Rania Alesha— gadis biasa yang bercita-cita hidup bebas, bekerja di kedai kopi kecil, punya mimpi sederhana: bahagia tanpa drama.
Tapi semuanya hancur saat Arzandra Adrasta — pewaris keluarga politikus ternama — menyeretnya dalam pernikahan kontrak.
Kenapa? Karena Adrasta menyimpan rahasia tersembunyi jauh sebelum Rania mengenalnya.
Awalnya Rania pikir ini cuma pernikahan transaksi 1 tahun. Tapi ternyata, Adrasta bukan sekedar pria dingin & arogan. Dia manipulatif, licik, kadang menyebalkan — tapi diam-diam protektif, cuek tapi perhatian, keras tapi nggak pernah nyakitin fisik.
Yang bikin susah?
Semakin Rania ingin bebas... semakin Adrasta membuatnya terikat.
"Kamu nggak suka aku, aku ngerti. Tapi jangan pernah lupa, kamu istriku. Milik aku. Sampai aku yang bilang selesai."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PCTA 31
Dengan sangat perlahan, sangat lembut namun pasti - jemarinya menyentuh bahu Rania, menelusuri kulitnya, membuka satu per satu penghalang di antara mereka. Tidak ada tergesa.
Tidak ada paksaan.
Hanya keintiman.
Rasa memiliki... dan cinta yang begitu dalam.
Rania bergetar di bawah perlakuan Adrasta, bukan karena takut... tapi karena untuk pertama kalinya, dia benar-benar menyerahkan dirinya, hatinya, raganya, seluruh luka dan rapuhnya - kepada pria itu.
"Adrasta..." lirihnya, seperti bisikan rapuh yang nyaris pecah. Dan nama itu, bagi Adrasta, adalah surga. Seiring bibir Adrasta yang kembali melumat leher rapuh Rania, menyusuri setiap inci kulitnya, menggoreskan jejak rasa kepemilikan yang tidak bisa dihapuskan waktu. Cinta Adrasta bukan lagi tentang perlindungan.
Tapi tentang penyatuan. Tentang menyatu dalam luka. Tentang mencintai dalam hancur. Tentang memiliki dalam seluruh wujud baik jiwa maupun raganya. "Aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi lagi, Rania..." bisik Adrasta di sela-sela ciumannya. "Selamanya... kamu hanya milik aku."
Dan untuk pertama kalinya Rania tidak ingin melawan kalimat itu. Karena hatinya pun telah memilih Adrasta.
Sejenak setelah puas mengecap manisnya bibir dan kulit Rania, Adrasta perlahan menjauh. Matanya, yang masih gelap oleh hasrat dan cinta, menatap gadis itu dalam-dalam seolah ingin mengabadikan setiap detailnya dalam ingatan.
Rania berbaring di atas ranjang, polos, rapuh... sekaligus indah dalam caranya yang paling murni. Adrasta menarik napas panjang menahan gelombang emosi yang nyaris meledak di dadanya. Jemarinya dengan perlahan melepaskan sisa pakaian di tubuhnya sendiri, tanpa mengalihkan pandangan dari Rania sedetik pun.
Saat ia kembali mendekat, ada sorot berbeda di matanya. Bukan sekadar hasrat seorang pria kepada wanita - tapi rasa memiliki yang begitu dalam, begitu mutlak, begitu gila.
Seolah hanya ada satu kalimat yang bergema dalam pikirannya. "Kau milikku, Rania. Hanya milikku." Dengan jemari hangat dan besar miliknya, Adrasta mulai menyusuri lekuk tubuh Rania dari bibirnya yang lembut, lehernya yang memikat, turun ke lekuk bahunya yang mungil.
Gerakannya tidak terburu. Setiap sentuhan terasa seperti ibadah, seperti pengakuan sunyi atas cintanya yang tak lagi bisa dibendung. Rania menggeliat - tubuhnya merespons sentuhan itu dengan spontan, nafasnya memburu, sementara pipinya bersemu merah. Namun ketika tangan Adrasta berhenti di bukit kembar Rania, tepat di atas jantungnya yang berdetak liar - pria itu tidak langsung menyentuh.
Sebaliknya, ia menunduk mengecup perlahan area itu, seolah berbicara langsung pada hatinya. "Aku bisa merasakan ketakutanmu..." bisiknya serak, nyaris seperti gumaman pribadi. "Tapi aku lebih takut kehilanganmu, Rania." Dan saat jemarinya akhirnya mulai memijat lembut bukit kembar Rania memainkan puncaknya dengan godaan tak tertahankan - jeritan kecil itu lolos dari bibir Rania tanpa ia sadari.
"Adrasta..." namanya terdengar nyaris seperti keluhan manja, nyaris seperti doa yang terucap di antara batas sadar dan kehilangan kendali. Adrasta tersenyum tipis senyum penuh dominasi, penuh rasa memiliki, namun tetap dipenuhi kelembutan yang nyaris menyayat.
"Dengarkan baik-baik, Rania..." ucapnya perlahan, masih memijat dan mempermainkan puncak lembut itu hingga tubuh gadis itu terus menggeliat. "Mulai detik ini... tubuh ini... hatimu... seluruh dirimu..." Adrasta menatap tajam, napasnya berat di antara jeda kalimat, "... adalah milikku. Dan aku... akan selalu menjadi rumah bagimu."
Rania menatap Adrasta matanya berkaca, penuh perasaan yang meluap-luap antara cinta, rindu, takut, dan lega yang bercampur menjadi satu. la tahu... Hatinya sudah tak punya tempat lain untuk pulang. Selain Adrasta.