Hanna Mahira adalah seorang wanita berumur 27 tahun. Dia bekerja sebagai karyawan staff keuangan pada sebuah cabang dari perusahaan ternama. Anna panggilannya, menjadi tulang punggung keluarga. Setelah ayahnya meninggal dunia, semua kebutuhan hidup ada di pundaknya.
Dia memiliki adik perempuan yang sekolah dengan biaya yang di tanggungnya.
Anna mencintai atasannya secara diam-diam. Siapa sangka jika sang atasan mengajaknya menikah. Anna seperti mendapatkan keberuntungan, tentu saja dia langsung menerima lamaran sang bos tersebut.
Namun, di hari pertamanya menjadi seorang istri dari seorang David Arion Syahreza membawanya pada lubang kedukaan.
Sebab di hari pertamanya menjadi seorang istri terungkap fakta yang amat menyakitkan. Bahwa David sang suami yang sangat Anna cintai mengatakan bahwa pernikahan ini adalah kesalahan terbesar yang dia lakukan.
Ada apa sebenarnya?
Anna berusaha menyingkap tabir rahasia David dan berusaha tegar atas pernikahan tersebut.
Baca kisahnya dan temani Anna mengungkap rahasia besar David
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IkeFrenhas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Sesampainya di kantor, aku langsung menuju meja kerja. Tidak lagi mempedulikan panggilan bang David.
Dasar manusia nyebelin. Apa-apa sekehendak sendiri. Bagaimana aku harus bertemu dengan pak Adrian?
Haish. Malu banget rasanya mengingat tingkah bang David yang seenaknya sendiri.
Harusnya, kan ... dia bisa berkata baik gitu. Apa memang tida ada kosakata yang cukup baik di kepalanya itu?
Semua seolah semaunya dia, sekehandak dia. suka-suka dia. Dia boss nya, dia yang punya. Dia pemiliknya, emang semua orang ini milik dia apa.
Hei, pak David ... Anda memang lupa di atas langit masih ada langit.
Ah, memang nyebelin banget manusia gunung salju itu. Bisa-bisanya aku jatuh cinta sama dia.
Jatuh cinta. Tiba-tiba degup jantung berdebar hebat.
Masihkah dia bersemayam di sini?
Iya, namanya masih memenuhi segenap isi hati.
Sial ...!
"Eh, Anna. Lo kenapa? Pagi-pagi udah uring-uringan?" Suara Anya menghentikan gerutuanku tentang lelaki salju itu.
Aku menggaruk kening yang tidak gatal. Tiba-tiba pula, pikiranku kosong. Bingung harus menjawab apa?
Apa ... Anya dengar omelanku? Celaka dua belas kalau sampai dia tahu.
"Ealah, malah bengong. Sana, dipanggil pak Adrian. Ditunggu di ruangannya, tuh."
Hah? Aku hanya melongo mendengar informasi dari Anya.
"Yaelah, bengong lagi. Kesambet apaan sih? Sana! Udah ditunggu pak Adrian, lho."
Tidak lagi menanggapi Anya, aku bergegas menuju ruangan pak Adrian.
Sepertinya, ada orang. Aku memutuskan menunggu di depan pintu.
Sekretaris pak Adrian, entah ke mana.
"Jangan ganggu Anna!"
Deg. Aku?
Rasa penasaran naik ke ubun-ubun. Pak Adrian berbicara dengan siapa?
Bang David? Aku menutup mulut. Rasanya ... tidak mungkin jika itu bang David.
"Aku bahkan tidak pernah mengganggunya. Aku hanya memberikan kenyamanan semampu yang aku bisa. Hal yang tak pernah dia dapatkan dari suaminya."
"Omong kosong! Urus saja istrimu sendiri. Oh ya, aku lupa. Marisa meninggalkanmu dengan lelaki lain."
Jadi, Pak Adrian telah menikah? Ya Tuhan! Kabar apa lagi ini?
"Kau bahkan tak memilik alibi lain, David. Sehingga mengungkit masa laluku. Padahal, kau tau sendiri bagaimana kisah itu terjadi. Bukankah itu menunjukkan kesalahanmu?"
"Kau!"
"Kenapa, tidak ada yang salah dari perkataan ku. Kenapa harus menyakiti wanita sebaik dan selugu Anna? Jika kau tak mencintainya, maka lepaskan dia."
"Kau mau bekasku, ha?"
"Aku bahkan tahu, kalian tidak pernah tidur bersama."
Cukup. Aku tidak ingin lagi mendengar perdebatan dua orang lelaki itu.
Ini sangat menyebalkan. Saat menyadari, bahwa aku yang menjadi topik perdebatan mereka.
Masalah ini terlalu bertumpuk-tumpuk bagiku. Satu masalah belum selesai, sekarang aku harus dihadapkan dengan masalah baru.
Apa sebenernya tujuan pak Adrian mendekatiku?
Apa motifnya? Atau ... karena bang David? Mungkinkah mereka saling bermusuhan dan menyimpan dendam?
Bahkan pak Adrian tahu persis detail rumah tanggaku. Ini sangatlah memalukan.
Aku naik ke atas gedung, duduk di atap ini sepertinya lebih baik. Menenangkan diri di sini.
Biarlah, tugas menumpuk setelah beberapa hari aku tidak masuk nanti saja aku kerjakan. Lebih baik menenangkan hati dan pikiran dulu, agar tidak mengacaukan yang lain.
"Anna. Kamu di sini."
"Pak ... Pak Adrian?" Aku langsung berdiri, mendapati sosok pak Adrian tengah berdiri menjulang di belakangku.
Lama kami hanya saling berhadapan, saling memandang lama.
Aku tersentak kala mendapati tangan pak Adrian mengelus pipiku.
"Aku dari tadi menunggumu. Rupanya, kamu di sini. Apakah kamu sering ke atas sini?" tanyanya lembut.
Ada perasaan bersalah saat menghadapi pak Adrian. Sikap baiknya dan kelembutan yang dia berikan seolah menarik paksa sisa hatiku yang kosong.
Dia seperti pahlawan yang datang saat aku butuhkan. Seperti saat ini, saat hati dan pikiranku sedang kacau.
Andai ini diibiratkan benang kusut. Maka, pak Adrian datang untuk mengurai kekusutan itu.
"Maaf, Pak. Saya hanya sedang menenangkan diri sejenak." Aku hendak beranjak pergi. Saat lelaki itu mencekal tanganku.
Entah kenapa, ada sesak yang siap untuk dilonggarkan. Ada air mata yang siap untuk mengalir deras. Pada kenyataannya, aku sangat rapuh dan sangat membutuhkan pegangan. Aku sangat membutuhkan san-da-ran.
Dan di dada ini semua rasa aku leburkan, semua tangis aku tumpahkan.
Dia, lelaki yang akhir-akhir ini menghiasi hari-hariku.
"Menangislah. Tumpahkan semua kesalmu. Setelah ini ... kembalilah kuat seperti Anna yang aku kenal."
Aku mengangguk kuat dalam benam rengkuhan dadanya.
Terimakasih, Pak.
***
"Aku enggak suka, kamu dekat-dekat dengan Adrian. Kamu itu seorang istri, seharusnya sadar diri!" Bang David marah, suaranya meninggi. Kemudian melemparkan lembaran-lembaran foto ke arahku.
Aku menatap nanar. Memunguti kertas-kertas yang berserak di lantai. Memandangnya satu persatu. Di sana tercetak jelas gambarku dan gambar pak Adrian dalam berbagai pose.
Bahkan saat kami berada di atap gedung pun tidak terlewat dari poto itu.
Ya Tuhan!
Sepertinya, aku memang butuh kekuatan ekstra menghadapi semua ini.
"Jelaskan padaku sekarang!"
Aku masih mematung, menatapi lembaran itu. Kemudian kedua tangan ini mencengkram kertas itu, erat. Sampai terasa remuknya tulang belulangku.
Sejenak, aku menghela napas dalam. Mengurai sesak di dada, mengisi paru-paru agar mampu bernapas dengan benar. Rasanya, aku telah sesak napas akhir-akhir ini.
"Apa yang ingin Abang dengar?" tanyaku lirih dengan kedua mata yang membalas tatapan tajam lelaki itu.
"Hubungan kalian, tentu saja," suaranya datar. Tatapannya begitu menikam. Bisa saja, aku mati terbunuh oleh tatapan itu.
"Kami tidak ada hubungan apapun. Kalau itu yang ingin Abang dengar."
"Bohong!" suaranya kini meninggi. Siap memekakkan telinga.
"Penjelasan apalagi yang harus aku katakan. Nyatanya, apapun yang aku ucapkan tidak pengaruh sedikit pun untukmu." Kami saling bertatapan. Lama.
Lelaki itu masih diam. Mungkin sedang menunggu kalimat yang akan aku lanjutkan.
"Sebanyak apapun Abang bertanya tentang hal yang sama. Maka, sebanyak itu pula jawabanku. KAMI TIDAK ADA HUBUNGAN APAPUN."
"Terus, kenapa kalian berpelukan. Ha?"
"Jika pertanyaan itu aku balik bagaimana? Apa hubungan Abang dengan Alina, adikku? Kenapa kalian berpelukan, bahkan saat aku sedang terbaring sakit?"
Lelaki itu membelalakkan mata, sepertinya dia terkejut. Namun, detik berikutnya dia telah berhasil mengembalikan ekspresi datarnya.
Huh! Pandai sekali dia. Kenapa tida beroeran sebagai aktor saja, daripada sebagai pemimpin perusahaan.
Ah iya, dia kan telah berperan sekarang. Sandiwara yang hebat.
"Pintar sekali kamu membalikkan pertanyaan. Aku yang sedang bertanya padamu. Bukan sebaliknya."
"Ah iya, aku lupa. Kamu penguasanya. Seorang suami yang bahkan tidak menganggap istrinya sebagai istri, lalu sekarang pura-pura peduli, seolah telah dihianati. Jangan begitulah, Bang."
"Apa maksudmu? Aku memang peduli, berusaha baik padamu. Mempertahankan dan memperbaiki hubungan rumah tangga kita. Tapi kamu malah bermain di belakangku."
"Abang ... Abang ...."
sungguh menyebalkan
terus adiknya juga kenapa gak sopan gitu , rasanya gak mungkin ada yg gitu amat , gak ada segen² nya sama kaka sendiri
semangat