Punya tetangga tukang gosip sih sudah biasa bagi semua orang. Terus gimana ceritanya kalau punya tetangga duda ganteng mana tajir melintir lagi. Bukan cuma itu, duda yang satu ini punya seorang anak yang lucu dan gak kalah ganteng dari Bapaknya. Siapa sih yang gak merasa beruntung bisa bertetanggaan dengan duda yang satu ini?
Dan orang beruntung itu tak lain adalah Lisa. Anak kepala desa yang baru saja menyelesaikan kuliahnya di Ibu Kota. Pas pulang ke rumah, eh malah ketemu duda ganteng yang teryata tetangga barunya di desa. Tentu saja jiwa kewanitaannya meronta untuk bisa memiliki si tampan.
Penasaran gak sih apa yang bakal Lisa lakuin buat narik perhatian si duda tampan? Kalau penasaran, yuk simak ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon desih nurani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cuap-cuap Manjah
"Duh, kok bisa kepatil sih? Naik dulu aja, biar saya obatin." Pinta Lisa mengulurkan tangannya. Kemudian Erkan pun menerima uluran tangan Lisa dan naik ke darat.
"Dikompres Neng biar gak bengkak, lumayan ini lelenya gede. Tapi gak papa, pengalaman itu." Ujar si Abah tersenyum lucu.
"Iya, Bah. Hayuk, Pak." Ajak Lisa membawa Erkan ke dapur. Lalu ia membantu Erkan mencuci luka dan darah yang masih mengalir. "Kalo kena patil kadang sampe demam. Tapi liat dulu, kalau bengkak nanti minum paracetamol aja ya?"
"Iya." Jawab Erkan terus memperhatikan wajah cantik Lisa. Posisi mereka memang sangat dekat. Apa lagi wajah serius Lisa terlihat begitu cantik.
"Biar saya buatin air kompres, bapak tunggu di depan aja ya?"
"Saya nunggu kamu aja di sini."
Lisa mengerut. "Lah... di depan kan lebih enak bisa duduk."
Di sini lebih enak karena bisa lihat kamu.
"Tunggu sebentar." Lisa pun menuangkan air panas ke baskom dan menambahkan sedikit air dingin. Setelah di rasa suhunya pas, ia kembali menghampiri Erkan yang sudah duduk di meja makan.
"Saya juga dulu pernah kena patil, sampe nangis sesegukkan malah. Habis itu saya gak mau lagi bantu Abah." Lisa terus bercerita sambil mengompres luka di tangan Erkan. Dan tidak sadar jika sejak tadi lelaki itu terus memperhatikan wajahnya.
"Sakit banget gak?" Tanya Lisa mendongak. Sontak Erkan pun memutus pandangan dan mengangguk kecil. Sebenarnya Erkan tidak terlalu peduli dengan rasa sakitnya. Yang ia peduli itu bisa deket-deket dengan Lisa seperti ini, momen langka soalnya.
"Duh... kalau tahu kayak gini mah tadi gak usah ikut-ikutan. Tar saya pantau terus, takutnya demam."
"Gimana cara mantaunya?" Tanya Erkan bingung.
"Bapaknya di sini aja dulu sampe malem, kalau nanti malam gak demam berati aman."
"Udah." Lisa pun menjauh. Meletakkan baskom tadi ke wastafle. Erkan sempat kecewa karena tidak bisa lagi menatap wajah cantik gadisnya itu.
"Bapak udah lapar banget ya?"
Erkan menggeleng.
"Kalau udah lapar tar saya teh minta si Aa buat panggangin ikannya sekarang. Kalau di sini mah makan siangnya bacakan di gubuk belakang bareng pegawai Abah."
"Gak papa, saya tunggu yang lain."
"Ya udah, yuk kebelakang lagi. Kayaknya si Mamah udah siapin semuanya di sana. Tinggal manggang ikannya aja." Lisa hendak pergi, tetapi Erkan dengan cepat menahannya. Sontak Lisa pun kembali menoleh.
"Tangan saya sakit, gimana mau makan?" Sepertinya Erkan mulai mencari kesempatan.
Lisa pun tampak berpikir. "Nanti saya suapin deh, tapi Bapaknya jijik gak makan dari tangan saya? Yah... walaupun tangan saya teh bersih sih. Tapi kan tanggapan orang beda-beda."
"Boleh, dari pada saya kesusahan."
"Beneran mau?"
Erkan mengangguk.
"Ya udah, ayok ke belakang. Saya mau bantu Mamah nyiapin bara." Lisa menggenggam tangan kiri Erkan yang masih sehat dan langsung membawa lelaki itu ke belakang. Tentu saja Erkan senang, karena Lisa sepertinya melakukan itu murni refleks tanpa niat mencari kesempatan.
"Duh, calon manten mesra banget." Sapa Pak Jajang salah satu pegawai Abah yang bekerja sebagai pemberi makan ikan.
"Eh?" Lisa yang baru sadar pun langsung melepaskan genggaman tangannya. Kemudian cengengesan karena malu.
"Gak papa atuh Neng, gak perlu dilepas. Mamang paham pasangan muda mah." Imbuh Mang Jajang. Sedangkan yang lainnya cuma tersenyum geli.
"Ih si Mamang mah bisa aja." Lisa pun memusatkan perhatian pada Erkan. "Duduk aja dulu, gak bantu juga gak papa."
"Loh, tangan kamu kenapa itu?" Tanya Mamah baru menyadari tangan Erkan luka dan agak memerah. Mungkin karena kulit lelaki itu putih bersih makanya terlalu kontras.
Erkan pun duduk di gubuk luas itu.
"Kena patil lele, Mah. Dalem banget lukanya." Adu Lisa sambil menghidupkan api.
"Waduh, bisa demam itu Neng. Udah di kompres kan?"
"Udah, Mah."
"Pasti rasana senut-senut ituh, saya mah sering kena patil." Ujar Mang Gagan ikut menimpali.
Erkan tersenyum. "Iya sih, nyut-nyut terus dari tadi. Gatal-gatal sakit."
"Ya udah, gak usah megang apa-apa. Duduk aja di situ. Bentar lagi juga selesai, orang cuma panggang ikan doang." Titah Mamah tidak tega melihat kondisi Erkan. Pasti sakit banget karena baru pertama kali kena patil.
Lisa bangun, kemudian menuangkan teh dingin ke dalam gelas dan memberikannya pada Erkan. "Dimunum dulu."
"Iya, makasih."
"Sama-sama." Lisa pun kembali membatu Mamahnya.
"Terus habis nikah masih tetap tinggal di sini, Pak Erkan?" Tanya Mang Gagan membuka obrolan.
"Enggak, Pak. Saya balik ke kota karena rumah di sana juga udah mau selesai." Jawab Erkan sambil menyesap teh dingin.
"Loh, nanti Lisa dibawa juga dong?" Celetuk Mamah kaget karena baru tahu soal itu.
"Ih, Mamah. Namanya juga Lisa udah jadi istri Pak Erkan. Ya pasti ikutlah." Sahut Lisa.
"Duh, baru juga seminggu kamu teh di sini. Masak iya mau balik lagi ke kota. Tapi mau gimana lagi ya? Namanya juga kamu teh anak perempuan, udah pasti di bawa suami."
"Ibu tenang aja, setiap minggu pasti saya bawa Lisa ke sini kok."
"Beneran ya? Soalnya Mamah teh belum puas kangen-kangenan sama Lisa."
"Mamah mah lebay." Cibir Asep.
"Lebay-lebay, kamu juga di suruh nikah malah ogah-ogahan. Kan enak kalau ada Neng Devi di sini, bisa bantu-bantu Mamah masak. Ada yang nenemin juga."
"Kenapa gak sekalian aja nikahnya, biar rame." Saran Mang Jajang.
"Ogah. Mana bisa bareng. Keenakan si Eneng atuh motong tiga sapi, lah saya nanti kesannya numpang. Pokoknya mah acara saya mah harus lebih gede, motong lima sapi." Sanggah Asep dengan nada angkuh.
"Dih... udah kayak kurban aja." Ledek Lisa.
"Iri... bilang Bos."
Lisa memutar bola matanya malas. "Dasar julid."
Lelah bertengkar. Keduanya pun diam-diaman sambil melakukan tugas masing-masing. Lisa membuat bara api, sedangkan Asep bersihin ikan.
Tidak ingin kehilangan momen, Erkan pun mengabadikan itu. Memotret calon istrinya yang sedang meniup api. Ekspresi lucu di wajah Lisa pun mengundang senyuman di bibir Erkan. Bahkan lelaki itu pun menjadikan foto tadi sebagai wallpaper.
Tetap cantik mau gimana pun ekspresinya. Gumamnya dalam hati.
Setengah jam berlalu, kini ikan bakar pun sudah siap untuk di santap. Aroma ikan bakar menyeruak masuk ke hidung Erkan dan membuat cacing di perutnya memberontak.
Saat ini semuanya sudah duduk di gazebo dengan posisi melingkar.
"Sok atuh di mulai, Abah pimpin doa." Titah Mamah. Dengan senang hati Abah pun mulai memimpin doa. Dan setelah itu semua orang mulai menyantap hidangan ala kadarnya itu.
"Lah, Erkan gimana makannya itu? Kan tangan kanannya sakit." Tanya Mamah baru sadar.
"Kan ada Lisa, Buk." Jawab Erkan yang berhasil membuat wajah calon istrinya itu merah padam karena malu.
"Cie... cie... belum nikah aja udah cuap-cuap manjah. Gimana kalau udah nikah?" Ledek Mang Jajang.
"Kalau udah nikah mah cium-cium manjah... hahaha." Timpal Asep tertawa terpingkal-pingkal.
Sedangkan yang dibicarkan terlihat bodo amat. Lisa mengambil ikan paling besar dan menaruh di atas daun pisang. "Dicocol atau di siram kecapnya?"
Erkan terlihat bingung. "Gimana kebiasaan kamu aja."
"Oh, kalau saya mah sukanya dicocol sih."
"Ya udah, dicocol aja." Sahut Erkan. Lisa pun mengangguk dan mulai mencubit daging ikan, lalu membuang durinya. Setelah itu dicocol ke sambal kecap dan langsung disuap ke mulut Erkan. Sontak semua orang yang melihat itu bersorak riang.
"Duh... jadi pengen di suap juga. Kumaha atuh?" Sindir Mang Jajang melahap kepala ikan dengan ekspresi sedih.
"Sini biar saya suap." Gurau A Asep yang disambut tawa oleh semuanya.
Erkan menatap Lisa yang tidak kunjung makan. "Kamu gak makan?"
"Eh? Saya tunggu Bapak selesai makan. Kan gak mungkin tangan saya teh dari mulut saya ke mulut Bapak."
"Kenapa enggak?"
"Eh? Emang na Bapak teh gak jijik kitu?" Tanya Lisa bingung sendiri. Secara kan Erkan itu orang kota, pasti sangat menjaga kebersihan.
"Enggak. Kita makan sama-sama. Lagian kalau udah nikah saya bakal sering minta disuapin."
Seketika wajah Lisa pun langsung merona. "Si Bapak mah bisa aja. Jadi beneran nih gak papa?"
"Iya." Sahut Erkan begitu yakin.
"Ya udah kalau gitu saya juga makan ya. Gak jijik kan?" Lisa mencoba meyakinkan. Membuat Erkan gemas dan ingin menciumnya. Beruntung saat ini di sana ramai, jadi Erkan masih bisa menahannya.
"Enggak, Lisa. Kalau kamu makan nunggu saya, keburu masuk angin."
"Iya sih, hehe."
Erkan menggeleng pelan. Kemudian Lisa pun tidak ragu lagi untuk makan. Dan pada akhirnya Lisa pun bergantian menyuapi Erkan dan juga dirinya sendiri. Yang lain cuma bisa senggol-senggolan melihat kemesraan dua sejoli itu. Mungkin benar kata pepatah, orang lagi jatuh cinta mah merasa dunia ini teh milik mereka bedua. Angin badai mah lewat.
Duh... jadi gini rasanya makan bareng calon suami? Bukan cuma sepiring berdua, tapi pake tangan satu berdua. So sweet banget ini mah. Duh... jantungku udah disko, bisa-bisa copot. -Batin Lisa
Hah, ternyata enak juga makan pake tangan calon istri. Kalau gini sih aku bisa nambah terus. -Batin Erkan.