menikmati angin sepoi-sepoi dan suasana alam yang menenangkan. Melewati padang rumput luas dengan udara pagi yang sejuk, mereka berbincang ringan sepanjang perjalanan.
"Jadi, kau berencana berburu apa kali ini?" tanya Hans.
"Rusa. Harganya cukup mahal, dan dagingnya enak," jawab Anastasia dengan santai, sambil terus berjalan di antara pepohonan bersama Hans.
Hans mengangguk. "Pilihan yang bagus. Tapi kita harus tetap waspada, terkadang ada predator di sekitar sini."
Saat mereka terus melangkah, tiba-tiba terdengar suara gemerisik dari semak-semak di depan mereka. Keduanya langsung berhenti dan saling bertukar pandang. Dengan hati-hati, Hans meraih gagang pedangnya, sementara Anastasia perlahan mengangkat pistolnya, bersiap menghadapi kemungkinan yang tak terduga.
Dari balik semak, seekor rusa muncul, sibuk merumput tanpa menyadari keberadaan mereka. Anastasia menahan napas, lalu memberi isyarat pada Hans untuk tetap diam. Keduanya mulai mengendap-endap, mendekati rusa itu dengan langkah ringan agar tidak menarik perhatiannya.
Anastasia mengambil posisi dengan hati-hati, berjongkok di balik semak-semak sambil mengangkat pistolnya. Ia menahan napas, memastikan bidikannya tepat pada kepala rusa yang sedang merumput dengan tenang.
Jari telunjuknya perlahan menarik pelatuk, menunggu momen yang sempurna sebelum melepaskan tembakan.
DORRR!!
Suara tembakan yang nyaring menggema di antara pepohonan, mengejutkan beberapa burung yang bertengger di dahan. Peluru melesat cepat dan mengenai kepala rusa dengan tepat. Rusa itu terjatuh seketika, tak sempat menyadari apa yang terjadi.
Hans yang berdiri di belakangnya mengawasi sekitar, memastikan tidak ada bahaya lain yang datang. "Tembakan yang bagus, Nona," komentarnya singkat.
Anastasia tersenyum puas dan menghela napas lega. "Ayo, kita bawa pulang sebelum ada pemangsa yang datang," ujarnya sambil menyimpan kembali senjatanya.
Hans mengangguk, mengangkat rusa yang cukup berat itu di pundaknya, lalu mereka kembali ke rumah.
Saat perjalanan pulang, Hans menatap Anastasia dengan kagum. "Bidikan tadi benar-benar sempurna. Kau sangat terlatih dalam hal ini. Tapi yang lebih mengejutkan adalah senjata kecil yang kau gunakan... Aku belum pernah melihat yang seperti itu sebelumnya. Bentuknya jauh lebih ringkas dari crossbow, tapi daya tembaknya luar biasa. Hanya satu tembakan, dan rusa itu langsung tumbang."
Anastasia menyeringai kecil, lalu mengeluarkan sebuah peluru dari kantongnya dan memperlihatkannya di ujung jarinya. "Ini bukan crossbow, Hans. Ini disebut pistol. Mekanismenya sangat berbeda dari panah atau busur. Jika kau perhatikan, pistol ini bekerja dengan ledakan kecil di dalam peluru ini."
Hans mengerutkan dahi, tampak penasaran. "Ledakan kecil? Maksudmu, senjata ini menggunakan sihir api untuk melontarkan benda kecil itu?" ucap hans melihat peluru di tangan anastasia.
Anastasia terkekeh, lalu menggeleng. "Bukan, ini murni mekanisme tanpa sihir."
"Jika kamu perhatikan, di dalam peluru ini terdapat bubuk smokeless powder, dan bagian ini adalah proyektil yang akan melesat mengenai sasaran," ucap Anastasia sambil menunjuk ujung tajam peluru yang dipegangnya.
"Percikan api dari primer ini akan memicu ledakan di dalam selongsong, lalu tekanan dari ledakan itu mendorong proyektil keluar dengan kecepatan tinggi," lanjutnya dengan penuh keyakinan.
Hans menatap peluru itu dengan takjub. "Jadi begitu cara kerjanya... Benda sekecil ini ternyata sangat menakjubkan—atau justru berbahaya jika mengenai seseorang. Aku benar-benar belum pernah melihat senjata seperti ini sebelumnya. Kau memang luar biasa, Nona."
Anastasia tersenyum bangga. "Bukan aku yang hebat, tapi para alkemis yang menciptakan bubuk smokeless powder ini. Tanpa mereka, senjata ini tidak akan bekerja."
Hans tersenyum tipis. "Tetap saja, Nona luar biasa. Tidak hanya mampu menggunakannya dengan baik, tetapi juga bisa menjelaskannya dengan begitu jelas. Itu benar-benar mengagumkan."
Sesampainya di rumah, rusa hasil buruan segera diolah. Dagingnya dipotong dan dibersihkan, lalu dimasak menjadi steak rusa segar untuk makan malam.
Saat mereka duduk di meja makan, Seraphina mencicipi steak dengan tatapan puas. "Anastasia, kau benar-benar berbakat. Sama sepertiku yang sudah bisa berburu sejak usia enam tahun, dan sekarang kau mengikutinya."
Anastasia menyeringai bangga. "Tentu saja, Ibu. Aku ini putrimu."
Hans yang berdiri di belakang Seraphina ikut tersenyum. "Harus kuakui, nona memang berbakat. Aku belum pernah melihat gadis seusianya dengan kemampuan menembak seperti itu."
Seraphina mengangguk penuh kebanggaan. "Anak ini memang luar biasa. Tapi tetap, jangan lengah. Selalu berhati-hati, ya."
Anastasia mengangguk mantap. "Tentu, Ibu. Aku akan lebih berhati-hati."
Mereka melanjutkan makan malam dengan penuh kehangatan. Meskipun hari itu mereka harus berpisah dengan Heinrich dan keluarganya yang lain, mereka tahu bahwa ikatan mereka tetap kuat. Suatu hari nanti, mereka pasti akan berkumpul kembali.