Raisa, gadis malang yang menikah ke dalam keluarga patriarki. Dicintai suami, namun dibenci mertua dan ipar. Mampukah ia bertahan dalam badai rumah tangga yang tak pernah reda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
"Wan kenapa akhir-akhir ini sering murung?" tanya samsul,teman dekat iwan .
Iwan menoleh,wajah nya memang terlihat kusut,"Itu sul,si raisa...makin hari kenapa makin berbeda ya?" keluh iwan dengan sedikit memberi pertanyaan pada teman nya itu.
Samsul memandang nya dengan serius,matanya menyipit.
Menyadari iwan di tatap sedemikian rupa,dia sedikit risih."Apaan sih lu!" kesal nya dengan sedikit menoyor kepala samsul.
"Lagian lu aneh. Perasaan raisa orang nya gak pernah neko-neko deh." ucap samsul,mengungapkan keraguan nya terhadap raisa.
Iwan mendelik,menjawab dengan kesal"Tau apa lu?"
"Ya memang gua gak banyak tahu tentang istri lu. Tapi rasanya aneh saja,kenapa baru sekarang lu ngeluh dengan prilaku istri lu? Pasti ada yang gak beres di diri lu sendiri." jelas samsul yang sedikit membuat iwan tertegun.
"Apa iya ya?"lirih nya pelan hampir berbisik,sementara samsul masih diam memperhatikan gerak-gerik wajah sahabat nya itu.
"Memang ada masalah apa, sih?" tanya Samsul yang mulai sedikit penasaran.
Iwan menghela napas kasar.
"Kenapa ya, Raisa dan keluarga gue nggak pernah akrab?" tanyanya pelan.
Samsul mengerutkan dahinya.
"Emangnya itu bukan hal biasa? Sejak kapan Raisa akrab sama emak lu?" Samsul bertanya seolah heran pada temannya itu.
"Dan kenapa lu baru mempermasalahkannya sekarang?" lanjutnya lagi.
Iwan menoleh, menatap Samsul dengan serius.
"Pasalnya, gue liat Hana begitu mudah diterima sama emak gue! Tapi kenapa istri gue nggak pernah bisa kayak gitu?" keluhnya kesal.
Samsul membulatkan matanya, terperangah kaget.
"Jadi ini masalahnya, toh... Hana. Dan lu bandingin istri lu sama mantan lu itu? Awas, Wan. Entar lu nyesel."
"Jangan pernah sia-siakan Raisa, Wan." Samsul menatap sahabatnya dengan sorot mata tajam. "Dia cantik, baik, penurut lo aja yang kurang bersyukur."
Ia menghela napas berat, lalu menggeleng pelan, seolah nggak percaya dengan sikap Iwan.
"Lagian, kenapa lo jadi begini, sih?" lanjutnya, nada suaranya meninggi. "Bukannya dulu lo yang paling sayang sama istri lo? Lo yang paling keras membela dia waktu emak lo dan antek-anteknya ngatain dia macem-macem!"
Samsul menunjuk dada Iwan dengan jari telunjuknya, emosinya mulai tak terbendung.
"Dan sekarang? Baru Hana nongol lagi, lo udah lupa semua perjuangan Raisa? Gila lo, Wan!"
“Apa gue keterlaluan?” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.
Bayangan wajah Raisa yang tertunduk saat dimarahi pagi tadi kembali terputar di benaknya.
Tatapan sedih perempuan yang selama ini menemaninya dalam suka dan duka, begitu jelas, seolah menghantam keras hati Iwan yang mulai goyah.
Dia memejamkan mata, menahan sesak yang tiba-tiba naik ke dada.
"Raisa...," bisiknya.
"Dia nggak pantas dapet perlakuan kayak tadi."
Samsul hanya diam, membiarkan sahabatnya larut dalam perasaan bersalahnya sendiri. Karena kadang, diam lebih nyaring dari segala bentuk nasihat.
Sore itu, setelah dimarahi habis-habisan oleh Samsul, Iwan mulai sadar bahwa prioritas utamanya haruslah Raisa, istrinya.
Rasa bersalah semakin besar menggerogoti hatinya, apalagi setelah ia ingat dengan jelas bagaimana ia lebih memilih membela Hana daripada istrinya sendiri.
Dengan perasaan cemas, Iwan segera menaiki motornya dan melaju cepat menuju rumah Raisa. Begitu cepatnya ia melaju, bahkan saat melewati rumah sang ibu, ia sama sekali tidak menoleh. Hana, yang sudah berdandan semaksimal mungkin untuk menarik perhatian Iwan, merasa kesal. Ia merasa diabaikan, seperti tak ada arti bagi Iwan yang langsung mengabaikan keberadaannya.
Hana yang berdiri di teras rumah dengan balutan dress mahal dan riasan sempurna hanya bisa melongo saat melihat motor Iwan melaju kencang tanpa sedikit pun memperlambat laju atau melirik ke arahnya.
“Serius dia ninggalin gue gitu aja?” gumam Hana, wajahnya menegang, bibirnya mengerucut kesal.
Tangannya yang tadinya merapikan ujung rambut langsung mengepal. Ia tak menyangka, Iwan yang dulu begitu lemah di hadapannya, kini berubah secepat itu.
Sementara itu, Iwan berhenti tepat di depan rumah Raisa. Nafasnya memburu, bukan karena kelelahan, tapi karena gugup dan diliputi penyesalan.
Dengan langkah ragu namun mantap, ia mengetuk pintu.
Tak lama kemudian, pintu terbuka. Raisa berdiri di ambang dengan wajah datar, jelas sekali kalau bekas amarah dan luka dari pagi tadi belum sepenuhnya reda.
“mas?” suaranya dingin.
Iwan menelan ludah, menunduk sebentar lalu menatap istrinya dalam-dalam.
“Aku salah, Sa. Aku nyakitin kamu… dan aku nyesel banget.”
Raisa menatapnya tanpa berkata-kata. Di matanya ada luka, ada kecewa, dan ada cinta yang masih menunggu pembuktian.
Raisa terdiam sejenak.
Tatapannya masih menyimpan luka, tapi pelan-pelan sorot itu mulai melembut.
Ia menghela napas panjang, lalu menunduk sesaat, berusaha menahan emosi yang sejak tadi berputar dalam dadanya.
“Aku capek, mas… Tapi aku juga nggak pernah bisa benci kamu,” ucapnya lirih.
Iwan yang sejak tadi menahan rasa bersalah, langsung memeluk istrinya erat.
Maaf yang tak bisa ia ucapkan dengan kata-kata, ia sampaikan lewat pelukan penuh penyesalan dan kasih sayang.
Raisa membalas pelukannya, dengan mata yang mulai berkaca.
Dia begitu mencintai lelaki ini. Meski sering menyakiti tanpa sadar, cinta Iwan selalu bisa menariknya kembali.
“Aku janji, mulai sekarang cuma kamu yang jadi prioritas aku,” bisik Iwan pelan di telinganya.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Raisa tersenyum kecil.
Senyum yang menyimpan harapan baru akan hubungan mereka yang sempat retak.
“Kalau masalahnya keluargamu, aku masih sanggup bertahan, mas,” ucap Raisa lirih namun tegas, menatap mata suaminya dalam-dalam.
“Tapi kalau masalahnya orang ketiga… sesayang apa pun aku sama kamu, aku nggak akan bertahan. Aku akan pergi dan membiarkan kamu bersama dia.”
Mendengar itu, Iwan langsung menggeleng cepat, wajahnya panik.
“Enggak, Sa… Jangan katakan itu. gak akan ada orang ketiga. Cuma kamu, Raisa. Selalu kamu.”
Suara Iwan nyaris bergetar, penuh ketulusan dan ketakutan kehilangan.
Ia kembali menggenggam tangan Raisa, mencium punggung tangannya lama.
Raisa hanya menatapnya, kali ini tanpa air mata. Ia tak ingin menangis lagi.
Namun jauh di lubuk hatinya, ada harapan kecil bahwa mungkin, cinta mereka masih bisa diselamatkan.
Tanpa sengaja, Irah berdiri tak jauh dari jendela, melihat Iwan dan Raisa yang sedang bicara dengan raut serius.
Senyum kecil tersungging di bibirnya, namun bukan senyum bahagia melainkan senyum getir penuh penyesalan.
Dalam hati, Irah merasa gagal sebagai seorang ibu.
Ia sama sekali tak tahu bahwa rumah tangga anaknya sedang diuji begitu hebat bukan hanya oleh keluarga, tapi juga oleh kehadiran orang ketiga.
"Anakku … aku bahkan gak bisa jadi tempat pulangnya ," bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.
Irah menarik napas panjang, menahan tangis yang mulai mendesak keluar.
Kini, ia sadar bahwa kadang luka seorang anak tak selalu mereka ceritakan, apalagi jika mereka terlalu sibuk terlihat kuat di depan orang tua.