"Urgh... k-kurang ajar! B-bajingan!" gumam Lingga lirih. Tubuhnya semakin lemas dan kesadarannya semakin memudar. "A-apa aku akan... mati?"
Seorang bartender muda yang bergumul dengan utang dan cinta buta bernama Lingga, mengira hidupnya sudah cukup kacau. Tapi, semuanya berubah drastis dalam satu malam yang kelam. Saat hendak menemui pacarnya, Lingga menjadi korban pembegalan brutal di sebuah jalanan yang sepi, membuatnya kehilangan motor, harta benda, dan akhirnya, nyawanya.
Namun, takdir punya rencana lain. Di ambang kematian, Lingga terseret oleh lingkaran cahaya misterius yang membawanya ke dunia lain, sebuah dunia asing penuh kekuatan magis, monster, dan kerajaan-kerajaan yang saling bertarung. Terbangun dengan kekuatan yang belum pernah ia miliki, Lingga harus mempelajari cara bertahan hidup di dunia baru ini, menghadapi ancaman mematikan, dan menemukan arti hidup yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kang Sapu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 14
Drap, drap, drap!
Sesosok gadis cantik berlari tergesa-gesa menyusuri lantai batu pualam istana yang dingin. Derap langkah kakinya bergema di penjuru lorong seiring nafasnya yang kian tersengal. Peluhnya menetes di pelipis sembari memanggil-manggil sosok wanita yang menjadi panutannya.
"Yang Mulia! Ratu Kadita!" teriak Lira dengan nafas yang menderu.
Kadita yang sedari tadi berada di ruangannya terkesiap saat mendengar sayup-sayup suara Lira yang memanggilnya dari kejauhan. "Lira? Kenapa dia berteriak seperti itu?" gumamnya seraya beranjak dari tepian ranjang mewahnya.
Ruangan mewah dengan nuansa gelap dan merah itu terkesan suram. Namun, beberapa pernak-pernik berwarna emas dan perak menampik kesuramannya. Ranjang ber-sprei merah hitam terlihat kusut dengan bantal yang tak tertata rapi. Kadita sebelumnya duduk di tepian ranjang kayu berukir tersebut dengan memegang sebuah cawan berisi minuman.
"Nona Lira, kenapa Anda berlarian seperti itu?" tanya seorang penjaga yang berdiri di ujung lorong tepat di seberang ruangan Kadita.
Lira lantas tak menjawab pertanyaan penjaga bertubuh tegap itu. Ia melewatinya begitu saja tanpa menolah sedikit pun. Langkah kakinya bergerak semakin cepat berharap lekas tiba di depan pintu ruangan ratunya tersebut.
Sesampainya di depan pintu megah berukir, ia dikejutkan dengan kemunculan Kadita yang baru saja membukakan pintu untuknya.
"Lira?!" tegur Kadita dengan kedua mata menyipit penuh rasa penasaran. "Kenapa kau berlarian dan berteriak seperti itu?"
"R-Ratu... anu...," jawab Lira berusaha mengatur nafasnya yang hampir putus.
"Anu kenapa? Ada apa? Apa yang sudah terjadi?" tanya Kadita semakin skeptis.
"M-maaf, Yang Mulia... Si Lingga... Argh! Dia kabur, Ratu!" tukas Lira dengan sorot mata tajam sembari menyeka keringatnya yang bercucuran.
Seketika kedua mata Kadita terbelalak tak percaya dengan ucapan orang kepercayaannya itu. "Apa?! Da Kabur?! Bagaimana bisa?!" bentaknya dengan nada tinggi.
"Saya juga tidak tahu bagaimana dia bisa kabur dari penjara bawah tanah!"
"Apa kau sudah mengunci rapat pintu penjaranya?"
"Saya sudah pastikan, Ratu. Saya menguncinya dengan rapat! Bahkan, saya juga menyiapkan beberapa penjaga di beberapa titik!" jelasnya dengan nada penuh kesungguhan.
"Kurang ajar! Bagaimana caranya dia bisa kabur seperti itu?!" geramnya dengan gigi yang bergemeretak. "Aku tak mau tahu! Cepat kerahkan pasukan mata-mata untuk mencari keberadaannya!"
Sejenak Lira mengernyitkan dahi, ia sedikit berpikir lalu menyahuti perintah sang Ratu. "Tapi, Ratu... menurut saya, biarkan saja dia kabur. Toh, dia tak mendapatkan kekuatan apapun dari ruangan itu dan... dia tak akan mampu bertahan di dunia kita ini. Dia kan manusia lemah dari dunia lain."
"Jangan naif, Lira! Meskipun jika memang dia tak mempunyai kekuatan apapun untuk bertahan hidup di dunia ini, ia masih punya mulut untuk menyebarkan rumor yang terjadi di istana ini! Bagaimana jika ia menyebarkan rumor buruk tentangku kepada orang yang ia temui?!" sergah Kadita dengan kedua tangan yang terkepal.
"Kalau urusan itu, Yang Mulia tenang saja... rakyat kita tak akan serta merta percaya dengan ucapan orang asing seperti Lingga. Malahan, mungkin ia akan ditertawakan dan dicibir jika memang melakukan hal tersebut. Yang Mulia tahu sendiri, selama ini rakyat tahunya Ratu Kadita itu sosok yang baik, adil, dan bijaksana," sahut Lira dengan senyum yang tersungging.
Sejenak raut wajah serius Kadita berangsur sirna digantikan senyuman tipis di antara bibirnya yang merona. "Kau memang pintar memuji, Lira. Ah! Baiklah kalau begitu. Aku tak akan mengurusi bocah sialan itu lagi! Tak ada manfaatnya juga bagiku," ucap Kadita seraya membalikkan badannya.
Lira seketika terkesiap terkejut. "Yang Mulia! Aku hampir lupa! Dia kan sedang dalam kondisi keracunan. Menurut saya ia tak akan bertahan lama..."
"Ah... kau benar, Lira. Tapi, untuk berjaga-jaga, sebar beberapa mata-mata untuk memantau keberadaan Lingga! Aku tak berharap banyak. Jika memang ia ditemukan masih hidup... bunuh saja dia! Kalau memang sudah mati, biarkan saja mayatnya membusuk ditempatnya!"
"Baik, Yang Mulia! Kebetulan saya punya seorang mata-mata yang saya latih sejak kecil. Ia baru saja menyelesaikan pelatihannya dan... mungkin ini kesempatan bagus untuk mengujinya dan menerjunkan ia secara langsung ke lapangan."
"Atur saja, Lira. Aku akan beristirahat dulu," sahut Kadita tanpa menoleh.
"Serahkan kepada saya, Yang Mulia."
Setelah percakapan itu, Lira memutar badan dan berjalan kembali menyusuri lorong yang sebelumnya ia lewati. Di sepanjang perjalanan, ia bergumam sendiri. "Iya juga ya... buat apa tadi aku bingung saat Lingga kabur? Argh! Bodohnya aku! Aku yakin dia tak akan mampu bertahan dari racun mematikan itu!"
Beberapa menit berjalan, Lira tiba di bangunan berbeda yang terletak di ujung barat istana Agniamartha. Di sana, terdapat sebuah bangunan dari batu yang terkesan sudah lama tak terurus terlihat dari kondisi dinding yang rapuh serta rumput yang sudah tinggi. Di beberapa sudut, terlihat jaring laba-laba yang tebal dan bau pengap yang menguar saat ia membuka pintu kayu reyot di depannya.
Kriek...!
"Ishika... sebentar lagi, kau akan menerima tugas pertamamu," ucap Lira tiba-tiba kepada sesosok gadis cantik berwajah serius yang duduk di atas meja sembari memutar-mutar pisau belati.
Gadis yang dipanggil Ishika itu turun dari meja dan menghampiri Lira. Tak tersirat ekspresi apapun di wajahnya. Pandangannya terlihat kosong. Namun, gadis berambut hitam yang diikat ke kebelakang itu menjawab ucapan Lira. "Tugas? Hmm, tugas apa itu, Guru?"
"Kau perlu memata-matai seorang pria lemah yang baru saja kabur dari istana," jawab Lira seraya membelai pipi gadis berkulit pucat itu.
Ishika memiliki perawakan seorang gadis berusia sekitar 17 tahun jika didasarkan usia gadis di dunia Lingga tinggal. Ia memakai setelan hitam ketat yang menampakkan jelas bagaimana bentuk lekuk tubuhnya. Wajahnya cukup cantik, namun sorot matanya yang tajam menunjukkan kekejaman karena mungkin ia telah mengalami banyak penderitaan baik secara fisik maupun mental. Ada bekas luka pada beberapa bagian tubuhnya yang menunjukkan seberapa giat ia berlatih sebagai mata-mata sekaligus pembunuh di balik bayangan.
"Pria lemah? Siapa dia, Guru?" tanya Ishika dengan nada suara penuh rasa penasaran. Namun ekspresi wajahnya tetap datar.
Akhirnya Lira pun menceritakan semua yang telah terjadi sebelumnya di istana. Mulai dari kemunculan Lingga hingga ia kabur beberapa saat yang lalu. Termasuk ciri-ciri sosok Lingga secara detail. Terlihat Ishika sedikit tertarik dengan sosok Lingga ini dari nada suaranya.
Ishika menyarungkan belatinya di belakang pinggang. "Ah, baiklah, Guru. Aku akan berangkat sekarang juga."
"Ingat, jangan menarik perhatian! Kalau bisa, jangan sampai orang lain tahu," ucap Lira dengan sorot mata yang tajam.
Ishika mendekatkan wajahnya ke arah Lira. "Apa guru lupa? Aku sudah menyelesaikan pelatihan bagaimana cara membunuh sacara diam-diam di balik bayangan. Guru tenang saja, aku akan melaksanakan perintahmu tanpa ada kegagalan!"
Lira mengusap puncak kepala gadis bermata lebar itu seraya tersenyum. "Tak salah aku menjadikanmu sebagai muridku. Meskipun sekarang aku ahli dalam ilmu sihir, tapi... aku juga pernah menjadi mata-mata dan pembunuh saat— argh!" ucapannya terhenti tiba-tiba. Bibirnya bergetar hebat dengan kedua tangan meremas rambut dan menariknya keras-keras seolah tak mau mengingat sesuatu hal yang kelam.
"Guru! Apa yang terjadi?! Guru tak apa?" tanya Ishika penuh rasa khawatir saat menyadari ekspresi Lira berubah drastis.
"Argh!" Teriakan Lira terdengar semakin kencang.
***