Kelanjutan dari Kurebut Suami Kakak Tiriku, kisah ini mengikuti Rei Alexander, anak angkat Adara dan Zayn, yang ternyata adalah keturunan bangsawan. Saat berusia 17 tahun, ia harus menikah dengan Hana Evangeline, gadis cantik dan ceria yang sudah ditentukan sejak kecil.
Di sekolah, mereka bertingkah seperti orang asing, tetapi di rumah, mereka harus hidup sebagai suami istri muda. Rei yang dingin dan Hana yang cerewet terus berselisih, hingga rahasia keluarga dan masa lalu mulai mengancam pernikahan mereka.
Bisakah mereka bertahan dalam pernikahan yang dimulai tanpa cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
POSISI HANA
Hana berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya yang telah mengenakan jaket berlapiskan tebal dan menenteng tas selempang tipis di bahunya. Ia merapikan rambutnya dengan cekatan, menguncirnya tinggi dan rapi, tanpa sedikit pun sentuhan riasan di wajah. Wajah polosnya tampak tenang, seolah bersiap menghadapi dinginnya malam yang gelap dan sunyi.
Langkahnya baru saja hendak melangkah keluar ketika suara seseorang menghentikannya. "Mau ke mana kau malam-malam begini?" tanyanya, nada heran menyelinap di antara kata-katanya. Bukan tanpa alasan, sebab tak biasanya Hana pergi di waktu seperti ini. Bahkan, mungkin ini kali pertama. Ke mana sebenarnya ia akan pergi?
Hana berbalik perlahan, menatap Rei—suaminya—dengan sorot mata yang sempat ragu dan diam sejenak, seolah mencari cara paling tenang untuk menjawab pertanyaan itu. "Emm... aku ingin ke supermarket. Ada sesuatu yang ingin kubeli," jawabnya akhirnya, dengan nada datar yang berusaha terdengar wajar. Rei hanya terdiam, menatapnya beberapa detik tanpa berkata apa-apa, seolah mencoba membaca gerak-gerik istrinya yang terasa sedikit berbeda malam ini.
Beberapa saat kemudian, akhirnya Rei membuka suara. "Mau kuantar?" tanyanya dengan nada pelan namun penuh perhatian, meski pertanyaan itu cukup membuat Hana merasa was-was. Ia sempat menunduk sesaat—sedikit takut jika suaminya mulai mencurigai sesuatu yang belum siap ia jelaskan.
"Tidak perlu," jawab Hana cepat, mencoba tersenyum tipis. "Bukankah supermarket dekat dari sini? Lagipula, aku hanya ingin berjalan-jalan sebentar, sekalian menghirup udara malam." Ucapannya terdengar santai, tapi dalam hatinya ada gelombang kecil kecemasan yang tak bisa ia sembunyikan sepenuhnya.
"Kau lanjutkan saja belajarmu," ujar Hana lagi, sambil kembali menatap Rei yang masih duduk dengan posisi santai, memangku laptop di pangkuannya, tampak sibuk dengan sesuatu yang sedang ia kerjakan.
Rei hanya mengangguk singkat, tanpa berkata apa-apa lagi. Ia tak benar-benar menunjukkan persetujuan, tapi juga tak berusaha menahan Hana. Mungkin karena malam belum terlalu larut, dan ia merasa tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Hana pun melangkah keluar dari rumah, meninggalkan kehangatan dalam ruangan menuju udara malam yang mulai terasa dingin. Ia berjalan menelusuri trotoar yang masih cukup ramai oleh pejalan kaki dan kendaraan yang lalu lalang. Langkahnya memang menuju ke arah supermarket, seperti yang ia katakan sebelumnya. Namun sebenarnya, tujuan utamanya bukan itu.
Setibanya di depan supermarket, Hana justru berbelok ke arah sebuah kafe yang berdiri tepat di seberangnya. Ia berdiri sejenak, menatap ke arah dalam kafe, matanya menyapu ruangan, mencari seseorang yang telah ia rencanakan untuk temui malam ini.
Beberapa detik kemudian, ia melihat sebuah tangan terangkat, melambaikan isyarat ke arahnya. Seketika, senyum tipis merekah di wajahnya. Ia pun melangkah mantap menuju seseorang itu—orang yang menjadi alasan sebenarnya mengapa ia keluar malam-malam seperti ini.
Hana segera menarik kursi dan duduk di hadapan Nathan, pria yang sudah lebih dulu tiba di kafe tersebut. Nathan yang mengenakan hoodie tebal berwarna gelap itu menatap Hana dengan sorot mata yang sulit diartikan—entah cemas, ragu, atau menyimpan sesuatu yang belum siap diucapkan. Tatapannya lama terfokus pada wajah Hana, seolah mencari tahu maksud dari langkah berani wanita itu datang menemuinya malam-malam begini.
"Rei tahu kau pergi?" tanyanya akhirnya, memecah keheningan yang sempat menggantung di antara mereka. Suaranya terdengar pelan namun sarat akan rasa ingin tahu yang mendalam.
Hana mengangguk pelan. "Tahu... tapi aku bilang padanya kalau aku hanya pergi ke supermarket," jawabnya dengan nada datar, mencoba terdengar santai meski sebenarnya dalam hatinya ada ketegangan terselip.
Ya, secara teknis dia memang menuju arah supermarket. Tapi tujuannya yang sebenarnya adalah tempat ini—kafe tempat ia dan Nathan sepakat untuk bertemu. Semua sudah mereka rencanakan sejak siang tadi, saat mereka sempat berbincang singkat di sekolah. Saat itu, Nathan menjanjikan akan memberikan penjelasan mengenai sesuatu yang mengganjal—tentang Rei dan Livy.
Nathan menarik napas singkat, seolah tengah bersiap mengurai sesuatu yang sulit untuk dikatakan. Tatapannya sedikit menunduk sebelum kembali menatap Hana. "Kau benar-benar ingin tahu?" tanyanya, kali ini dengan suara yang sedikit berat, seakan menyiratkan bahwa informasi yang akan disampaikannya bukan hal yang ringan.
Hana mengangguk, menunjukkan kesungguhannya. Ia sudah siap mendengar, apapun itu.
Namun sebelum masuk pada inti pembicaraan, Nathan justru melemparkan sebuah pertanyaan tak terduga. "Sebelum itu... apakah kau sudah mulai menyukainya? Rei, maksudku. Apakah perasaan itu yang membuatmu gelisah saat melihat kedekatannya dengan Livy?" tanyanya, memperhatikan reaksi Hana dengan seksama.
Ia tahu persis, dari cerita yang pernah didengarnya langsung dari Rei, bahwa pernikahan mereka bukan atas dasar cinta. Mereka hanya menjalani perjodohan—sebuah ikatan tanpa rasa yang sebenarnya. Bahkan, Rei juga pernah memberitahunya tentang kesepakatan mereka berdua: tidak akan saling ikut campur dalam urusan pribadi masing-masing.
Namun kini, melihat Hana datang hanya untuk menanyakan tentang Rei dan Livy, Nathan mulai bertanya-tanya dalam diam—apakah kesepakatan antara Hana dan Rei mulai goyah? Apakah benih rasa itu, yang awalnya tak pernah diharapkan, mulai tumbuh perlahan tanpa disadari? Atau mungkin, Hana hanya tak ingin melihat suaminya terlalu dekat dengan wanita lain, walaupun katanya tidak saling menyukai?
Tapi tetap saja, ini Hana. Dan bukan Hana namanya jika tidak diliputi rasa penasaran yang begitu kuat. Ia sendiri masih mencoba memahami perasaannya. Baginya, bukan cinta yang menggerakkan langkahnya ke kafe ini malam-malam begini. Ia merasa tidak benar-benar menyukai Rei... setidaknya belum sejauh itu. Tapi tetap saja, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Dan rasa penasaran itulah yang mendorongnya untuk mencari tahu lebih dalam.
"Enggak... aku rasa bukan karena aku menyukainya," ucap Hana pelan, namun jujur, menatap langsung ke arah mata Nathan. "Aku hanya penasaran saja. Bagaimana bisa Livy—anak baru itu—sudah begitu akrab dengan Rei? Bahkan aku saja, yang sudah tinggal serumah dengannya, masih merasa seperti orang asing. Apa sebenarnya yang terjadi di antara mereka?" lanjutnya, suaranya terdengar tenang tapi jelas menyimpan rasa ingin tahu yang mendalam.
Nathan mengangguk perlahan, memahami maksud Hana. Ia menyandarkan tubuhnya sedikit ke belakang, lalu menghela napas sejenak sebelum membuka suara.
"Baiklah," ucapnya akhirnya. "Sebelum aku mulai, aku ingin kau tahu satu hal—aku menceritakan ini bukan karena ingin ikut campur dalam urusan kalian berdua. Tapi karena aku menghargai posisimu. Kau adalah istrinya, Hana. Sekalipun pernikahan itu terjadi karena terpaksa, tetap saja... kau berhak tahu. Kau berhak bertanya. Dan kau berhak merasa gelisah."
Ucapannya keluar dengan tulus, tak ada kesan menghakimi. Nathan hanya ingin memberi penjelasan sejelas-jelasnya, karena menurutnya, Hana sudah berhak mendapatkan kebenaran—apa pun bentuknya.