Ini kisah Riana , gadis muda yang memiliki kekasih bernama Nathan . Dan mereka sudah menjalin hubungan cukup lama , dan ingin melangkah ke jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan .
Namun kejadian tak terduga pun terjadi , Riana memelihat Nathan sedang bermesraan dengan teman masa kecilnya sendiri. Riana yang marah pun memutuskan untuk pergi ke salah satu klub yang ada di kotanya .Naasnya ada salah satu pengunjung yang tertarik hanya dengan melihat Riana dan memberikannya obat perangsang dalam minumannya .
Dan Riana yang tidak tahu apa-apa pun meminum minuman itu dan membuatnya hilang kendali atas tubuhnya. Dan saat laki - laki tadi yang memasukan obat akan beraksi , tiba-tiba ada seorang pria dewasa yang menolongnya. Namun sayangnya obat yang di kasi memiliki dosis yang tinggi sehingga harus membuat Riana dan laki - laki yang menolongnya itu terkena imbasnya .
Dan saat sudah sadar , betapa terkejutnya Riana saat tahu kalau laki-laki yang menidurinya adalah calon ayah mertuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rodiah Karpiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tujuh
Bagaskara berdiri tegap di ambang pintu dengan tatapan tajam yang langsung membekukan suasana. Nathan, yang biasanya penuh percaya diri dan arogan, mendadak terdiam begitu melihat pria yang telah mengangkatnya sebagai anak itu menatapnya dengan ekspresi dingin. Rania juga membeku di tempatnya, tubuhnya sedikit gemetar, bukan hanya karena ketegangan antara dirinya dan Nathan, tetapi juga karena kehadiran Bagaskara yang tiba-tiba.
Rania menelan ludah, otaknya bekerja cepat, mencoba mencari cara untuk keluar dari situasi ini tanpa semakin memperumit keadaan. Namun, sebelum ia bisa berkata apa-apa, suara dalam dan berwibawa milik Bagaskara terdengar memenuhi ruangan.
"Apa yang sedang terjadi di sini?" Ucap Bagaskara sambil memandang dua orang uang berbeda jenis kelamin , berada di dalam satu ruangan yang sama.
Nada suaranya datar, tetapi cukup untuk membuat dada Rania berdebar keras. Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuat siapa pun tak berani main-main. Nathan, yang biasanya tak pernah takut pada siapa pun, terlihat sedikit gugup sebelum akhirnya mencoba menguasai situasi.
"Tidak ada apa-apa, Dad," ucap Nathan, berusaha terdengar santai meski nada suaranya sedikit goyah. "Aku hanya sedang berbicara dengan Rania tentang hubungan kami." Ucap Nathan sambil menatap Rania untuk mengikuti apa yang ia katakan pada sang ayah .
Bagaskara menatap Nathan dalam-dalam, lalu mengalihkan pandangannya ke Rania, yang masih berdiri kaku di tempatnya. Mata pria itu menyiratkan sesuatu yang sulit diartikan—antara marah, ingin tahu, atau bahkan… khawatir pada dirinya?
"Benarkah begitu, Rania?" tanya Bagaskara, yang kali ini suaranya lebih lembut tetapi tetap penuh tekanan.
Rania menggigit bibirnya, tahu bahwa ia tak bisa berbohong, tetapi juga tak ingin memicu kemarahan Nathan lebih jauh. Akhirnya, ia menarik napas dalam-dalam dan berkata dengan suara yang sedikit bergetar, "Ya, Pak… Nathan dan saya baru saja menyelesaikan sesuatu yang belum tuntas." Ucap Rania yang mau tidak mau mengikuti apa yang di rencanakan Nathan.
Bagaskara tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya lama, seakan sedang mencoba membaca pikirannya. Rania bisa merasakan tatapan dingin pria itu, mengingatkan dirinya pada kejadian—kejadian yang pernah terjadi di antara mereka satu bulan yang lalu.
Sementara itu, Nathan tampak sedikit lega karena Rania tidak mengadu langsung pada Bagaskara. Ia menyeringai kecil dan mendekat ke arah Rania, berusaha menunjukkan dominasinya lagi.
"Lihat kan, Dad? Ini hanya masalah kecil. Rania cuma sedang emosi karena sesuatu yang tidak seharusnya ia besar-besarkan." Ucap Nathan sambil mencoba merangkul Rania. Namun , wanita itu menghempasan rangkulannya begitu saja .
Nathan yang menerima perlakuan seperti itu dari Rania pun buru-buru menjelaskannya pada sang ayah . Namun, sebelum Nathan bisa berkata lebih banyak, Bagaskara mengangkat satu tangan, menghentikannya. "Cukup, Nathan," katanya dengan nada yang cukup untuk membuat pria yang lebih muda itu terdiam.
Bagaskara berjalan perlahan ke dalam ruangan, menutup pintu di belakangnya sebelum akhirnya berdiri tepat di antara Nathan dan Rania. Suasana semakin tegang, dan Rania bisa merasakan napasnya semakin berat.
"Nathan," Bagaskara akhirnya berbicara lagi, "aku tidak peduli apa pun yang terjadi antara kau dan Rania di luar pekerjaan, tetapi di dalam kantor, aku tidak ingin ada drama pribadi yang mengganggu produktivitas pekerjaan." Ucap Bagaskara dengan tajam pada anaknya itu.
Nathan tampak tidak senang dengan teguran halus itu, tetapi ia tetap mengangguk. "Aku mengerti, Dad," ucapnya, meski jelas nada suaranya menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya setuju dengan apa yang dibicarakan oleh ayahnya.
Bagaskara kemudian berbalik ke arah Rania. Mata mereka bertemu, dan dalam sepersekian detik itu, ada sesuatu yang mengalir di antara mereka—sebuah rahasia yang hanya mereka berdua yang tahu.
"Rania, kau boleh kembali bekerja. Aku akan berbicara dengan Nathan secara pribadi," katanya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya.
Rania sedikit ragu. Ia tidak yakin apakah meninggalkan ruangan dalam kondisi seperti ini adalah keputusan yang tepat, tetapi ia juga tidak ingin berada di antara pertikaian ayah dan anak angkat ini. Dengan menganggukkan kepala, Rania pun berkata, "Baik, Pak." ucapnya sambil menundukkan pandangannya.
Tanpa melihat ke arah Nathan lagi, Rania membalikkan badan dan berjalan keluar dari ruangan. Namun, sebelum ia benar-benar pergi, ia bisa merasakan tatapan Bagaskara masih tertuju padanya, seakan pria itu sedang memastikan bahwa ia baik-baik saja.
Begitu pintu tertutup di belakangnya, Rania akhirnya bisa menghela napas panjang. Dadanya terasa sesak, pikirannya kacau.
Bagaimana bisa hidupnya berubah secepat ini?
Ia tidak hanya harus berurusan dengan Nathan yang egois dan manipulatif, tetapi juga dengan Bagaskara—pria yang pernah menyentuhnya dengan cara yang seharusnya tidak pernah terjadi.
Kini Rania bersandar di dinding koridor, menenangkan detak jantungnya yang masih berdegup kencang. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, berusaha menahan emosi yang meluap-luap di dalam dada. Ia menutup mata sesaat, menghirup udara dalam-dalam, mencoba menjernihkan pikirannya yang semakin kacau.
Bagaimana mungkin ia bisa terjebak dalam situasi serumit ini?
Nathan dengan segala arogansinya masih berusaha mengendalikan dirinya, memaksanya mengikuti permainan yang ia ciptakan, seolah Rania hanyalah pion dalam catur hidupnya. Dan sekarang, Bagaskara—pria yang seharusnya berada di pihak yang netral—justru hadir di tengah pusaran masalah ini, membawa serta bayangan-bayangan masa lalu yang ingin Rania lupakan.
Rania membuka matanya dan melirik ke arah pintu yang kini tertutup rapat. Di dalam sana, Bagaskara dan Nathan pasti tengah berbicara, atau mungkin bertengkar.
Ia tahu persis bagaimana cara Bagaskara menghadapi sesuatu yang tidak ia sukai—tenang, tajam, dan mematikan. Bagaskara tidak pernah berbicara dengan nada tinggi, tetapi ketegasan dan sorot matanya cukup untuk membuat lawan bicara tersudut.
Namun, apa yang sedang mereka bicarakan?
Apakah Bagaskara akan menegur Nathan karena sikap kasarnya terhadapnya? Atau justru Bagaskara akan membela Nathan seperti seorang ayah yang ingin melindungi anaknya?
Pikiran itu membuat dada Rania semakin sesak.
Ia menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir semua kemungkinan buruk yang berkelebat di benaknya. Ia harus fokus. Ia tidak boleh membiarkan dirinya terperangkap lebih dalam dalam permainan ini.
Dengan langkah cepat, Rania memutuskan untuk pergi ke pantry, mencari segelas air untuk menenangkan dirinya. Saat ia berjalan melewati beberapa karyawan yang tengah sibuk dengan pekerjaan masing-masing, ia bisa merasakan beberapa pasang mata melirik ke arahnya.
Gosip pasti sudah mulai menyebar.
Semua orang di kantor tahu bahwa ia memiliki hubungan dengan Nathan—setidaknya itulah yang selalu ditunjukkan Nathan di hadapan publik. Mereka juga pasti melihat bagaimana Nathan selalu memperlakukannya seolah-olah ia adalah properti miliknya.
Rania meremas gelas plastik di tangannya sebelum akhirnya meneguk air dengan cepat. Ia harus keluar dari kekacauan ini. Ia tidak bisa terus-menerus berada di bawah bayang-bayang Nathan.
Namun, bagaimana caranya?
Nathan bukan tipe pria yang bisa dengan mudah ditinggalkan. Ia punya kuasa, uang, dan yang lebih buruk lagi—obsesi pada dirinya.
Saat Rania masih tenggelam dalam pikirannya, sebuah suara lembut namun tegas menyadarkannya dari apa yang ia pikirkan.
"Apa kau baik-baik saja?" Ucap seseorang dari belakang yang mampu membuat Rania terkejut mendengarnya.
Rania menoleh cepat, dan jantungnya kembali berdetak lebih cepat saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya.
Bagaskara.
Pria itu berdiri dengan postur tegapnya, mengenakan jas hitam yang selalu terlihat rapi. Matanya yang tajam mengunci pandangan Rania, membuatnya sulit untuk berpaling.
Untuk sesaat, Rania tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya bisa menatap pria itu dengan perasaan yang bercampur aduk.
"Saya…" ucap Rania menggigit bibirnya, mencari kata yang tepat. "Saya baik-baik saja, Pak." Ucap Rania sambil mencoba tersenyum di depan bos-nya itu
Bagaskara tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan. Seakan-akan ia sedang menilai apakah kata-kata Rania itu benar adanya atau hanya kebohongan belaka.
"Nathan tidak menyulitkanmu, bukan?" tanyanya lagi, suaranya terdengar lebih lembut kali ini.
Rania tahu ini adalah pertanyaan jebakan. Jika ia menjawab ‘tidak’, Bagaskara pasti tahu bahwa ia berbohong. Jika ia menjawab ‘iya’, itu hanya akan memicu masalah lebih besar.
Setelah beberapa detik berpikir, Rania akhirnya berkata, "Nathan memang sedikit… sulit dihadapi, tapi saya bisa mengatasinya, Pak." Ucap Rania pada akhirnya , ia tidak ingin Bagaskara masuk ke dalam kehidupannya kembali.
Bagaskara menghela napas pelan, tetapi matanya tetap tajam meneliti wajahnya.
"Jika ia melakukan sesuatu yang melewati batas, katakan padaku." Ucap Bagaskara lagi , ia tidak bisa membiarkan wanita yang sudah menghabiskan malam dengannya ini terluka , meskipun kejadian itu tidak di sengaja.
Pernyataan itu terdengar sederhana, tetapi ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Rania merinding dibuatnya.
Rania menelan ludah. Ia tidak ingin memikirkan kemungkinan kedua. Ia tidak ingin membiarkan pikirannya melayang ke arah yang seharusnya tidak ia pikirkan.
"Terima kasih, Pak. Tapi saya bisa mengurusnya sendiri." Ucap Rania lagi sambil tersenyum formalitas.
Bagaskara tidak segera menjawab. Ia hanya menatapnya selama beberapa detik lagi sebelum akhirnya mengangguk.
"Baiklah. Tapi ingat, saya tidak akan tinggal diam jika sesuatu terjadi padamu." Ucap Bagaskara sebelum pergi meninggalkan Rania sendiri.
Rania tertegun mendengar hal itu . Ia tidak tahu bagaimana harus bagaimana menanggapi perkataan Bagaskara.
Namun belum sempat ia bisa menjawab perkataan Bagaskara , laki-laki itu sudah berbalik dan berjalan pergi, meninggalkannya dengan jutaan pertanyaan yang menggantung di benaknya.
.
.
Bersambung...
Dimohon untuk tidak menjadi silent reader ya , aku menunggu keritik dan saran dari kalian 🤭🤗😍