NovelToon NovelToon
Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Rumahhantu / Romantis / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:245
Nilai: 5
Nama Author: YourFriend7

Liburan Natal di Villa Edelweiss seharusnya menjadi momen hangat bagi Elara, Rian, dan si jenaka Bobi. Namun, badai salju justru mengurung mereka bersama sebuah piano tua yang berbunyi sendiri setiap tengah malam—memainkan melodi sumbang penagih janji dari masa lalu.
​Di tengah teror yang membekukan logika, cinta antara Elara dan Rian tumbuh sebagai satu-satunya harapan. Kini mereka harus memilih: mengungkap misteri kelam villa tersebut, atau menjadi bagian dari denting piano itu selamanya.
​"Karena janji yang dikhianati tak akan pernah mati, ia hanya menunggu waktu untuk menagih kembali."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YourFriend7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Puing-Puing Keheningan

Keheningan itu terasa berat, menekan gendang telinga dengan cara yang berbeda dari kebisingan teror sebelumnya. Itu adalah jenis keheningan yang lazim ditemukan di tempat-tempat bekas bencana; hening yang penuh hormat sekaligus trauma.

Di lantai ruang tengah yang kini dipenuhi serpihan kayu dan abu kertas, empat manusia itu tergeletak saling berdekatan. Seperti korban kapal karam yang terdampar di pulau asing, mereka merapat satu sama lain, mencari kepastian bahwa jantung teman di sebelahnya masih berdetak.

"Sakit..."

Suara rintihan Bobi memecah kesunyian. Pria itu bergerak perlahan, memegangi kepalanya. Matanya mengerjap, mencoba menyesuaikan diri dengan kegelapan yang mulai memudar.

"Lo masih hidup, Bob?" tanya Sarah serak. Suaranya hampir hilang, lehernya memar ungu bekas cengkeraman tangan tak kasat mata.

"Gue rasa sih masih," gumam Bobi, mencoba duduk tapi kembali meringis. "Kecuali di surga ada bau gosong kayak gini."

Rian perlahan melepaskan pelukannya pada Elara. Tubuhnya terasa remuk redam. Tulang kering kakinya berdenyut nyeri hebat, dan bahunya terasa kaku bekas cengkeraman Adrian. Namun, rasa sakit fisik itu tidak sebanding dengan rasa lega yang membanjiri dadanya.

"Elara?" Rian menatap gadis di sampingnya.

Elara masih menatap kosong ke arah puing-puing piano. Wajahnya cemong oleh jelaga, rambutnya kusut masai, tapi matanya jernih. Tidak ada lagi bayangan Elena di sana.

"Aku baik-baik aja," bisik Elara. Dia menoleh ke Rian, lalu tangannya terulur menyentuh pipi pria itu, memastikan dia nyata. "Kita berhasil, Yan. Musiknya berhenti."

Rian mengangguk lemah, lalu membantu Elara duduk. Cahaya abu-abu mulai merembes masuk lewat jendela-jendela yang pecah. Pagi telah datang. Matahari pertama setelah malam panjang yang nyaris merenggut nyawa mereka.

Pemandangan di ruang tengah itu mengerikan.

Piano grand hitam yang megah itu kini hancur lebur. Tuts-tutsnya berserakan di lantai seperti gigi-gigi raksasa yang rontok. Kayu penutupnya terbelah dua, dan kawat-kawat senarnya putus melengkung ke segala arah. Di atas tumpukan kayu yang hangus itu, sisa-sisa partitur "Sonata untuk Elena" telah menjadi abu hitam yang halus, tak lagi bisa dibaca, tak lagi bisa dimainkan.

"Kita harus pergi," kata Sarah tiba-tiba. Dia berdiri dengan susah payah, memegangi lehernya. Naluri bertahan hidupnya menolak untuk tinggal sedetik pun lebih lama di tempat terkutuk ini, meskipun setannya sudah pergi. "Sekarang."

"Setuju," sahut Bobi. Dia menggunakan tongkat besi perapiannya yang kini bengkok sebagai tongkat bantu jalan. "Gue nggak mau nunggu after credit scene. Ayo cabut."

Mereka tidak repot-repot membereskan barang-barang di kamar atas. Baju ganti, perlengkapan mandi, selimut, biarkan saja semuanya tertinggal. Mereka hanya mengambil barang-barang vital: dompet, ponsel, dan kunci mobil yang untungnya masih ada di saku celana Rian.

Perjalanan menuruni tangga menuju pintu depan terasa sangat jauh. Setiap derit lantai kayu membuat mereka tersentak, trauma itu masih menempel erat di saraf mereka.

Saat Rian membuka pintu depan villa, udara pagi yang sangat dingin langsung menampar wajah mereka.

Badai sudah berhenti total. Langit di atas berwarna biru pucat yang bersih, seolah alam semesta sedang meminta maaf atas amukannya semalam. Halaman depan villa tertimbun salju tebal setinggi lutut, putih bersih tanpa jejak, menutupi segala kengerian malam sebelumnya.

Mobil SUV Rian tampak seperti gundukan salju raksasa.

"Bobi, bantu gue bersihin kaca depan," perintah Rian. Dia berjalan terpincang-pincang menuju mobil.

Mereka bekerja dalam diam, menyapu salju dari kaca dan kap mesin dengan tangan kosong yang kebas. Tidak ada candaan, tidak ada keluhan. Mereka hanya ingin mesin itu menyala.

Saat Rian memutar kunci kontak, mesin mobil menderu hidup pada percobaan pertama. Suara mesin itu terdengar seperti musik paling indah di dunia bagi telinga mereka. Pemanas mobil dinyalakan maksimal.

"Masuk," kata Rian.

Mereka berempat masuk ke dalam mobil. Rian di kemudi, Elara di sampingnya. Sarah dan Bobi di belakang. Pintu ditutup rapat, dikunci.

Saat mobil mulai bergerak mundur meninggalkan halaman Villa Edelweiss, Elara tidak bisa menahan diri untuk menoleh ke belakang.

Villa itu berdiri megah di bawah sinar matahari pagi, tampak tenang dan anggun, seolah tidak pernah terjadi pembantaian di dalamnya. Jendela-jendela yang pecah tampak seperti mata hitam yang kosong.

Namun, di jendela lantai dua, kamar tempat mereka menemukan mayat Elena, Elara melihat sesuatu. Tirai putih yang compang-camping melambai pelan keluar jendela. Bukan karena angin, tapi seolah ada tangan yang melambaikannya.

Lambaian perpisahan.

"Selamat jalan, Elena," bisik Elara dalam hati. "Tidurlah yang nyenyak."

Mobil menuruni jalan setapak yang licin dan berbatu. Rian menyetir dengan konsentrasi penuh, menghindari dahan pohon tumbang yang menghalangi jalan. Butuh waktu hampir satu jam untuk menuruni bukit itu dan mencapai jalan aspal utama.

Begitu ban mobil menyentuh aspal mulus jalan raya, dan bar sinyal di ponsel mereka muncul kembali (4G penuh), tangis Sarah pecah.

Bukan tangisan histeris, tapi tangisan pelepasan. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan, bahunya terguncang hebat. Bobi, yang biasanya canggung, kali ini merangkul bahu Sarah, membiarkan temannya menangis di jaket Spongebob-nya yang kotor.

"Udah, Sar... udah lewat," bisik Bobi, matanya sendiri berkaca-kaca. "Kita hidup. Kita menang."

Elara menatap Rian. Pria itu mencengkeram setir dengan buku-buku jari memutih. Wajahnya keras, menahan emosi.

Elara meletakkan tangannya di atas tangan kiri Rian yang memegang persneling.

"Rian," panggil Elara lembut.

Rian menoleh sekilas. Pertahanannya runtuh. Dia menepikan mobil di bahu jalan yang aman, menarik rem tangan, lalu menyandarkan keningnya ke setir. Bahunya naik turun. Rian menangis tanpa suara.

Beban tanggung jawab sebagai pemimpin, rasa bersalah karena membawa teman-temannya ke dalam bahaya, dan teror psikologis dirasuki oleh leluhurnya sendiri, semuanya tumpah saat itu juga.

Elara melepaskan sabuk pengamannya dan memeluk Rian dari samping. Dia membenamkan wajahnya di leher Rian, membiarkan air matanya sendiri membasahi kerah baju pria itu.

"Maafin aku..." gumam Rian di sela isaknya. "Maafin aku, El."

"Ssttt... nggak ada yang perlu dimaafin," bisik Elara, mengusap punggung Rian yang lebar. "Kamu nyelamatin kita. Kamu bakar kertas itu. Kamu pahlawan kita, Yan."

Di kursi belakang, Bobi dan Sarah ikut terdiam, memberi ruang bagi dua sahabat itu untuk menumpahkan rasa takut mereka.

Setelah sepuluh menit yang emosional, Rian menegakkan tubuh. Dia menyeka wajahnya dengan lengan baju, matanya merah tapi tatapannya sudah kembali fokus.

"Kita butuh dokter," kata Rian, melihat leher Sarah yang memar dan kaki Bobi yang bengkak. "Dan kita butuh kopi yang nggak berasa kayak air kuburan."

Bobi tertawa kecil, tawa yang serak. "Dan bubur ayam. Gue mau bubur ayam, diaduk, pake kerupuk yang banyak."

Rian tersenyum tipis, lalu kembali menjalankan mobil.

Mereka melaju menjauh dari pegunungan, meninggalkan kabut di belakang. Villa Edelweiss kini hanyalah titik kecil di spion, sebuah mimpi buruk yang perlahan menjauh.

Namun, saat Elara membuka tas kecilnya untuk mengambil tisu, tangannya menyentuh sesuatu yang keras di saku jaketnya.

Dia merogohnya.

Itu adalah salah satu pecahan tuts piano. Tuts berwarna hitam. Entah bagaimana bisa masuk ke sakunya saat ledakan tadi.

Elara menatap benda itu. Benda itu tidak lagi dingin. Benda itu hangat, dan permukaannya halus. Elara menggenggamnya erat.

Ini bukan sekadar sampah. Ini adalah pengingat. Bahwa di antara hidup dan mati, hanya ada jarak setipis kertas partitur. Dan di antara dia dan Rian... ada sesuatu yang baru saja dimulai, sesuatu yang ditempa dalam api dan darah, yang jauh lebih kuat dari sekadar persahabatan.

Elara menatap profil samping wajah Rian. Kali ini, dia tidak lagi melihat bayangan Adrian di sana. Dia hanya melihat Rian. Dan untuk pertama kalinya, Elara merasa berani untuk berharap.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!