Melia menangis sejadi-jadinya saat terpaksa harus menerima perjodohan yang tak di inginkan. pasal nya melia sudah memilki kekasih yang begitu ia cintai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puspita.D, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Setelah beberapa bulan Rani bertahan dan berusaha menjadi istri yang baik, ia pikir ia bisa menebus kesalahan dimasa lalu dengan menerima sikap acuh dan dingin suaminya. Nyatanya tidak seperti yang di harapkan nya.
Rani yang pagi itu sedang membersihkan rumah, merasa perutnya keram, yah kini kandungan Rani sudah memasuki 8 bulan.
Rani duduk sekedar istirahat. "mas Radit, tolong bantu aku ke kamar, perutku rasanya keram" pinta Rani pada Radit saat kebetulan Radit berjalan akan melaluinya.
"Maaf De' sebaiknya kamu jangan manja, ini sudah sering terjadi pada wanita hamil jadi anggap ini hal yang wajar jangan di jadikan untuk bermanja-manja" jawab Radit.
Radit selalu menahan emosinya setiap kali melihat perut Rani yang semakin besar, ia tak bisa membayangkan apa yang Rani lakukan bersama pria lain waktu itu.
"Kenapa pula harus aku yang bertanggung jawab" ujar Radit dalam hati.
"I iya mas, maaf kalo aku sudah merepotkanmu" ujar Rani dengan kepala menunduk.
"Oh ya mas aku sudah buat sarapan, sebelum berangkat sarapanlah dulu sesekali" sambung Rani.
"Aku sudah dapat jatah sarapan dan makan siang di ladang jadi tak perlu repot-repot" jawab Radit yang sedikit melukai hati Rani.
"Sejak kapan mas di ladang ada jatah sarapan dan makan siang?" tanta Rani tak percaya.
Radit tak ingin menjawab ia segera berlalu meninggalkan Rani. Ada rasa nyeri di hati Rani saat Radit semakin acuh padanya.
Sore hari biasanya Rani akan belanja sayur untuk ia masak paginya, Rani pergi kewarung yang menjual sayur dan lauk pauk.
"Eh kamu Rani kan? Istrinya Radit?" tanya Bu Tia pemilik warung nasi yang kebetulan sedang membeli keperluan dagangan nya.
"Iya bu" jawab Rani sembari tersenyum.
"Kamu belanja apa? Bukan kah Radit bilang kamu nggak pernah masak? Makan nya setiap hari Radit beli makanan di warung ku" ucap Bu Tia.
"Eh tia kalo ngomong jangan sembarangan ini mba Rani setiap hari belanja sayur disini, trus dikemana in sayurnya kalo nggak di masak?" sahut Bu Sinta penjual sayur.
"Orang Radit yang ngomong kok kenapa kamu sewot sama aku sih sin" Bu Sinta dan Bu Tia berdebat, sedangkan Rani perlahan meninggalkan warung Bu Sinta.
"Eh mba Rani nggak jadi belanja?" teriak Bu sinta yang tak dihiraukan Rani.
"Gara-gara kamu mba Rani jadi ngambek" Bu sinta memanyunkan bibirnya ia kesal gara-gara ucapan Bu Tia Rani jadi pergi.
"Jadi begitu mas? Kamu sengaja menghindar dariku bahkan makanan buatanku pun kamu hindari juga" lirih Rani sembari berjalan kembali ke gubuk Radit.
Sebelum masuk rumah Rani sempat melirik rumah Arkan dan Melia. "sepi. Kemana mereka semua?" tanya Rani pada dirinya sendiri.
Rani segera masuk dan menuju kamar. "tak ada gunanya lagi aku disini, ia memintaku untuk tidak pergi tapi mengusirku secara halus dengan sikapnya" Rani terus saja bermonolog sendiri sembari memasukan pakaian ke dalam tas.
Saat Rani berniat meninggalkan rumah tiba-tiba Radit pulang dari ladang karna hari sudah sore.
"Mau kemana?" tanya Radit dengan mimik wajah dingin.
Tiba-tiba tanpa perintah air mata Rani sudah membasahi pipinya. "a aku....maafkan aku" Rani tak sanggup untuk meneruskan kata-katanya, tenggorokan nya seolah menyempit sulit untuk bicara.
"Aku sudah bilang aku tetap akan bertanggung jawab atas hidupmu karna janji yang sudah aku buat pantang untuk aku ingkari" suara dingin Radit menambah pilu hati Rani.
"Tapi mas bukan tanggung jawab seperti ini yang aku inginkan" jawab Rani dengan suara bergetar.
"Lantas apa yang kamu inginkan" dengan pandangan mata yang tajam, membuat Rani menunduk sembari meremas ujung bajunya.
"Aku ingin ada seseorang yang menguatkan aku bukan malah membuatku rapuh dan terpuruk mas" dengan isak tangis sebisa mungkin Rani bersuara dengan jelas.
"Kamu rapuh? Hahaha...Rani..Rani ini hasil perbuatanmu sendiri jangan bawa orang lain ke dalamnya, setiap perbuatan akan ad konsekuensi, lalu kenapa kamu tak berpikir sebelum berbuat" kata-kata Radit membungkam Rani hanya air mata yang terus mengalir.
"Kau sudah membodohi ku dengan kecantikan jangan lagi kau bodohi aku dengan air mata, hapus air matamu!" kata Radit sedikit membentak.
"Maafkan aku mas yang sudah terlalu banyak berharap, kalo tanggung jawab yang mas bicarakan tentang sesuap nasi, maaf mas yang aku butuhkan bukan sekedar sesuap nasi" Rani tak menyangka Radit yang tadinya terlihat lembut bisa sekejam ini karna terluka.
"Terserah apa maumu. Jika ada apa-apa denganmu dan bayimu jangan pernah mencariku" ujar Radit dengan angkuh.
"Baiklah terima kasih untuk semuanya mas, aku permisi" Rani melangkah perlahan meninggalkan rumah dengan tas di tangan nya dan perut yang besar, Rani nampaknya sedikit kesulitan.
Keadaan kampung saat magrib memanglah sepi, di tengah perjalanan Rani bertemu Arkan yang baru pulang.
"Loh Rani kamu mau kemana bawa tas magrib-magrib gini, apa kak Radit tau?" sapa Arkan.
Rani hanya mengangguk ia tau saat ia bicara air matanya tak bisa ditahan, karna itu ia memilih untuk mengangguk saja.
"Mari biar saya antar, jam segini tak ada ojek" Rani pasrah karna ia juga merasa lelah berjalan cukup jauh dari rumah.
"Memangnya mau kemana jam segini, rindu sama ibunya? Tapi kok bawa tas sebesar itu kaya mau minggat aja" celetuk Arkan yang tak dijawab oleh Rani.
"jadi gimana mau di antar kemana ini?" lanjut Arkan bertanya, sementara yang ditanya melamun Rani merasa sangat nyaman berada didekat Arkan.
"A.aku mau ke kota saja" jawaban Rani mengejutkan Arkan.
"Memangnya di kota punya saudara?" Rani hanya menggeleng.
Arkan menghentikan laju motornya. Ia mengamati mata Rani yang sembap.
"Apa ada masalah dengan kak Radit?" tanya Arkan
Rani menunduk tak sanggup untuk menjawab.
"Aku nggak mau ikut campur kalo kalian ada masalah" ujar Arkan yang membuat Rani turun dari motor.
"Baiklah jangan ikut campur, terima kasih sudah mengantarku sampai disini" ucap Rani.
Arkan memegang tangan nya. "ini masih jauh dari kota dan juga jauh dari rumah warga, tak mungkin aku biarkan wanita yang sedang hamil berjalan sendiri ditempat sepi" ada rasa tak tega di hatinya.
"Naiklah aku akan mengantarmu" sambung Arkan.
Di sebuah warung makan kecil Arkan mengajak Rani mampir sekedar minum teh hangat.
"Ceritalah siapa tau bisa meringankan beban di hatimu" ujar Arkan dengan suara lembut.
"Aku nggak bisa lagi sama mas Radit" jawaban Rani membuat Arkan tersedak air teh yang ia seruput.
"Maksudnya nggak bisa?" tanya nya kemudian.
"Mas Radit terlalu baik untuk ku ia mau menampung wanita yang hamil dengan pria lain, tapi aku harus sadar diri, saat ini cuma aku kelak ada anak ku tak mungkin kami berdua merepotkan nya" jawab Rani. Sembari mengusap air matanya.
"Tapi kalian sudah menikah, jadi kamu adalah tanggung jawabnya" Arkan merasa geram dengan apa yang dilakukan Radit.
Rani yang melirik arloji di tangan nya merasa tak nyaman.
"Mas Arkan ini sudah malam sebaiknya mas pulang Melia pasti cemas menunggumu" kata Rani merasa tak nyaman.
"ah iya sudah jam 20:00 mari aku antar kamu dulu masalah Melia biar jadi urusanku nanti" tak dapat menolak Rani naik kembali ke atas motor mereka melaju menuju kota.
Sesampainya di kota Rani yang sudah faham tempat kontrakan, meminta Arkan mengantarnya menuju kontrakan agar Arkan tak berlama-lama mengantarnya.
"Terima kasih banyak sudah mengantarku sejauh ini" ucap Rani.
Arkan merogoh saku mengeluarkan 3 lembar uang berwarna merah.
"Ini buat beli makanan" Rani merasa malu untuk menerima uang tersebut.
"Tak apa cuma hari ini saja kok, ya sudah aku pamit pulang dulu, jaga dirimu dan bayimu" sambung Arkan.
"Terima kasih mas Arkan" ucap Rani. Arkan segera melajukan motornya untuk kembali ke kampung.
"Bagaimana dengan mimpiku, Bu? Apa aku tak berhak untuk memiliki mimpi atau mewujudkannya?" Melia nelangsa, dengan derai air mata bla bla bla
semisal,
Di hadapan
Diduga
dan untuk nama menggunakan huruf kapital. Melia
dan untuk kata -nya itu digabung, bukan dipisah ya.