NovelToon NovelToon
Mahar Nyawa Untuk Putri Elf

Mahar Nyawa Untuk Putri Elf

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Perperangan / Elf / Action / Budidaya dan Peningkatan / Cinta Murni
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Tiga Alif

Dibuang ke neraka Red Line dengan martabat yang hancur, Kaelan—seorang budak manusia—berjuang melawan radiasi maut demi sebuah janji. Di atas awan, Putri Lyra menangis darah saat tulang-tulangnya retak akibat resonansi penderitaan sang kekasih. Dengan sumsum tulang yang bermutasi menjadi baja dan sapu tangan Azure yang mengeras jadi senjata, Kaelan menantang takdir. Akankah ia kembali sebagai pahlawan, atau sebagai monster yang akan meruntuhkan langit demi menagih mahar nyawanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3: Gerbang Red Line

Langkah pertama Kaelan di balik gerbang raksasa itu terasa seperti menginjak hamparan bara yang tidak pernah padam. Langit di wilayah Red Line bukan lagi kelabu seperti di Sektor Azure atau kelam seperti di Ash-Valley, melainkan merah tembaga yang memuakkan. Partikel-partikel debu kristal yang teroksidasi oleh energi Void beterbangan di udara, tampak seperti butiran kincir api kecil yang tajam. Setiap kali Kaelan menarik napas, tenggorokannya terasa seperti disayat oleh ribuan kaca mikroskopis.

"Jangan berhenti, Bara. Jika kau duduk sekarang, debu ini akan menyelimuti paru-parumu dalam sepuluh menit," suara Kaelan terdengar serak, nyaris menyerupai bisikan di tengah deru angin gurun.

Bara, yang tubuh raksasanya biasanya tampak begitu perkasa, kini merangkak dengan napas tersengal. "Untuk apa, Kaelan? Kita dikirim ke sini tanpa filter udara. Alaric tidak membuang kita... dia sedang mengeksekusi kita secara perlahan."

"Dia ingin kita menyerah. Itu perbedaannya," Kaelan berhenti sejenak, menoleh ke arah sahabatnya. Ia merasakan dadanya berdenyut hebat. Resonansi penderitaan yang ia bagikan dengan Lyra kini terasa seperti beban fisik yang nyata. Ia tahu, di istana yang jauh di atas sana, Lyra mungkin sedang memegangi lehernya, merasakan sesak yang sama. "Aku tidak akan membiarkan dia menang dengan cara melihat kita mati sebagai pecundang."

"Tapi rasanya perih, Kaelan! Lidahku... rasanya seperti mengunyah pasir panas," rintih Bara sembari meludah, namun yang keluar hanyalah gumpalan liur kemerahan yang kental.

Kaelan meraba saku pakaiannya yang compang-camping. Jemarinya menyentuh kain sutra yang telah hangus—sisa sapu tangan pemberian Lyra di tebing Azure tempo hari. Meskipun kain itu kini kasar dan berbau asap, sentuhan teksturnya memberikan secercah ingatan tentang wangi melati dan kelembutan tangan sang putri Elf. Kontras antara kehangatan masa lalu dan neraka saat ini menjadi satu-satunya jangkar yang menahan kesadarannya agar tidak larut dalam ilusi Red Line.

"Kita harus menemukan pos pemantau lama. Penjaga perbatasan biasanya membuang filter debu yang sudah terpakai setengah di sana," ujar Kaelan sembari membantu Bara berdiri.

"Kau gila? Itu wilayah patroli. Jika mereka melihat kita, mereka akan memburu kita seperti binatang," Bara memprotes, namun ia tetap bersandar pada bahu Kaelan yang terasa sekeras batu.

"Mereka sudah menganggap kita binatang sejak di ruang sidang Solaria. Bedanya, binatang yang lapar jauh lebih berbahaya," Kaelan menatap ke depan. Pandangannya yang semula kabur kini mulai menangkap aliran warna aneh di udara. Debu-debu itu tidak bergerak acak; mereka mengikuti pola aliran energi yang hanya bisa dilihat oleh mata yang mulai terasimilasi dengan kekuatan terlarang.

Mereka berjalan selama berjam-jam melewati rongsokan mesin penambang kuno yang telah berkarat dan tertimbun pasir merah. Suhu udara di perbatasan ini tidak stabil; terkadang panasnya mampu melepuhkan kulit, namun sedetik kemudian angin dingin yang membawa residu Void akan membuat tulang terasa membeku.

"Kaelan, lihat itu..." Bara menunjuk ke arah gundukan batu di kejauhan. Sebuah menara pengawas kecil dengan lampu lampion mana yang berkedip redup tampak berdiri di tengah badai debu.

"Itu Pos 09. Pos pembuangan logistik," bisik Kaelan. "Tetap di sini. Aku akan menyelinap ke gudang belakang."

"Kau tidak punya senjata, Kaelan! Lihat tanganmu, lukanya bahkan belum menutup sempurna!" Bara menahan lengan Kaelan, matanya dipenuhi ketakutan.

Kaelan melihat telapak tangannya. Balutan kain dari sapu tangan itu sudah menyatu dengan luka robek akibat pedang di tebing tempo hari, menciptakan gumpalan darah kering yang kaku. Perihnya luar biasa, namun setiap kali rasa sakit itu menusuk, ia merasa kekuatannya justru semakin padat.

"Rasa sakit ini adalah pengingat bahwa aku masih hidup, Bara. Dan selama aku masih hidup, Alaric tidak akan pernah tidur dengan tenang," Kaelan melepaskan tangan Bara dengan halus namun tegas.

Ia mulai merangkak di antara gundukan pasir, memanfaatkan warna pakaiannya yang penuh jelaga untuk menyatu dengan bayang-bayang. Di depan gudang, dua penjaga manusia yang mengenakan seragam lusuh tampak sedang merokok dengan santai. Mereka mengenakan masker filter yang kokoh, membuat Kaelan merasa iri sekaligus muak. Manusia-manusia ini adalah bagian dari Terra, namun mereka mengabdi pada penindas dari langit demi sisa-sisa kenyamanan.

"Kenapa High Council masih mengirim buangan ke sini? Bukankah lebih mudah langsung memenggal kepala mereka di Solaria?" salah satu penjaga mengeluh, suaranya teredam masker.

"Politik, kawan. Valerius ingin terlihat adil di depan rakyatnya, sementara Alaric ingin menikmati penderitaan mangsanya. Lagipula, siapa yang peduli pada tikus tambang?" jawab penjaga lainnya sembari membuang puntung rokoknya ke arah tumpukan kotak kayu.

Kaelan menahan napas saat puntung rokok itu mendarat hanya beberapa inci dari wajahnya. Bau tembakau murahan bercampur belerang menusuk hidungnya. Dengan gerakan yang sangat lambat, ia merayap menuju pintu belakang gudang yang sedikit terbuka.

Di dalam, ruangan itu dipenuhi dengan aroma logam tua dan minyak mesin yang tajam. Mata Kaelan segera tertuju pada sebuah kotak sampah logam yang berisi beberapa tabung filter udara bekas. Ia merogoh ke dalamnya dengan tangan gemetar. Ia menemukan dua filter yang indikatornya masih menunjukkan warna kuning—masih ada sekitar tiga puluh persen masa pakai.

"Hanya ini?" gumam Kaelan kecewa. Namun, sebelum ia sempat mengambil filter lainnya, suara langkah sepatu bot berat terdengar mendekati pintu gudang.

"Hei, kau dengar sesuatu di dalam?"

Kaelan membeku. Ia tidak bisa lari tanpa ketahuan. Martabatnya sebagai manusia menolak untuk meringkuk seperti tikus di dalam tempat sampah, namun akal sehatnya mengingatkan bahwa ia belum memiliki kekuatan untuk melawan penjaga bersenjata mana.

"Mungkin hanya tikus gurun. Mereka suka memakan kabel mana yang bocor," suara penjaga itu semakin dekat.

Kaelan mengeratkan genggamannya pada tabung filter logam. Punggungnya yang penuh luka cambuk mulai berdenyut panas. Ia bisa merasakan resonansi itu lagi; di kejauhan, ia seolah mendengar isak tangis Lyra yang memanggil namanya. Rasa perih itu kini bukan lagi musuh, melainkan kawan yang membakar semangatnya.

Jika aku mati di sini, fitnah Alaric akan menjadi sejarah yang abadi, pikir Kaelan. Aku tidak akan membiarkan kebohongan itu menjadi satu-satunya kenangan tentangku.

Saat pintu gudang terbuka lebar dan cahaya lampion mana menyinari ruangan, Kaelan berdiri tegak di tengah tumpukan sampah. Ia tidak lagi bersembunyi.

"Siapa kau—"

Sebelum penjaga itu sempat mengangkat tombaknya, Kaelan menerjang dengan kecepatan yang tidak masuk akal untuk ukuran orang yang sedang terluka parah. Ia tidak menggunakan senjata; ia menggunakan berat tubuhnya dan kekuatan murni dari otot-ototnya yang telah ditempa di kedalaman tambang.

BUAK!

Hantaman bahu Kaelan membuat penjaga itu terpental menghantam dinding logam gudang. Kaelan tidak berhenti; ia segera menyambar masker filter dari wajah penjaga yang pingsan itu sebelum rekannya yang di luar sempat bereaksi.

"Penyusup! Ada penyusup di Gudang 09!" teriak penjaga kedua dari luar sembari meniup peluit tanda bahaya.

Kaelan segera melompat keluar melalui jendela kecil di sisi gudang, menggenggam dua filter bekas dan satu masker baru di dadanya seolah itu adalah harta paling berharga di semesta. Ia berlari menembus badai pasir merah, mengabaikan teriakan dan tembakan panah mana yang mulai menghujani area di belakangnya.

"Bara! Pakai ini!" teriak Kaelan saat ia sampai di tempat persembunyian mereka. Ia melemparkan masker baru itu ke arah sahabatnya.

"Kaelan? Kau berhasil?" Bara terperangah, segera memasang masker itu dan menghirup udara bersih yang menyegarkan paru-parunya yang mulai meradang. "Tapi bagaimana denganmu? Kau hanya punya filter bekas tanpa masker!"

Kaelan hanya tersenyum tipis, meski bibirnya pecah-pecah dan berdarah. Ia memasangkan filter bekas itu ke hidungnya dengan sobekan kain, lalu mengikatnya kuat-kuat. Rasa pasir di lidahnya masih ada, namun setidaknya api yang membakar tenggorokannya sedikit mereda.

"Setidaknya kita punya waktu dua belas jam lagi untuk hidup," ucap Kaelan sembari menoleh ke arah gerbang yang kini semakin jauh. "Dan dalam dua belas jam, banyak hal yang bisa terjadi."

Namun, saat keheningan malam Red Line mulai turun, Kaelan merasakan sesuatu yang mengerikan. Tulang-tulangnya mulai mengeluarkan bunyi retakan kecil, bukan karena patah, melainkan karena volume energi yang ia serap dari debu merah mulai melampaui kapasitas tubuh fananya. Di kejauhan, di istana Solaria, Lyra Elviana mendadak terbangun dari tidurnya dengan jeritan memilukan, memegangi dadanya yang terasa seperti dihantam palu godam.

Badai pasir merah yang menderu di luar tempat persembunyian mereka kini terdengar seperti orkestra kematian. Di dalam sebuah reruntuhan pipa baja raksasa yang sudah terkubur setengah, Kaelan berbaring dengan tubuh yang gemetar hebat. Ia tidak kedinginan, sebaliknya, suhu tubuhnya meningkat drastis hingga keringat yang keluar dari pori-porinya menguap sebelum sempat menetes ke tanah.

"Kaelan, kau harus tenang. Napasmu... suaranya seperti mesin yang rusak," bisik Bara, yang kini duduk di sampingnya sembari mengawasi kegelapan lubang pipa. "Apa ini karena radiasi itu?"

"Ini bukan... sekadar radiasi," jawab Kaelan dengan gigi yang bergeletuk. Setiap kata yang ia ucapkan terasa seperti menarik benang berduri melalui tenggorokannya. "Tulangku... rasanya seperti sedang dicairkan lalu dibentuk kembali."

Kaelan mengepalkan tangannya, mencoba menekan rasa sakit yang meledak di sumsum tulangnya. Ia bisa merasakan energi kasar dari Red Line yang tadinya membakar paru-parunya kini mulai merembes masuk ke dalam struktur kerangka tubuhnya. Ini adalah efek samping dari teknik Iron Bone yang ia pelajari secara rahasia—sebuah kutukan sekaligus anugerah yang seharusnya tidak diaktifkan di tempat beracun seperti ini.

"Kau bicara soal teknik terlarang itu lagi?" Bara menggelengkan kepala, wajahnya tampak kuyu di bawah cahaya lampu filter yang meredup. "Mereka bilang teknik itu akan mengubah penggunanya menjadi monster tanpa perasaan. Kaelan, jangan biarkan tempat ini mengambil jiwamu juga."

"Jiwaku sudah diambil saat mereka membiarkan Alaric menginjak tanganku di tebing itu, Bara," Kaelan memaksakan diri untuk duduk. Ia merogoh sakunya, mengeluarkan sisa sapu tangan Azure yang kusam. Ia menatap kain itu dengan pandangan yang mulai kehilangan fokus. "Katakan padaku... apakah menurutmu Lyra sedang melihat langit yang sama sekarang?"

Bara menghela napas panjang, menatap langit merah yang terlihat dari celah pipa. "Jika dia punya hati, dia pasti sedang menangis. Tapi jika dia putri sejati dari Valerius, dia mungkin sedang bersulang dengan Alaric untuk merayakan pengusiran kita."

"Dia tidak bersulang," ucap Kaelan dengan kepastian yang aneh. Ia memegangi dadanya. "Aku bisa merasakannya. Dia sesak. Dia sakit. Rasa bersalahnya sedang memakan dirinya dari dalam."

Tiba-tiba, suara cakar yang menggaruk logam terdengar dari arah pintu masuk pipa. Kaelan dan Bara seketika membeku. Seekor Ghoulsand—hewan pemakan bangkai yang tubuhnya tertutup sisik kristal tajam—muncul dari kegelapan. Mata makhluk itu bersinar kemerahan, mencerminkan rasa lapar yang tak berujung.

"Mundur, Bara," perintah Kaelan. Ia berdiri dengan susah payah, kakinya bergetar namun ia memaksakan seluruh berat badannya untuk bertumpu pada tulang-tulangnya yang kini terasa sepadat baja.

"Bagaimana kau bisa berdiri? Kau bahkan baru saja pingsan!" Bara bersiap dengan potongan pipa besi di tangannya.

Kaelan tidak menjawab. Ia maju ke depan tanpa senjata. Saat makhluk itu menerjang dengan cakar yang mampu merobek zirah perak sekalipun, Kaelan hanya mengangkat lengan kirinya untuk menahan serangan tersebut.

KREK!

Suara benturan itu bukan berasal dari tulang yang patah, melainkan dari sisik kristal makhluk itu yang hancur saat menghantam lengan Kaelan. Kaelan tidak merasakan sakit yang seharusnya; ia justru merasakan aliran energi Void dari makhluk itu terserap masuk ke dalam luka-lukanya. Dengan satu gerakan tangan kanan yang melesat seperti anak panah, ia menghantam kepala Ghoulsand itu dengan pukulan telak.

Makhluk itu terlempar ke dinding pipa dan tewas seketika. Bara terperangah, menatap Kaelan seolah melihat orang asing. "Kau... tanganmu tidak terluka. Bagaimana mungkin?"

Kaelan menatap tangannya yang baru saja menghantam kristal keras. Tidak ada memar. Hanya ada kilatan abu-abu samar yang perlahan menghilang dari balik kulitnya. "Tempat ini... Red Line ini adalah tempat pembuangan. Tapi bagiku, ini adalah tempat makan."

Ia kembali terduduk, energinya terkuras habis. Filter bekas di hidungnya sudah berubah warna menjadi cokelat pekat, menandakan masa pakainya hampir habis. Kaelan tahu mereka tidak akan bertahan sampai pagi jika tetap di sini. Namun, penglihatan anehnya mulai menangkap sesuatu yang lain—sebuah getaran frekuensi rendah yang berasal dari bawah tanah.

"Bara, kau merasakannya? Tanah ini... bergetar," bisik Kaelan.

"Itu hanya badai, Kaelan. Red Line selalu bergetar saat badai besar datang," jawab Bara dengan suara gemetar.

"Bukan. Ini bukan angin. Ini adalah jantung dari tempat ini," Kaelan meletakkan telapak tangannya di atas lantai pipa yang berdebu. Ia bisa merasakan sebuah koneksi yang jauh lebih dalam. Di kejauhan, ia seolah mendengar suara bisikan jutaan jiwa yang terkubur di bawah pasir merah ini, semuanya menuntut keadilan.

Di istana Solaria, Lyra Elviana mendadak terjatuh dari kursinya di depan meja rias. Cermin kristal di hadapannya retak tanpa sebab. Ia memegangi bahunya, merasakan perih yang luar biasa, seolah-olah ia baru saja memikul beban berat yang sangat masif.

"Putri! Apa yang terjadi?" seorang pelayan berlari masuk dengan panik.

"Kaelan..." Lyra berbisik dengan bibir yang membiru. "Dia sedang melakukan sesuatu... sesuatu yang akan mengubah segalanya."

Kembali di Red Line, Kaelan menarik napas panjang, menghirup debu merah itu tanpa rasa takut lagi. Ia memejamkan mata, membiarkan Iron Bone miliknya merobek batasan terakhir dari tubuh fananya. Di dalam sumsum tulangnya, sebuah segel kuno yang tidak pernah ia sadari keberadaannya mulai menunjukkan retakan pertama.

"Jika dunia ingin aku menjadi monster, maka aku akan menjadi monster yang paling mereka takuti," gumam Kaelan.

Ia berdiri kembali, kali ini dengan langkah yang jauh lebih stabil. Ia menatap ke arah ufuk, di mana fajar merah mulai menyingsing. Ini adalah hari pertama mereka di neraka, namun bagi Kaelan, ini adalah fajar pertama dari kebangkitannya. Ia menyimpan sapu tangan Azure itu erat-erat di dadanya, sebuah janji terakhir bahwa suatu hari nanti, ia akan kembali ke langit bukan sebagai budak, melainkan sebagai badai yang akan menyapu bersih seluruh kepalsuan Solaria.

1
prameswari azka salsabil
awal keseruan
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
sungguh pengertian
prameswari azka salsabil
kasihan sekali kaelan
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
luar biasa
Kartika Candrabuwana: jos pokoknya👍
total 1 replies
prameswari azka salsabil
ujian ilusi
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
sesuai namanya
prameswari azka salsabil
syukurlah kaelan meningkat
prameswari azka salsabil
ada petubahan tradisi?
prameswari azka salsabil
kaelan bertahanlah
prameswari azka salsabil
bertarung dengan bayangan🤣
Indriyati
iya. untuk kehiduoan yang lebih baik
Kartika Candrabuwana: betul sekali
total 1 replies
Indriyati
ayo kaelan tetap semanhat😍
Kartika Candrabuwana: iya. nakasih
total 1 replies
Indriyati
bagus kaelan semakinnkuat👍😍
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
Indriyati
iya..lyra berpikir positif dan yakin👍💪
Kartika Candrabuwana: betul
total 1 replies
Indriyati
seperti di neraka😄🤭🤭
Kartika Candrabuwana: iya. makssih
total 1 replies
prameswari azka salsabil
wuihhh. asyik benere👍💪
prameswari azka salsabil
iya kasihan juga ya🤣🤣
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
ini pertambangan ya😄
Kartika Candrabuwana: kurang lebih iya
total 1 replies
prameswari azka salsabil
hidup kaelan👍💪
Kartika Candrabuwana: baik. ayo kaelan
total 1 replies
prameswari azka salsabil
bersabar ya
Kartika Candrabuwana: iya. makasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!