Davian Meyers ditinggal oleh istrinya kabur yang mana baru saja melahirkan putrinya bernama Cassandra Meyers.
Sayangnya Cassandra kecil justru menolak semua orang, selalu menangis hingga tidak mau meminum susu sama sekali.
Sampai dimana Davian harus bersedih hati karena putri kecilnya masuk rumah sakit dengan diagnosa malnutrisi. Hatinya semakin hancur saat Cassandra kecil tetap menolak untuk menyusu. Lalu di rumah sakit Davian menemukan putrinya dalam gendongan seorang wanita asing. Dan mengejutkannya Cassandra menyusu dengan tenang dari wanita tersebut.
Akan tetapi, wanita tersebut tiba-tiba pergi.
Demi kelangsungan hidup putrinya, Davian mencari keberadaan wanita tersebut lalu menemukannya.
Tapi bagaimana jika wanita yang dicarinya adalah wanita gila yang dikurung oleh keluarganya? Akankah Davian tetap menerima wanita itu sebagai ibu susu putrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30. ALASAN
Suasana malam di ruang rawat itu begitu tenang, hanya suara mesin monitor jantung yang berdetak ritmis menemani. Lampu redup sengaja dibiarkan menyala, menciptakan nuansa lembut yang membuat bayi kecil di pelukan Olivia bisa tidur tanpa terganggu. Cassandra mungil terlelap, sesekali mengerang pelan, lalu kembali damai di dada hangat ibunya.
Olivia menatap putrinya dengan penuh cinta, seakan dunia di sekelilingnya lenyap. Bibirnya melengkung tipis, bukan senyuman penuh, melainkan sebuah ketenangan yang baru saja ia temukan setelah badai panjang. Tangannya yang masih lemah mengusap pelan rambut halus Cassandra.
Davian berdiri di dekat ranjang, bersandar pada kursi yang tadi ia duduki berjam-jam. Sorot matanya tak beranjak dari Olivia dan juga Cassandra. Ada sesuatu yang berbeda malam itu: bukan hanya karena Olivia sudah kembali membuka hati, tetapi juga karena ada beban yang terus mengganjal di pikirannya.
Peter, yang sejak tadi duduk di kursi lain sambil membaca laporan singkat dari dokter, sesekali mengamati keduanya. Namun pada akhirnya, ia menutup berkas itu dan menaruhnya di meja kecil di samping vas bunga. Ia tahu, malam ini bukan hanya soal menjaga kesehatan Olivia, melainkan juga menyelesaikan teka-teki yang selama ini membayangi.
"Olivia?" suara Davian akhirnya terdengar, rendah dan dalam, memecah keheningan.
Olivia menoleh perlahan, menatapnya dengan mata yang masih menyimpan sisa lelah. "Hm?" responnya.
Davian menarik kursi dan duduk lebih dekat. Ia meraih tangan Olivia, menggenggamnya dengan hangat namun penuh kehati-hatian, seakan ia takut Olivia akan menariknya kembali. "Ada sesuatu yang harus kita bicarakan. Sesuatu yang sudah terlalu lama kau simpan sendiri."
Peter menghela napas, menatap mereka bergantian. "Kau tahu, Olivia? Sejak pertama kali aku dan Davian menemukanmu laporan daei Psikiater bahwa kau tidak gila dan norma, ada pertanyaan yang terus menghantui. Tentang kenapa kau berpura-pura ...,"ia terdiam sejenak, memilih kata-kata yang tak akan melukai, "... kenapa kau berpura-pura tidak waras di depan semua orang?"
Olivia membeku. Tubuhnya menegang, meski ia tetap menunduk sambil menatap Cassandra yang tenang dalam dekapannya. Jelas terlihat, topik ini adalah luka lama yang belum siap ia buka.
Davian lekas menambahkan, dengan nada yang tenang, "Aku tidak ingin menyudutkanmu, Olivia. Aku hanya ingin tahu kebenarannya. Alasannya. Tidak ada penghakiman di sini. Aku hanya ingin mengerti agar aku tidak salah mengambil keputusan seperti kemarin."
Ruangan itu seakan menahan napasnya sendiri. Olivia menggigit bibir, jari-jarinya bergetar halus saat mengusap bahu Cassandra. Ia tampak ragu, seperti seseorang yang berdiri di tepi jurang, memutuskan apakah ia akan melompat atau tetap bertahan.
Peter mencondongkan tubuh, suaranya lembut. "Kau tidak sendirian lagi, Olivia. Apa pun yang kau katakan, kami akan mendengarnya. Tidak ada yang akan meninggalkanmu. Tolong katakan yang sebenarnya."
Keheningan panjang menggantung. Hanya suara detak monitor yang menandai waktu. Akhirnya, Olivia mengangkat wajahnya. Matanya berair, tapi kali ini bukan hanya karena kesedihan, melainkan karena beban yang siap ia lepaskan.
"Aku berpura-pura gila," katanya lirih, hampir tak terdengar. "Karena itu satu-satunya cara agar aku bisa bertahan."
Davian menegakkan tubuhnya, jantungnya berdegup lebih cepat. "Bertahan dari apa?"
Olivia menutup mata, menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dengan getir. "Dari pernikahan yang dipaksakan. Dari menjadi barang dagangan yang ditukar demi uang."
Peter membelalakkan mata. "Apa maksudmu?"
Suara Olivia bergetar, namun semakin lama semakin jelas. "Ibu tiriku ... Natalie. Dia yang menikahkanku dengan Raymond dengan alasan kelangsungan usaha keluarga, dan setelah Raymond menceraikanku aku mendengar kalau dia langsung memilihkan pria lain untuk dinikahkan denganku, peia tua bangka yang senang bermain perempuan tapi memiliki usaha importir yang lumayan besar. Hanya karena uang. Raymond kaya, pria selanjutnya juga sama dan Natalie tahu ia bisa mendapatkan bagian dari harta jika aku menikah dengan mereka."
Nama Raymond seperti cambuk bagi Davian. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal di atas lutut. Ia sudah membenci pria itu dengan segala bukti yang ia miliki, tapi mendengar Olivia mengaku bahwa pernikahan mereka hanyalah hasil transaksi kotor membuat darahnya mendidih. Bahkan kembali hendak dinikahkan dengan pria bejad lainnya, itu sudah cukup membuat Davian murka.
Olivia menunduk lagi, suaranya semakin lirih. "Aku tahu jika aku terlihat tidak waras, jika semua orang percaya aku gila ... maka tidak ada pria yang mau menikahiku. Itu caraku melindungi diri. Caraku menghentikan Natalie. Aku tahu aku akan dipandang hina, tapi lebih baik begitu daripada aku dipaksa menyerahkan hidupku untuk lelaki seperti dia."
"Oh, Olivia. Kau sudah berjuang sendirian selama ini. Aku bahkan tidak bisa membayangkan kau masih bisa bertahan denhan semua itu," ucap Peter sendu.
Air mata mengalir di pipi Olivia. Ia menunduk, bahunya bergetar. "Dan ada alasan lain ... alasan yang lebih besar."
Davian mengusap jemari Olivia, mencoba memberi kekuatan. "Apa itu?"
Olivia mengangkat pandangannya, mata berkaca-kaca menatap dua lelaki di hadapannya. "Karena jika aku waras, mereka bisa memaksaku menandatangani surat penyerahan hak warisan keluarga Morgan. Semua harta peninggalan ayahku akan jatuh ke tangan Natalie ... dan Leah."
Peter tercengang, ia kenal nama itu dengan baik saat mencari informasi tentang Olivia dulu. "Leah? Adik tirimu?"
Olivia mengangguk, wajahnya dipenuhi kepahitan. "Leah ... yang juga kekasih gelap Raymond. Mantan suamiku."
Davian terdiam. Ada bara menyala di matanya, namun ia menahan diri agar tidak meledak di hadapan Olivia. Ia hanya menggenggam tangan Olivia lebih erat, seakan berjanji akan menjadi tameng dari semua racun yang pernah melukai perempuan itu.
Olivia melanjutkan dengan suara serak, "Sejak ayahku hilang dalam kecelakaan setahun lalu ... mereka menganggap aku penghalang. Karena secara hukum, aku pewaris sah keluarga Morgan. Tapi tanpa tanda tanganku, mereka tidak bisa menyentuh sedikit pun harta itu. Jadi aku memilih menjadi gila di mata mereka. Gila ... tapi bebas."
Davian rasanya tidak kuat mendengar kebenaran dari wanita di depannya ini. Wanita rapuh dan lemah tapi kuat di saat yang bersamaan.
Air mata jatuh deras di pipinya. "Itu satu-satunya cara yang kupunya, Davian. Satu-satunya cara. Maafkan aku karena berbohong pada kalian soal aku yang gila. Sungguh aku tidak ada maksud apa pun, aku hanya ingin bersama bayiku."
Davian menarik napas panjang, mencoba meredam amarah yang membuncah dalam dirinya. "Olivia ...," ia berbisik, suaranya berat menahan emosi. "Mereka memperlakukanmu seperti barang dagangan. Seperti benda yang bisa dijualbelikan. Dan jangan minta maaf soal kau berbohong lagi, kau tidak salah. Aku dan Peter yang tidak mengerti keadaanmu."
Peter ikut terdiam, wajahnya kelam, penuh kekecewaan dan kemarahan.
Davian lalu bertanya pelan, "Bagaimana dengan ayahmu? Apa benar ia meninggal? Aku mencari tahu tentang Beliau karena sudah lama tidak mendengar tentangnya, dan aku baru tahu tentang kabar Beliau."
Olivia menggigit bibirnya, lalu menggeleng pelan. "Bukan meninggal ... hilang. Mobil yang ditumpanginya kecelakaan dan masuk ke jurang, tapi jasadnya tidak pernah ditemukan. Sudah lebih dari setahun. Dan selama itu ... Natalie bertingkah seolah-olah ia janda kaya yang berhak atas semuanya."
Davian dan Peter tahu bahwa mungkin alasan Olivia masih bertahan adalah karena ia yakin mungkin ayahnya akan kembali pulang dan menyelamatkannya.
Olivia terisak, menunduk, suaranya hancur. "Aku ... aku hanya ingin melindungi apa yang tersisa dari ayahku. Warisannya, kehormatannya. Dan satu-satunya cara adalah dengan berpura-pura gila."
Olivia mengusap lembut rambut Cassandra, seakan itu satu-satunya pegangan agar dirinya tidak runtuh saat harus menyingkap kebenaran pahit yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Matanya beralih pada Davian, lalu pada Peter. Ada ketakutan di sana, tapi juga dorongan kuat untuk jujur.
"Ada satu hal lagi," ucap Olivia lirih, hampir seperti gumaman, tapi cukup jelas untuk membuat kedua lelaki itu serentak menegakkan tubuhnya.
Davian menyipitkan mata, menangkap nada getir dalam suara itu. "Hal apa?"
Olivia menunduk, jari-jarinya meremas selimut putih di atas kakinya. Napasnya naik turun tak teratur. "Tentang Raymond."
Nama itu meluncur bagai racun. Davian sudah menduga kebenciannya pada pria itu beralasan, namun ekspresi Olivia malam saat ini membuatnya sadar: luka yang ditorehkan Raymond jauh lebih dalam daripada yang pernah ia bayangkan.
"Aku ... aku membenci Raymond sejak awal," suara Olivia pecah, matanya mulai basah lagi. "Aku tidak pernah mencintainya. Bahkan sejak sebelum pernikahan itu dipaksakan, aku sudah tahu dia busuk. Tapi aku terjebak. Natalie membuatku tak berdaya. Ayahku sedang tidak ada saat itu, dan aku ... aku dijual seperti boneka tak bernyawa."
Peter memejamkan mata, kepalanya menggeleng tak percaya. "Astaga."
"Aku begitu membencinya, Davian." Olivia menoleh, menatap lurus ke mata lelaki yang kini menggenggam tangannya erat. "Bahkan saat menikah dengannya, aku merasa seperti dipenjara di dalam tubuhku sendiri. Aku tidak rela ... tidak rela sampai tubuhku dipakai olehnya, apalagi sampai mengandung anak dari pria menjijikkan itu."
Kalimat itu menusuk dalam, membuat Davian menahan napas.
Peter spontan bersuara, bingung sekaligus ingin mengerti. "Tapi, bukankah kau mengandung saat itu?"
Olivia menggeleng cepat, air mata jatuh deras. "Bayi itu bukan anak Raymond."
Kedua lelaki itu membelalakkan mata hampir bersamaan. Kabar ini benar-benar tidak pernah mereka duga.
Casie mungkin anaknya Davian dengan Olivia?,,dan mungkin ini semua permainan Raymond?
kau yang berjanji kau yang mengingkari
kalo sampe Raymond tau wahh abis citra mu piann, di sebar ke sosial media dengan judul
" PEMBISNIS MUDA DAVIAN MAYER, MENJADI MENYEBABKAN SEORANG WANITA BERNAMA OLIVIA MORGAN BUNUH DIRI " tambah bumbu pelecehan dll wahh habis karir 🤣🤣🤣
bisa diskusi baik² bisa di omongin baik² , suka banget ngambil keputusan saat emosi