“Gajimu bulan ini mana, Ran? Orang tua butuh uang.”
“Adik butuh biaya kuliah.”
“Ponakan ulang tahun, jangan lupa kasih hadiah.”
Rani muak.
Suami yang harusnya jadi pelindung, malah menjadikannya mesin ATM keluarga.
Dari pagi hingga malam, ia bekerja keras hanya untuk membiayai hidup orang-orang yang bahkan tidak menghargainya.
Awalnya, Rani bertahan demi cinta. Ia menutup mata, menutup telinga, dan berusaha menjadi istri sempurna.
Namun semua runtuh ketika ia mengetahui satu hal yang paling menyakitkan: suaminya berselingkuh di belakangnya.
Kini, Rani harus memilih.
Tetap terjebak dalam pernikahan tanpa harga diri, atau berdiri melawan demi kebahagiaannya sendiri.
Karena cinta tanpa kesetiaan… hanya akan menjadi penjara yang membunuh perlahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shaa_27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
berpisah?
Rani menatap tajam ke arah Bu Marni dan Andi, sorot matanya tajam seperti pisau yang siap mengiris.
“Ingat, Andi…” suaranya terdengar tegas, penuh kemarahan yang ditahan. “Mulai malam ini, kita bukan suami istri lagi. Aku nggak akan pernah lupa apa yang udah kamu dan keluargamu lakukan ke aku. Dan satu lagi—” ia mengangkat dagunya sedikit, menahan getar emosinya, “aku datang ke sini cuma buat ambil barang-barangku, bukan buat tinggal bareng kalian lagi.”
Andi menunduk. Bibirnya kaku, tak ada satu pun kata keluar. Bu Marni, yang biasanya tak pernah kehabisan omongan, kini hanya terpaku dan terdiam, seperti kehabisan napas. Di luar pagar, para tetangga masih ramai menonton, sebagian berbisik-bisik, sebagian lagi sengaja merekam dengan ponsel.
> “Tuh kan, akhirnya ditinggal juga…”
“Pantes aja… kelakuan suaminya—”
“Kasihan, tapi salut sama Mbak Rani…”
Rani menarik napas panjang, kemudian melangkah masuk ke rumah dengan langkah mantap. Lantai rumah yang selama ini menjadi saksi penderitaannya kini hanya terdengar derap langkah sepatunya. Ia masuk ke kamar, mengambil koper besar dari bawah ranjang, lalu mulai memasukkan semua pakaiannya satu per satu: baju kerja, tas kecil, dan foto-foto lama yang masih tersisa.
Tangannya sempat berhenti saat melihat sebuah bingkai foto pernikahan mereka yang dulu terpajang di atas meja rias. Ia menatapnya beberapa detik—ada getir yang tertahan di tenggorokan—lalu tanpa ragu membuangnya ke lantai. Bingkai itu pecah, sama seperti hatinya.
> “Semuanya udah selesai,” gumamnya lirih tapi pasti.
Setelah semua beres, Rani mengangkat kopernya, keluar dari kamar, dan melangkah ke luar rumah. Andi dan Bu Marni hanya bisa melihatnya lewat tatapan kosong, tak ada satupun dari mereka yang berani menahan atau bicara.
Di depan rumah, tatapan warga kini bercampur antara simpati dan puas. Rani menegakkan punggungnya, menunjukkan bahwa ia tidak lagi menjadi korban—ia adalah seseorang yang akhirnya bangkit.
Saat melewati Andi, ia sempat berhenti sebentar.
“Terima kasih, Andi… untuk semua pengkhianatan dan penderitaan ini. Dari sini, aku akan bangun hidupku sendiri. Tanpa kamu.”
Andi hanya terpaku. Maya yang berdiri di dekatnya malah gelisah, tak menyangka Rani benar-benar akan pergi begitu saja.
Rani melangkah keluar dari gerbang rumah, menyeret koper besarnya diiringi suara bisik-bisik warga. Malam itu, angin berhembus kencang, seolah ikut menyaksikan bagaimana seorang wanita akhirnya membebaskan diri dari jerat rumah tangga yang penuh kebusukan.
Rani baru saja melangkah beberapa meter dari rumah itu ketika suara teriakan Bu Marni memecah keheningan malam.
“Percuma kamu pergi, Rani!” teriak Bu Marni dengan suara tinggi dan melengking, hingga membuat beberapa warga yang masih berkumpul spontan menoleh. “Kamu tuh nggak akan bisa hidup tanpa Andi! Jangan sok kuat! Lihat aja, kamu pasti balik lagi merangkak ke rumah ini!”
Andi yang berdiri di samping ibunya hanya diam—pucat, lemas, dan tak sanggup menatap siapa pun. Maya pun berdiri di dekat pagar dengan wajah tak nyaman, sedangkan para tetangga mulai saling berbisik.
> “Ibu Marni kok tega banget ngomongnya…”
“Padahal yang disakiti Rani, bukannya dia…”
Namun sebelum Bu Marni sempat melanjutkan makiannya, Bu Lastri, tetangga paling vokal di kampung itu, melangkah maju dengan tangan bersedekap. Suaranya terdengar lantang, menusuk balik ke arah Bu Marni.
“Wee Marni! Jangan banyak bacot kau malam-malam begini!” bentaknya. “Kau tuh sadar nggak? Anakmu dan kau sendiri yang bikin Rani pergi. Bukan karena dia nggak bisa hidup tanpa Andi… tapi karena Rani udah muak sama kelakuan kalian!”
Wajah Bu Marni langsung merah padam. “Lastri, jangan ikut campur urusan keluarga orang!”
“Urusan keluarga orang?” Bu Lastri mendengus sinis. “Kalau urusan keluarga orang, kenapa seluruh kampung tahu kelakuan anakmu? Kau pikir orang-orang ini buta dan tuli? Hah?” teriaknya sambil menunjuk para warga yang berdiri di sekitar. Beberapa warga spontan mengangguk pelan.
“Dari awal aku udah bilang, Andi tuh nggak pantas sama Rani,” lanjut Bu Lastri dengan nada tajam. “Perempuan sekuat dan sesabar Rani… kalian malah jual ke laki-laki hidung belang! Kau tuh bukan ibu mertua, Marni… kau racun dalam rumah tangga orang!”
“Kurang ajar kau Lastri!” Bu Marni melotot, berusaha maju, tapi dua warga langsung menahan. “Jaga mulutmu!”
“Tuh liat sendiri! Nyerang orang lagi!” Bu Lastri menangkis sinis. “Kau pikir semua orang di sini takut sama mulutmu? Jangan harap! Kau pikir Rani bakal balik sama anakmu yang tukang selingkuh itu? Lihat aja… justru kalian lah yang sebentar lagi bakal dilahap aib kalian sendiri.”
Teriakan dan adu mulut mereka semakin memanas. Beberapa warga langsung merekam dari ponsel, beberapa lagi menengahi. Maya berdiri kaku—malu setengah mati—sedangkan Andi hanya menunduk, merasa dunia benar-benar membalikkan dirinya malam itu.
Bu Marni terus berusaha membela diri, tapi setiap kata-katanya dibalas dengan telak oleh Bu Lastri. Kampung itu malam itu penuh bisik-bisik dan pandangan tajam ke arah keluarga Andi.
Sementara itu dari kejauhan, Rani terus berjalan tanpa menoleh ke belakang, membiarkan semua kebisingan itu pecah di rumah yang dulu pernah ia sebut “tempat tinggal.” Kini, tempat itu hanya menjadi kuburan masa lalu.
bukan ada apanya🤲🤲🤲
apa dibilang temanmu n tetanggamu itu betul sekali sayangila dirimu sendiri
kamu itu kerja banting tulang kok gak perna dihargai sih
mendingan pisa ajah toh blm punya anak
Nasibmu bakal tragis marni andi ma melati