Shiratsuka mendecak, lalu membaca salah satu bagian esai yang ditulis Naruto dengan suara pelan tetapi jelas:
"Manusia yang mengejar kebahagiaan adalah manusia yang mengejar fatamorgana. Mereka berlari tanpa arah, berharap menemukan oase yang mereka ciptakan sendiri. Namun, ketika sampai di sana, mereka menyadari bahwa mereka hanya haus, bukan karena kurangnya air, tetapi karena terlalu banyak berharap."
Dia menurunkan kertas itu, menatap Naruto dengan mata tajam. "Jujur saja, kau benar-benar percaya ini?"
Naruto akhirnya berbicara, suaranya datar namun tidak terkesan defensif. "Ya. Kebahagiaan hanyalah efek samping dari bagaimana kita menjalani hidup, bukan sesuatu yang harus kita kejar secara membabi buta."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyudi0596, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23
Reina masih terpaku menatap papan Shogi di depannya, ekspresi tidak percaya masih terpahat jelas di wajahnya. Dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa seseorang bisa membalikkan keadaan dalam sepuluh langkah saja, bahkan saat kemenangan sudah berada di genggamannya.
Perlahan, dia mengangkat wajahnya dan menatap Naruto dengan mata penuh ketidakpuasan. “Siapa?” suaranya terdengar datar, tapi sarat dengan rasa penasaran yang mendalam.
Naruto mengangkat alis. “Hah?”
“Siapa orang yang kau maksud tadi?” Reina mengulang pertanyaannya. “Orang yang lebih jenius dari kami semua. Orang yang membuatmu bisa menang seperti ini.”
Ruangan kembali sunyi. Sayaka dan dua anggota lainnya menatap Naruto dengan penuh minat.
Naruto hanya menyilangkan tangannya, menyandarkan punggungnya ke kursi dengan santai. Senyum misterius tersungging di bibirnya. “Itu bukan sesuatu yang bisa kukatakan begitu saja.”
Reina mengernyit, tidak puas dengan jawaban itu. “Kenapa?”
“Karena tidak ada satu pun orang di sini yang akan sanggup melawannya dalam Shogi,” kata Naruto dengan nada yakin. Matanya yang biasanya terlihat riang kini bersinar dengan keteguhan yang jarang terlihat.
Reina mengepalkan tangannya. Sedikit amarah bercampur dengan rasa penasaran. Dia adalah pemain terbaik di klub Shogi, tetapi sekarang ada seseorang yang bahkan tidak dianggap layak untuk melawan orang yang dimaksud Naruto? Itu adalah pukulan bagi harga dirinya.
Sayaka menyadari perubahan ekspresi Reina dan segera berusaha meredakan ketegangan. “Kalau begitu, bagaimana dengan pertanyaan yang lebih penting?” katanya, menatap Naruto penuh harap. “Apa artinya ini? Kau akan membantu kami, kan?”
Naruto menatap Sayaka, lalu melihat ke arah Reina dan dua anggota lainnya. Pandangannya kemudian kembali tertuju pada papan Shogi yang baru saja menjadi saksi pertarungan mereka.
Dia menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. “Baiklah,” katanya akhirnya. “Aku akan membantu klub ini masuk ke 16 besar.”
Sayaka menghela napas lega, sementara dua anggota lainnya menunjukkan ekspresi semangat. Tetapi Reina masih terdiam, matanya masih terpaku pada Naruto, seolah mencoba membaca pikirannya.
“Kau yakin?” tanya Reina, nada suaranya lebih tenang, tapi ada sedikit ketajaman di sana. “Ini bukan sesuatu yang bisa dilakukan dengan mudah. Kami sudah berusaha, tapi kami selalu gagal di babak awal. Apa kau benar-benar berpikir bisa membuat perbedaan?”
Naruto tersenyum, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam ekspresi itu. Bukan hanya percaya diri, tetapi juga keyakinan yang mendalam.
“Shogi bukan hanya soal kemenangan,” katanya pelan. “Tapi tentang bagaimana kau menyusun langkah-langkahmu, memahami lawanmu, dan mengendalikan permainan. Jika aku ada di sini, maka aku akan memastikan kalian tidak hanya bertahan… tapi juga menang.”
Reina terdiam. Kata-kata Naruto memiliki bobot yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Sayaka tersenyum dan menepuk bahu Reina. “Kurasa kita tidak punya alasan untuk menolak bantuannya, kan?”
Reina mendengus pelan, lalu akhirnya mengangguk, meski masih ada sedikit keengganan dalam ekspresinya. “Baiklah. Aku akan menilai sendiri apakah kau benar-benar bisa membuat perbedaan atau tidak.”
Naruto hanya tersenyum. Dia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Tetapi satu hal yang pasti—dia sudah mengambil langkah pertama menuju sesuatu yang lebih besar.
Seminggu telah berlalu sejak Naruto mengambil alih pelatihan di klub Shogi. Dalam waktu sesingkat itu, suasana klub berubah drastis. Jika sebelumnya klub ini lebih banyak menghabiskan waktu dengan pertandingan santai atau sekadar mengulang strategi lama, kini mereka hampir tidak punya waktu untuk bernapas.
Naruto tidak main-main ketika mengatakan akan membantu mereka mencapai 16 besar. Dia mengatur ulang jadwal latihan mereka, menyusun strategi baru, dan memaksa mereka berpikir di luar kebiasaan. Tidak ada lagi pertandingan hanya untuk bersenang-senang. Setiap langkah mereka harus diperhitungkan, setiap gerakan harus memiliki tujuan. Jika mereka melakukan kesalahan, mereka akan ditegur dan dipaksa untuk menganalisis apa yang salah.
Reina, yang awalnya paling percaya diri, kini mulai merasakan tekanan luar biasa. Berkali-kali dia harus menghadapi Naruto di papan Shogi, dan berkali-kali pula dia kalah telak dalam waktu singkat. Ketiga anggota lainnya, termasuk Sayaka, juga mengalami hal yang sama. Mereka bahkan mulai mempertanyakan apakah benar mereka adalah bagian dari klub Shogi atau hanya boneka percobaan bagi seseorang yang tampaknya lebih memahami permainan ini daripada mereka sendiri.
Pada hari ketujuh, suasana klub tampak lebih suram dari biasanya. Empat anggota duduk dengan wajah lelah di depan papan Shogi mereka masing-masing. Mata mereka kosong, seolah kehilangan harapan. Mereka sudah berusaha sekuat tenaga, tetapi setiap kali mereka berpikir telah memahami sesuatu, Naruto datang dengan strategi baru yang membuat mereka kewalahan.
Sayaka mengeluh sambil menjatuhkan kepalanya di atas meja. “Aku… aku merasa seperti otakku akan meleleh…”
Reina menatap papan di depannya dengan frustrasi. “Aku tidak mengerti. Setiap kali aku berpikir sudah menemukan pola permainan yang sempurna, dia membantahnya dengan langkah yang lebih baik.”
Dua anggota lainnya mengangguk setuju.
Melihat keadaan mereka, Naruto hanya tersenyum santai sambil melipat kedua tangannya. “Kalian sudah mulai menunjukkan peningkatan,” katanya, meski nadanya terdengar lebih seperti ejekan di telinga mereka.
Reina mengangkat wajahnya dengan kesal. “Peningkatan apanya?! Kami masih kalah, berkali-kali!”
Naruto tertawa kecil. “Tapi kalian mulai mengerti bagaimana berpikir cepat, kan? Kalian tidak hanya mengandalkan pola yang sudah ada, tapi mencoba menganalisis dan beradaptasi. Itu yang penting dalam pertandingan.”
Sayaka mendesah dan menatap Naruto dengan lelah. “Kalau kami terus berlatih seperti ini, aku takut kami tidak akan sampai ke babak 16 besar karena sudah kehilangan akal sehat lebih dulu.”
Naruto menghela napas panjang, lalu bersandar pada kursinya. “Baiklah, baiklah. Aku akan memberi kalian sedikit istirahat.”
Keempat anggota klub langsung menegakkan tubuh mereka, mata mereka bersinar penuh harapan.
Naruto melanjutkan, “Kalian akan mendapat libur selama dua hari.”
Reina mengernyit. “Kenapa?”
Naruto menyilangkan tangannya dan menatap mereka dengan serius. “Karena dua hari ke depan kita akan ada kegiatan study tour. Aku tidak ingin kalian kehilangan fokus karena terlalu kelelahan sebelum hari itu.”
Suasana di ruangan menjadi lebih ringan seketika.
Sayaka tersenyum lega. “Akhirnya, waktu istirahat…”
Salah satu anggota lain menambahkan, “Aku hampir berpikir dia tidak tahu apa arti kata ‘libur’…”
Naruto hanya tersenyum kecil. Dia tahu betapa kerasnya pelatihan yang dia berikan, tetapi itu semua demi tujuan mereka. Dua hari ke depan akan menjadi kesempatan bagi mereka untuk mengistirahatkan pikiran mereka sejenak, sebelum kembali ke papan Shogi dengan semangat yang lebih kuat.
Namun, dalam hati, Naruto tahu bahwa ini hanyalah permulaan. Study tour mungkin akan menjadi kesempatan untuk mereka beristirahat, tetapi bagi dirinya sendiri, itu akan menjadi waktu untuk berpikir lebih jauh tentang bagaimana membawa klub ini ke level berikutnya.