Najwa, siswi baru SMA 1 Tangerang, menghadapi hari pertamanya dengan penuh tekanan. Dari masalah keluarga yang keras hingga bullying di sekolah, dia harus bertahan di tengah hinaan teman-temannya. Meski hidupnya serba kekurangan, Najwa menemukan pelarian dan rasa percaya diri lewat pelajaran favoritnya, matematika. Dengan tekad kuat untuk meraih nilai bagus demi masa depan, dia menapaki hari-hari sulit dengan semangat pantang menyerah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanafi Diningrat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masa lalu yang lebih kelam
Najwa dan Sinta duduk di bangku taman kecil di belakang panti asuhan. Udara Bogor malam itu dingin, ditemani suara jangkrik dan angin yang berdesir pelan di antara dedaunan. Lampu taman yang redup membuat bayangan mereka memanjang di tanah.
"Najwa, aku mau cerita sesuatu." Sinta memecah keheningan sambil menatap langit malam yang berbintang.
"Cerita apa, Sin?"
"Tentang masa lalu aku. Kenapa aku bisa ngerti perasaan kamu."
Najwa menoleh ke Sinta dengan tatapan penasaran. Selama ini sahabatnya memang jarang cerita tentang keluarga atau masa lalunya.
"Aku lahir di keluarga yang bahagia. Ayah, ibu, kakak laki-laki namanya Dani." Sinta mulai bercerita dengan suara yang lembut. "Waktu kecil, hidup aku sempurna. Keluarga harmonis, rumah bagus, sekolah di tempat yang baik."
"Terus kenapa kamu bisa di panti asuhan?"
Sinta tersenyum pahit. "Karena takdir sepertinya nggak suka lihat aku bahagia."
Najwa menunggu kelanjutan cerita sambil memperhatikan ekspresi wajah Sinta yang mulai berubah sedih.
"Waktu aku kelas empat SD, kakak aku Dani kecelakaan motor. Dia meninggal di tempat." Air mata mulai menggenang di mata Sinta. "Dia baru umur lima belas tahun."
"Sinta..."
"Ayah dan ibu hancur total. Mereka nggak bisa terima kalau anak laki-laki satu-satunya mereka meninggal. Rumah yang tadinya rame ketawa, jadi sepi banget."
Sinta mengusap mata yang mulai basah. "Enam bulan setelah kakak meninggal, ayah mulai minum alkohol. Dia bilang cuma buat ngilangin sedih. Tapi lama-lama jadi kebiasaan."
Najwa merasakan dadanya sesak mendengar cerita Sinta. Ternyata sahabatnya juga punya luka yang dalam.
"Ibu coba bertahan, tapi dia juga depresi berat. Sering nangis sendirian, nggak mau keluar kamar, nggak mau makan. Aku yang waktu itu masih kecil, harus ngurusin diri sendiri."
"Kamu sendirian?"
"Iya. Masak sendiri, cuci baju sendiri, berangkat sekolah sendiri. Ayah pulang mabok tiap hari, ibu kayak zombie yang hidup tapi nggak hidup."
Sinta menarik napas dalam sambil menatap tangannya. "Kelas lima SD, ayah mulai kasar sama aku. Dia bilang kalau aku yang harusnya mati, bukan kakak. Katanya kenapa Tuhan ngambil anak yang pinter, ninggalin anak yang biasa-biasa aja."
"Oh Tuhan, Sinta."
"Aku sering dipukul ayah kalau dia lagi mabuk. Ibu tau, tapi dia nggak pernah nolongin. Dia cuma diam sambil nangis di pojok kamar."
Air mata Sinta mulai menetes. "Kelas enam SD, kondisi ibu makin parah. Dia mulai minum obat tidur berlebihan. Katanya biar bisa ketemu kakak di mimpi."
Najwa merasakan hatinya mencelos mendengar cerita Sinta.
"Suatu malam, ibu minum obat tidur terlalu banyak. Aku yang nemuin dia di kamar, udah nggak bernapas lagi." Suara Sinta mulai bergetar. "Aku teriak-teriak manggil ayah, tapi dia lagi mabuk berat di ruang tamu."
"Sinta, aku nggak tau kalau kamu..."
"Belum selesai." Sinta mengangkat tangannya pelan. "Setelah ibu meninggal, ayah makin hancur. Dia nyalahin aku atas kematian ibu. Katanya kalau aku lebih perhatian, ibu nggak akan bunuh diri."
Najwa mengepalkan tangannya mendengar kata-kata kejam itu.
"Aku hidup sama ayah yang mabok tiap hari dan mukul aku kalau lagi bad mood. Tapi yang paling sakit, dia sering bilang kalau dia berharap aku yang mati aja, bukan kakak sama ibu."
"Sinta..."
"Kelas satu SMP, aku punya sahabat namanya Lila. Dia satu-satunya orang yang mau berteman sama aku. Aku cerita semua masalah keluarga ke dia." Sinta tersenyum getir. "Dia selalu dukung aku, bilang kalau aku kuat dan bisa melewati semua ini."
"Terus?"
"Lila kena leukemia. Dia meninggal kelas dua SMP." Air mata Sinta makin deras. "Lagi-lagi aku kehilangan orang yang aku sayang."
Najwa merasakan dadanya sesak. Ternyata Sinta kehilangan lebih banyak orang daripada dia.
"Setelah Lila meninggal, aku benar-benar sendirian. Ayah makin sering mukul aku, bahkan sampai aku masuk rumah sakit beberapa kali karena luka-lukanya."
"Kenapa kamu nggak lapor ke orang dewasa?"
"Siapa yang mau percaya? Ayah aku di luar kelihatan seperti bapak yang baik. Dia pinter nyembunyiin kelakuan buruknya." Sinta menggeleng kepala. "Lagian aku takut kalau dilaporin, aku malah nggak punya tempat tinggal."
"Terus gimana kamu bisa di panti asuhan?"
"Kelas tiga SMP, aku punya guru BK namanya Bu Rina. Dia perhatiin kalau aku sering dateng dengan luka-luka. Suatu hari dia manggil aku dan nanya langsung." Sinta mengusap air matanya. "Aku cerita semuanya sama dia."
"Bu Rina yang bantuin kamu?"
"Iya. Dia lapor ke dinas sosial dan kepolisian. Ayah aku ditangkep karena kasus kekerasan dalam rumah tangga. Aku dibawa ke panti asuhan ini."
Najwa terdiam mendengar cerita Sinta. Sahabatnya kehilangan kakak, ibu bunuh diri, ayah abusive, sahabat meninggal karena sakit. Penderitaannya bahkan lebih berat dari Najwa.
"Sin, aku nggak tau kalau kamu udah ngalamin hal sesedih itu."
"Makanya aku bisa ngerti perasaan kamu, Najwa. Aku tau gimana rasanya kehilangan orang yang disayang. Aku tau gimana rasanya dipukul sama orang yang harusnya lindungin kita."
Sinta menatap mata Najwa dengan lembut. "Tapi yang aku belajar dari semua kejadian itu adalah, kita nggak boleh biarkan kesedihan dan kemarahan ngontrol hidup kita."
"Maksud kamu?"
"Aku bisa aja jadi kayak kamu. Balas dendam ke ayah aku, atau ke orang-orang yang nggak nolongin aku waktu susah. Tapi aku sadar kalau jalur itu cuma bakal bikin aku jadi kayak mereka."
Najwa merasakan dadanya bergemuruh mendengar kata-kata Sinta.
"Kakak aku, ibu aku, sama Lila, mereka semua orang baik. Kalau aku jadi jahat karena kehilangan mereka, aku cuma ngehinain memori indah yang pernah aku punya sama mereka."
Air mata mengalir di pipi Najwa. Kata-kata Sinta kayak menampar hatinya.
"Najwa, kamu punya memori indah sama ibu kamu kan? Ibu yang sayang banget sama kamu?"
"Iya." Najwa menjawab dengan suara bergetar.
"Kalau kamu terus jadi jahat kayak gini, kamu ngehinain cinta ibu kamu. Ibu kamu pasti nggak mau liat anaknya jadi orang yang nyakitin orang lain."
Najwa mulai terisak mendengar kata-kata itu. "Tapi Sin, aku udah terlanjur masuk terlalu dalam."
"Belum terlambat. Selama hati kamu masih bisa ngerasa bersalah, berarti kamu masih bisa berubah."
Sinta memegang tangan Najwa dengan hangat. "Aku udah kehilangan banyak orang yang aku sayang. Aku nggak mau kehilangan kamu juga karena kamu terjerumus ke jalan yang salah."
"Sinta..."
"Keluarin diri kamu dari sindikat itu, Najwa. Sebelum terlambat. Sebelum kamu benar-benar jadi orang yang kamu sendiri benci."
Najwa menatap mata Sinta yang penuh dengan kepedulian dan cinta sahabat. Di mata itu, dia ngeliat refleksi dirinya yang dulu. Najwa yang masih polos, yang masih punya hati nurani.
"Aku takut, Sin. Aku takut mereka nggak akan biarkan aku keluar gitu aja."
"Apapun yang terjadi, aku akan dukung kamu. Kita hadapi bersama-sama."
Najwa mengangguk sambil menangis. "Oke. Aku akan keluar dari sindikat itu."
Mereka berpelukan di bangku taman sambil menangis bersama. Najwa merasakan kehangatan yang sudah lama hilang dari hidupnya. Kehangatan cinta dan dukungan dari sahabat sejati.
"Makasih, Sin. Makasih udah nggak nyerah sama aku."
"Sama-sama. Kita sahabat selamanya."
Setelah mereka tenang, Najwa mengambil handphone dari kantongnya. "Aku harus telepon Andi sekarang."
"Sekarang?"
"Iya. Aku nggak mau nunda-nunda lagi. Takutnya kalau ditunda, aku malah nggak berani."
Sinta mengangguk sambil memegang tangan Najwa untuk memberikan dukungan moral.
Najwa menekan nomor Andi dan menunggu sambungannya. Setelah beberapa nada tunggu, telepon tersambung.
"Najwa? Tumben telepon malem-malem. Ada kerjaan baru?" Suara Andi terdengar ceria dari speaker.
"Andi, aku mau keluar."
"Keluar? Keluar dari mana?"
"Keluar dari sindikat ini. Aku nggak mau kerja sama kalian lagi."
Suasana telepon tiba-tiba hening. Najwa bisa mendengar suara Andi yang berubah dingin.
"Najwa, kamu yakin dengan keputusan ini?"
"Iya, aku yakin."
"Kamu tau konsekuensinya?"
"Aku siap menghadapi konsekuensinya."
Andi terdiam sebentar sebelum menjawab. "Oke, kalau itu keputusan kamu. Tapi aku harus lapor ke atasan dulu."
"Siapa atasan kamu?"
"Tunggu sebentar."
Najwa mendengar suara langkah kaki dan pintu yang dibuka tutup dari telepon. Sinta memegang tangannya lebih erat, memberikan kekuatan.
Tiba-tiba suara yang familiar terdengar dari speaker telepon. Suara yang membuat darah Najwa membeku.
"Halo, Najwa sayang."
Suara itu adalah suara Bos Heri. Pria yang dulu hampir menjualnya ke Malaysia. Pria yang seharusnya sudah mati atau dipenjara.
"Bos... Bos Heri?" Najwa bergetar mendengar suara itu.
"Surprise! Aku masih hidup, sayang. Dan sekarang aku mendengar kamu mau meninggalkan keluarga besar kita?"
"Bagaimana bisa..."
"Bagaimana bisa aku bebas? Uang, koneksi, dan sedikit ancaman bisa menyelesaikan banyak hal." Suara Bos Heri terdengar mengerikan. "Yang penting sekarang, kamu mau meninggalkan kita setelah kita investasi begitu banyak buat kamu?"
"Aku nggak minta diinvestasi!"
"Tapi faktanya kamu sudah merasakan kekuatan yang kami berikan. Kamu sudah merasakan bagaimana enaknya membalas dendam."
"Itu salah! Aku nggak mau jadi kayak kalian!"
Bos Heri tertawa dengan suara yang membuat bulu kuduk berdiri. "Najwa, kamu sudah jadi kayak kami. Kamu sudah merasakan darahnya. Sekarang kamu bagian dari keluarga ini."
"Aku bukan bagian dari keluarga kalian!"
"Oh, sayang. Kamu salah besar." Suara Bos Heri berubah menjadi sangat menakutkan. "Sekali masuk keluarga kami, tidak ada yang namanya keluar."
Najwa merasakan tangannya bergetar memegang handphone.
"Najwa, kamu akan menyesal dengan keputusan ini. Sangat menyesal."
Telepon terputus dengan nada yang menyeramkan. Najwa menatap handphone dengan wajah pucat. Sinta langsung memeluknya dengan erat.
"Najwa, siapa itu?"
"Bos Heri. Dia masih hidup, Sin. Dan sepertinya dia nggak akan membiarkan aku keluar begitu saja."
Angin malam bertiup lebih kencang di taman panti asuhan. Suara jangkrik tiba-tiba berhenti, seakan alam merasakan ancaman yang mengerikan yang baru saja diucapkan.
Najwa telah membuat keputusan untuk berubah, tapi sekarang dia harus menghadapi konsekuensi yang mungkin lebih mengerikan dari yang pernah dia bayangkan.