Ana terpaksa menikah dengan seorang pria lumpuh atas desakan ibu dan kakaknya demi mahar uang yang tak seberapa. Pria itu bernama Dave, ia juga terpaksa menikahi Ana sebab ibu tiri dan adiknya tidak sanggup lagi merawat dan mengurus Dave yang tidak bisa berjalan.
Meskipun terpaksa menjalani pernikahan, tapi Ana tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri dengan ikhlas dan sabar. Namun, apa yang didapat Ana setelah Dave sembuh? Pria itu justru mengabaikannya sebagai seorang istri hanya untuk mengejar kembali mantan kekasihnya yang sudah tega membatalkan pernikahan dengannya. Bagaimana hubungan pernikahan Ana dan Dave selanjutnya? Apakah Dave akan menyesal dan mencintai Ana? atau, Ana akan meninggalkan Dave?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akan Menjadi Saksi Hidup
Pagi itu, udara terasa dingin. Matahari baru saja muncul, menyinari halaman rumah besar milik Dave dengan sinar keemasan. Ana sedang menyiapkan sarapan di dapur, sementara Dave duduk di ruang kerja, membaca beberapa dokumen di tangannya.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan pintu terdengar. Tak lama, Pak Wen masuk dengan membawa sebuah amplop cokelat.
"Tuan, ini ada surat dari pengadilan," katanya sambil menyerahkan amplop tersebut.
Dave mengangkat alis, lalu mengambil amplop itu dengan santai. Ana yang baru saja keluar dari dapur menyipitkan matanya, melihat raut wajah Pak Wen yang tampak sedikit gelisah.
"Dari siapa?" tanya Dave dengan nada datar.
"Dari pengadilan, Tuan."
Ana terkejut. "Pengadilan?"
Dave tidak bereaksi berlebihan. Ia membuka amplop tersebut, menarik isi di dalamnya, lalu mulai membaca. Ana mendekat, mencoba mengintip isi surat itu, tetapi Dave mengangkat tangannya, mengisyaratkan agar ia tidak ikut campur.
Setelah membaca, Dave menaruh surat itu di meja, kemudian menyandarkan tubuhnya ke kursi rodanya dengan ekspresi datar.
"Lusi menuntutku soal pembagian harta warisan," katanya santai.
Ana membelalakkan matanya. "Apa?"
Tepat saat itu, Andre masuk ke dalam ruangan. "Apa yang terjadi?" tanyanya setelah melihat ekspresi Ana yang kaget.
"Lusi menggugatku. Dia ingin pembagian harta peninggalan mendiang ayahku," jawab Dave ringan, seolah-olah ini bukan masalah besar.
Andre menghela napas panjang. "Aku sudah menduga ini akan terjadi. Lusi memang tidak akan tinggal diam."
"Tentu saja," sahut Dave sambil tersenyum kecil, senyum penuh sinisme.
Ana berpaling pada Dave, masih tak percaya. "Jadi, bagaimana? Kau akan menghadiri persidangan?"
Dave tertawa pelan. "Tentu saja tidak."
Andre mengernyitkan dahi. "Apa maksudmu?"
Dave mengangkat bahu. "Aku tidak tertarik untuk meladeni omong kosong itu. Jika dia menginginkan sesuatu, biarkan dia berusaha sendiri."
Ana menatap Dave dengan bingung. "Tapi... jika kau tidak hadir, bukankah itu bisa menjadi masalah?"
"Biarkan saja. Lusi tidak akan mendapatkan apa yang dia inginkan dengan mudah," jawab Dave santai.
Andre menatap Dave tajam, lalu menggelengkan kepala. "Kau benar-benar keras kepala."
Dave tertawa kecil, sementara Ana masih diliputi kebingungan. Ana khawatir kalau Dave akan kalah dari Lusi, meskipun pria ini sangat menyebalkan, tapi Ana tidak tega kalau harus melihat Dave menderita.
Alih-alih menanggapi surat tuntutan dari Lusi, Dave justru bersiap untuk pergi terapi. Hari ini adalah hari yang cukup penting baginya—hari di mana ia akan mencoba berdiri dan belajar berjalan kembali.
Di ruang tamu, Ana berjalan mondar-mandir dengan gelisah, melihat Dave yang sedang bersiap dengan pakaian santainya. Ia masih tak habis pikir, bagaimana mungkin Dave bisa bersikap santai padahal ada tuntutan hukum yang menunggunya?
"Dave, kau benar-benar tidak peduli soal tuntutan itu?" tanya Ana akhirnya.
Dave mengangkat alis, menatap Ana dengan ekspresi datar. "Apa yang lebih penting? Tuntutan dari wanita mata duitan atau aku bisa berjalan lagi?"
Ana terdiam, tapi dalam hati ia mengakui bahwa Dave benar. Ia tersenyum kecil dan berkata, "Baiklah, kalau begitu, ayo kita pergi! Aku akan mendukungmu!"
Pagi ini mereka pergi bersama Andre yang ingin menyaksikan secara langsung terapi yang akan dilakukan oleh Dave. Sepanjang perjalanan, mereka hanya diam saja begitu pula dengan Ana yang memilih menutup wajahnya dengan masker karena lebam di wajahnya belum sepenuhnya hilang.
___
Sesampainya di tempat terapi, Dave melakukan pemeriksaan terlebih dahulu sebelum melakukan terapi. Dave duduk di kursi rodanya, menatap lantai dengan ekspresi serius. Hari ini, ia akan mencoba berdiri dengan alat bantu dan belajar melangkah untuk pertama kalinya setelah sekian lama lumpuh.
"Tuan Dave, kita akan mulai perlahan, jangan memaksakan diri," kata fisioterapisnya dengan lembut.
Ana berdiri di samping Dave, wajahnya penuh semangat. "Dave, kau bisa melakukannya! Aku yakin!"
Dave menghela napas, kemudian mulai mengangkat tubuhnya perlahan. Tangannya berpegangan pada alat bantu berjalan. Kakinya terasa kaku, tapi ia mencoba bertahan.
Satu langkah... dua langkah...
Tiba-tiba, tubuhnya hampir kehilangan keseimbangan!
"Dave!" Ana bergegas memegang lengannya, memastikan ia tidak jatuh.
Dave menatap Ana sekilas, lalu mendengus pelan. "Aku tidak selemah itu," katanya, mencoba menutupi kegugupannya.
Ana tertawa kecil. "Aku tahu. Tapi tetap saja, aku akan selalu siap menangkapmu jika kau jatuh."
Mendengar itu, Dave terdiam sejenak. Ada perasaan hangat yang muncul di dalam hatinya—perasaan yang selama ini ia coba abaikan.
Hari ini bukan hanya tentang belajar berjalan kembali... Tapi juga tentang kehadiran seseorang yang benar-benar peduli padanya.
Dave mengembuskan napas perlahan, mencoba mengendalikan tubuhnya yang masih terasa kaku. Setelah sekian lama terjebak dalam kursi roda, rasanya seperti mengajari tubuhnya untuk mengenal kembali bagaimana cara berdiri.
Ana masih berdiri di sampingnya, wajahnya penuh semangat dan perhatian.
"Baiklah, Dave. Coba lagi. Satu langkah lagi." Suara lembut fisioterapis terdengar.
Dengan sedikit gemetar, Dave mengangkat kakinya sekali lagi. Ia merasakan tekanan pada otot-otot kakinya yang lama tak digunakan. Satu langkah… lalu satu langkah lagi.
Ana mengepalkan tangannya dengan penuh antusias, matanya berbinar melihat Dave yang akhirnya berhasil melangkah.
"Ya, Dave! Kau bisa!"
Namun, tiba-tiba—Dave kehilangan keseimbangan!
"Dave!" Ana dan fisioterapis langsung meraih tubuhnya sebelum ia benar-benar jatuh.
Dave mendengus kesal, merasa frustrasi karena belum bisa mengontrol tubuhnya sepenuhnya. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya.
"Aku benci ini," gumamnya.
Ana tersenyum lembut, menatap Dave dengan penuh keyakinan. "Ini bukan kegagalan, Dave. Ini kemajuan. Kau sudah berjalan lebih jauh dari yang kau bayangkan, kan?"
Dave mengerutkan kening, menatap Ana yang tersenyum lebar. Ada sesuatu dalam cara gadis itu memandangnya yang membuat amarahnya sedikit mereda.
Fisioterapis mereka ikut mengangguk. "Tidak perlu terburu-buru, Tuan Dave. Proses ini membutuhkan waktu. Tapi saya yakin, jika Anda terus berlatih, Anda akan bisa berjalan lagi tanpa alat bantu."
Dave menghela napas panjang. Ia tidak pernah suka bergantung pada orang lain, tetapi hari ini… untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sendirian.
"Kau tahu, kau itu luar biasa! Aku sampai merinding melihatmu melangkah sendiri."
Dave memandangnya sekilas dari kursi roda, lalu mendengus. "Jangan terlalu berlebihan."
Ana tertawa kecil. "Tapi aku serius! Kalau kau terus berlatih, sebentar lagi kau bisa berjalan seperti dulu. Dan aku akan jadi saksi hidupnya!"
Mendengar itu, Dave terdiam sejenak.
"Saksi hidup, huh?" gumamnya pelan.
Ana mengangguk semangat. "Tentu saja! Aku akan melihat perjalananmu sampai kau benar-benar sembuh. Jadi, jangan menyerah, oke?"
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama… Dave tersenyum tipis.
Ia tidak tahu kenapa, tapi kata-kata Ana seakan memberi energi baru dalam dirinya.
Mungkin… untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tak merasa berjuang sendirian.