Zoya tak sengaja menyelamatkan seorang pria yang kemudian ia kenal bernama Bram, sosok misterius yang membawa bahaya ke dalam hidupnya. Ia tak tahu, pria itu bukan korban biasa, melainkan seseorang yang tengah diburu oleh dunia bawah.
Di balik kepolosan Zoya yang tanpa sengaja menolong musuh para penjahat, perlahan tumbuh ikatan tak terduga antara dua jiwa dari dunia yang sama sekali berbeda — gadis SMA penuh kehidupan dan pria berdarah dingin yang terbiasa menatap kematian.
Namun kebaikan yang lahir dari ketidaktahuan bisa jadi awal dari segalanya. Karena siapa sangka… satu keputusan kecil menolong orang asing dapat menyeret Zoya ke dalam malam tanpa akhir.
Seperti apa akhir kisah dua dunia yang berbeda ini? Akankah takdir akan mempermainkan mereka lebih jauh? Antara akhir menyakitkan atau akhir yang bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zawara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Genderuwo Tampan
"ASSALAMUALAIKUM! ZOYA MAIN YUK!"
Teriakan koor dari tiga suara yang sangat familiar itu sukses membuat Zoya melompat dari kursinya. Jantungnya serasa copot. Apel yang sedang ia pegang menggelinding tragis ke lantai.
"Mampus! Mampus gue!" Zoya panik bukan main. Ia berlari kecil di tempat, berputar-putar seperti gasing yang kehilangan arah.
Bram yang melihat tingkah absurd gadis itu mengernyit heran. Tangan kanannya refleks bergerak ke pinggang, mencari senjata yang sudah tidak ada di sana. "Musuh?" tanyanya waspada, matanya langsung menyorot tajam ke arah pintu.
"Lebih parah! Temen-temen sekolah saya!" desis Zoya sambil menjambak rambutnya sendiri frustrasi. "Kalo mereka liat Bapak di sini, bisa abis saya digosipin satu sekolahan! Belum lagi si Riani mulutnya kayak toa masjid!"
"Saya bisa mengatasi mereka," kata Bram tenang, hendak bangun. Baginya, menghadapi tiga remaja tanggung jauh lebih mudah daripada satu peleton pasukan musuh.
"JANGAN!" Zoya menahan bahu Bram kuat-kuat, membuatnya meringis. "Bapak diem aja. Nurut sama saya kali ini, plisss!"
Suara langkah kaki riuh terdengar makin mendekat dari ruang tamu. Terdengar suara Bi Inem yang berusaha menahan mereka, "Eh, Non Riani, Den Dandi, Den Andre tunggu dulu, Non Zoya lagi—"
"Alah, Bi Inem mah gitu, kita mau sidak nih!" itu suara Riani.
Zoya menatap sekeliling kamarnya dengan panik. Tidak ada tempat sembunyi yang layak untuk pria sebesar Bram. Kolong tempat tidur terlalu rendah. Kamar mandi... pintunya transparan setengah!
Matanya tertuju pada lemari pakaian kayu jati tua di sudut ruangan. Besar, kokoh, dan... muat!
"Pak, maaf banget, darurat militer!" Tanpa ba-bi-bu, Zoya menarik lengan Bram.
"Tunggu, kamu mau apa—"
"Masuk lemari, cepet!"
Harga diri Bram sebagai pembunuh bayaran kelas kakap serasa diinjak-injak. Dia? Bersembunyi di dalam lemari pakaian gadis remaja? Yang benar saja.
"Saya tidak mau—"
"MASUK ATAU SAYA TERIAK MALING?!" ancam Zoya dengan mata melotot horor.
Melihat keseriusan (dan kegilaan) di mata gadis itu, Bram akhirnya mengalah. Dengan menahan nyeri di kaki dan perutnya, ia tertatih masuk ke dalam lemari yang bau kamper itu. Zoya mendorong punggung lebarnya agar masuk sepenuhnya.
"Sempit," protes Bram datar dari balik tumpukan selimut cadangan.
"Tahan nafas bentar, Pak!"
BLAM!
Zoya membanting pintu lemari tepat saat pintu kamar terbuka lebar.
"SURPRISEEEE!!!"
Riani, Dandi, dan Andre berdiri di ambang pintu dengan cengiran lebar yang seketika luntur saat melihat Zoya berdiri kaku di depan lemari dengan pose aneh, merentangkan kedua tangan seolah melindungi lemari itu.
"Lo ngapain, Zoy?" tanya Dandi bingung. "Lagi senam?"
Zoya tertawa sumbang. "Hahaha... iya! Senam... senam peregangan. Badan gue pegel-pegel makanya gak masuk sekolah."
Riani memicingkan matanya penuh curiga. Ia berjalan masuk, mengamati sekeliling kamar. "Sakit pegel doang sampe gak bisa bales chat? Bohong banget lo."
"Beneran elah! Gue tuh... tepar parah!" Zoya berusaha mengalihkan perhatian. "Kalian ngapain pada kesini sih jam segini? Bolos ya?"
"Udah pulang keles, lo aja yang kelamaan bersemedi," cibir Andre. Ia lalu duduk seenaknya di tepi tempat tidur tempat Bram tadi berbaring.
"EH JANGAN DUDUK DI SITU!" teriak Zoya histeris.
Andre langsung melompat kaget. "Woy! Kenapa sih? Ada ranjaunya?"
"I... itu... ada ompol kucing! Belum kering!"
"Hah? Sejak kapan lo piara kucing?" Andre makin bingung.
Sementara Zoya sibuk berdebat dengan dua curut laki-laki itu, Riani yang insting detektifnya sedang tajam berjalan mengelilingi kamar. Matanya menangkap sesuatu di meja nakas.
"Zoy," panggil Riani, mengangkat sebuah baskom berisi air hangat dan handuk kecil yang ada bercak merah samar. "Lo sakit apaan pake kompres ginian? Terus ini... kok bau antiseptik banget ya kamarnya? Kayak RS."
Jantung Zoya berhenti berdetak sedetik. Di dalam lemari, Bram bisa mendengar semua percakapan itu dan mulai siaga jika ketahuan.
"Itu... gue bisulan!" jawab Zoya asal. "Iya, bisul! Gede banget di... pantat! Makanya harus dikompres!"
Hening.
Ketiga temannya menatap Zoya dengan pandangan jijik-tapi-kasihan.
"Anjir, pantesan lo gak sekolah. Malu ya lo?" Dandi tertawa ngakak.
"Wah parah, bisulnya sampe butuh operasi gak tuh?" timpal Andre polos.
"Udah ah, sana kalian keluar! Gue mau istirahat, malu tau dibahas!" usir Zoya sambil mendorong-dorong mereka ke arah pintu.
Namun, bencana sesungguhnya baru dimulai.
"Eh bentar, gue mau ngaca dulu, rambut gue berantakan kena angin," kata Riani, berjalan lurus menuju... lemari tempat Bram bersembunyi. Pintu lemari itu memang ada cermin besarnya.
Mata Zoya terbelalak. Jika Riani membuka pintu itu sedikit saja untuk mengambil sisir atau apapun... tamatlah riwayatnya.
"RIANI JANGAN!"
Zoya melompat, memeluk Riani dari belakang dengan erat sampai temannya itu sesak nafas.
"Woy! Lepasin! Lo kenapa sih anjir, kesurupan ya?!" Riani memberontak.
Dari dalam lemari, Bram menahan nafas. Ia bisa melihat bayangan Riani mendekat dari celah kecil pintu lemari. Tangannya sudah siap mendobrak jika diperlukan, melupakan rasa sakit di lukanya demi tidak mati konyol digebuki anak SMA karena dikira mesum.
...***...
"Zoy, lepasin gue, gila! Sesek woy!" teriak Riani sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan maut sahabatnya.
"Gak boleh! Pokoknya gak boleh ngaca di situ!" Zoya bersikeras, masih menempel di punggung Riani seperti koala.
"Kenapa sih?! Cermin doang elah! Ada setannya emang di dalem?"
"IYA! ADA SETANNYA!" seru Zoya spontan. Sedetik kemudian ia menyesali ucapannya.
Bego banget gue!
Andre dan Dandi yang tadinya santai langsung merinding. Mereka saling pandang.
"Serius lo, Zoy?" tanya Andre dengan wajah pucat. Dia memang yang paling penakut di antara mereka berempat.
"I-iya! Serem banget pokoknya! Gede, item, brewokan..." Zoya mendeskripsikan Bram tanpa sadar.
"Anjir, genderuwo dong?" bisik Dandi ngeri-ngeri sedap.
Di dalam lemari, Bram memijat pelipisnya. Gede, item, brewokan? Deskripsi macam apa itu. Dia memang tinggi besar dan belum sempat cukur beberapa hari ini. Tapi untuk disamakan dengan genderuwo. Rasanya itu terlalu menghina.
Riani berhenti memberontak. Nyalinya sedikit ciut mendengar kata 'genderuwo'. "Lo... lo serius? Jangan nakut-nakutin ah!"
"Sumpah! Makanya jangan dibuka, nanti dia keluar!" Zoya mengangguk-angguk mantap, memanfaatkan ketakutan teman-temannya.
"Yaudah, yaudah! Gue gak jadi ngaca!" Riani akhirnya menyerah dan menjauh dari lemari keramat itu. Zoya menghela nafas lega luar biasa.
"Kita cabut aja yuk, guys," ajak Dandi yang tiba-tiba merasa bulu kuduknya berdiri. "Hawanya jadi gak enak nih di sini."
"Zoy, kita balik dulu ya. Cepet sembuh... bisulnya. Jangan lupa diruqyah tuh lemari," kata Dandi sambil menarik Andre yang sudah komat-kamit baca doa.
"Iya, iya, thanks ya udah jenguk! Hati-hati di jalan, jangan balik lagi!" Zoya buru-buru menggiring mereka keluar kamar, lalu setengah berlari mengantar sampai ke pagar depan.
Setelah memastikan tiga motor teman-temannya benar-benar hilang di tikungan, Zoya lemas. Kakinya gemetar saking tegangnya. Ia buru-buru kembali ke kamar dan membuka pintu lemari.
BRAK!
Bram nyaris terjungkal keluar karena ia sudah bersandar di pintu sejak tadi, menahan kram di kakinya yang tertekuk.
"Ya ampun, Pak! Maap, maap!" Zoya panik membantu Bram berdiri dan kembali ke tempat tidur. Wajah pria itu pucat dan keringat dingin bercucuran di dahinya.
"Kamu..." Bram mengatur nafasnya yang memburu karena menahan sakit dan emosi. "Menyamakan saya dengan genderuwo?"
Zoya meringis. "Yaa abisnya kepepet, Pak! Daripada Bapak dikira maling atau om-om genit? Mending jadi genderuwo, mereka langsung kabur."
Bram hanya bisa mendengus pasrah. Harga dirinya benar-benar sudah terjun bebas hari ini.
"Tapi serius, Pak, tadi itu nyaris banget. Jantung saya rasanya mau pindah ke dengkul," Zoya mengelus dadanya dramatis.
Bram menatap gadis itu lekat. Meski ceroboh dan bicaranya ceplas-ceplos, Zoya baru saja melindunginya dengan caranya sendiri yang... unik.
"Terima kasih," ucap Bram tulus kali ini, meski wajahnya masih datar. "Kamu menyelamatkan saya lagi."
Zoya tersenyum lebar, menampilkan deretan gigi putihnya. "Sama-sama, Pak Genderuwo!"
Bram memutar bola matanya malas. Sepertinya panggilan itu akan melekat padanya selama ia terjebak di sini.