Cerita ini berlatar 10 tahun setelah kejadian di Desa Soca (Diharapkan untuk membaca season sebelumnya agar lebih paham atas apa yang sedang terjadi. Tetapi jika ingin membaca versi ini terlebih dahulu dipersilahkan dan temukan sendiri seluruh kejanggalan yang ada disetiap cerita).
Sebuah kereta malam mengalami kerusakan hingga membuatnya harus terhenti di tengah hutan pada dini hari. Pemberangkatan pun menjadi sedikit tertunda dan membuat seluruh penumpang kesal dan menyalahkan sang masinis karena tidak mengecek seluruh mesin kereta terlebih dahulu. Hanya itu? Tidak. Sayangnya, mereka berhenti di sebuah hutan yang masih satu daerah dengan Desa Soca yang membuat seluruh "Cahaya Mata" lebih banyak tersedia hingga membuat seluruh zombie menjadi lebih brutal dari sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Foerza17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertarungan Jarak Dekat
Satu demi satu peluru panas ku tembakkan ke tubuh zombie-zombie itu. Suara dentuman pistol menggema ke penjuru hutan. Geraman zombie yang semakin bernafsu untuk merebut bola mata kami semakin bergemuruh tak terkendali. Suara sayatan cangkul yang menebas tubuh daging juga tak kalah mendominasi.
"Aduh sepertinya punggungku bakalan encok ini nanti," sungut Amin sembari memegangi pinggangnya.
"Tenang saja, Min. Saat kita sudah diselamatkan nanti, kau bisa minta urut sama mbak-mbak perawatnya," sahut Darto sembari masih sibuk menebas kepala zombie yang menyerangnya.
"Wah iya juga. Yasudah kalau begitu, 100 mayat hidup pun akan ku hajar demi diurut oleh mbak-mbak perawat yang cantik," ucap Amin sembari kembali memanggul cangkul di pundaknya. Shima hanya menatap sinis tingkah laku mereka berdua.
"Yah kau mungkin bukan hanya akan diurut oleh perawat cantik, tetapi pantatmu itu juga akan diberikan suntikan anestesi," ucapku sembari terkekeh.
"Apa katamu? Mana ada cuma sakit pinggang sampai harus diberikan suntikan anestesi sialan?!" gertak Amin merasa tidak senang. Kami semua pun tertawa lepas disela pertarungan ini.
"Hahaha benar, benar! Mungkin saja juga Pak Amin...," sebelum sempat Hadi menyelesaikan ucapannya, Amin langsung menatap tajam kearah Hadi dan terlihat sedang mengintimidasinya. Hadi pun nampak panik karena tatapan Amin yang seakan ingin membunuh Hadi. Hadi pun langsung terduduk kikuk di atas rumput.
Kami bertarung setidaknya 20 menit dan belum ada tanda-tanda helikopter atau apapun itu dari tim penyelamat. Selongsong peluru berdenting berjatuhan diatas tanah yang kering. Laras pistol mengeluarkan asap samar yang mengepul ke udara. Berulang kali aku mengganti magasin yang habis dengan yang baru, berulang kali juga membuang magasin yang kosong ke atas tanah yang berbatu.
"Cih seharusnya aku membawa amunisi yang cukup banyak tadi," decakku sembari menarik slide pistolku.
"Sial! Para zombie ini seperti tidak ada habisnya!" seru Amin dengan napas tersengal. Ayunan cangkulnya juga terlihat lebih pelan dari sebelumnya.
"Bagaimana ini, Pak? Aku sudah gak kuat lagi!" desah Shima sembari menekuk lututnya. Dia tampak kewalahan.
"Sebentar lagi!" ucapku sembari masih fokus menembaki zombie yang terus berdatangan. Walaupun ucapanku hanyalah sebagai kata-kata penenang saja tidak lebih.
"Bagaimana ini? Jika terus-terusan seperti ini, teman-temanku bisa kewalahan menghadapi zombie yang seperti tidak ada habisnya ini?" batinku sembari mengawasi sekeliling.
"Apa kami harus kabur saja? Tapi celah untuk melarikan diri cukup sempit jika dilihat dari setiap kemunculan zombie yang selalu muncul dari berbagai arah," aku kembali memutar otak untuk tidak terus terpaku pada area ini.
Kedatangan tim penyelamat juga masih belum bisa dipastikan waktu pastinya kapan. Teman-temanku semakin kewalahan dan juga semakin lelah. Amunisiku menipis. Sungguh kondisi yang tidak menguntungkan. Hingga pada akhirnya peluru terakhir sudah kulesatkan. Aku seketika mengumpat dan melemparkan pistolku kearah mereka.
"A-apa yang kau lakukan? Kenapa kau membuang pistolmu itu?!" teriak Hadi dengan suara bergetar. Dia nampak sangat ketakutan saat ini.
"Peluruku habis. Sudah tak ada gunanya terus menyimpan benda itu di sakuku," jawabku sembari mundur perlahan.
"Habis? Terus apa yang harus kita lakukan saat ini?" ucap Hadi semakin panik. Dia kemudian langsung mendekat kearah Shima dan langsung memegang kedua pundaknya untuk bersembunyi di belakangnya. Shima nampak menggeliat tak nyaman atas tingkah Hadi.
Aku terus berpikir keras. Aku sesekali berdecak sebab seluruh rencana yang ada di pikiranku selalu kurang cocok jika harus dilakukan. Aku menatap tajam zombie-zombie itu satu persatu. Aku menghela napas panjang untuk merilekskan tubuhku agar aku bisa berpikir jernih.
"Sepertinya aku yang harus turun tangan," tiba-tiba Amin berjalan dengan santainya sembari menenteng cangkulnya dengan sangat percaya diri.
"A-apa yang kau lakukan?" tanya Hadi.
"Gerilya lah? Apalagi? Kau pikir aku mau mengorbankan nyawaku cuma buat kalian semua? Cuih enak saja!" jawab Amin dengan gaya bicaranya yang selalu sombong.
"Aduh bikin repot saja. Ya sudah aku akan membantumu dari belakang," sahut Darto mengikuti langkah Amin.
"Benar juga. Mungkin cara itu bisa berhasil," gumamku melihat tingkah mereka berdua.
"Kesalahan terbesarku waktu itu adalah membiarkan teman-temanku bertingkah sok pahlawan dengan hanya membiarkan mereka berkorban untukku. Tetapi sekarang, tidak lagi," ucapku dingin sembari mengeluarkan sebuah pisau yang berada di tas ranselku.
Pisau yang biasa digunakan untuk bertahan hidup di hutan atau dimana pun. Sangat tajam dan sangat kokoh. Bahkan jika kau telaten, dia bisa digunakan untuk memotong sebuah dahan pohon saking kuat dan tajamnya. Ukurannya hanya setengah hasta orang dewasa, tetapi sangat cocok di tanganku.
Aku langsung mengeluarkan pisau itu yang masih tersimpan rapi di dalam sarungnya. Aku menariknya perlahan tapi pasti. Cahaya rembulan yang menerpa ujungnya membuatnya tampak berkilau. Pisau yang selalu aku asah bersamaan dengan kemampuanku. Seakan dia tumbuh bersamaku
Angin dingin kembali menggoyangkan rambut ikalku. Aku menatap tajam ke sekeliling. Mengabsen mereka satu persatu. Aku sudah tahu akan menyerang darimana. Aku kemudian memasang kuda-kudaku. Dengan posisi tangan kananku yang memegang pisau selaras dengan pinggangku, dan tangan kiri yang menggantung bebas di depan dadaku. Aku menghela napas panjang dan memantabkan hatiku.
"Waktunya pembunuhan!"
"Gragghhh!!"
Zombie mulai menyerang dari berbagai arah. Serangannya tidak teratur. Sangat mudah menghindari mereka. Dua orang zombie terlihat mencoba untuk menangkapku dari belakang. Sisi kanan dan kiri. Menyerang melalui sisi buta. Aku melirik sekejap, dan dengan refleks langsung membungkuk agar mereka salah perhitungan dan kehilangan keseimbangan. Mereka terlihat hanya berlalu saja dan tidak sampai tersungkur ke tanah.
"Belum juga jatuh ya?" gumamku dingin. Perkiraanku keliru.
Aku menepuk punggung mereka yang penuh luka goresan nan menjijikan itu untuk mengganggu keseimbangan mereka yang terlihat oleng. Dan benar saja, mereka langsung tersungkur di depan kakiku.
Saat mereka belum sempat bangkit, aku langsung menyayat masing-masing tengkuknya dengan cepat agar mereka segera mati. Suara geraman yang memilukan langsung terdengar dari mulut mereka berdua.Tubuhnya menegang. Kemudian meregang nyawa.
"Menyedihkan," aku menatap mereka dengan tanpa rasa iba di mataku. Mereka terlihat seperti hewan yang liar yang hanya terobsesi oleh mangsanya dan menyerang tanpa melihat kemampuan siapa yang di lawannya.
Aku berpaling dan kembali memasang kuda-kudaku untuk menghadapi siapa yang menyerang selanjutnya. 3 orang zombie berlari kearahku. Aku menarik napas dan berusaha untuk melihat celah diantara mereka. Sepertinya sudah ketemu.
"Zombie sebelah kanan terlihat berbahaya. Harus ditumbangkan terlebih dahulu," aku menganalisa ketiga zombie itu satu persatu.
Zombie pertama berusaha mencakarku tetapi aku berhasil menghindar dengan memutar cepat tubuhku. Zombie kedua terlihat ingin menangkapku dengan kedua tangannya, tetapi aku kembali berhasil merendahkan tubuhku dan melewatinya begitu saja. Mereka berdua bisa diatasi nanti. Karena zombie ketiga-lah yang menjadi sasaranku untuk saat ini. Dia terlihat lebih sehat dari temannya di depan.
Dia langsung melompat dan mencoba untuk menendangku dengan kaki kanannya. Aku berhasil menyelinap di belakangnya dan berhasil memeluk pinggangnya. Bau busuk langsung menusuk hidungku. Aku mengernyitkan dahiku tak nyaman dan merasa menyesal ingin melancarkan serangan ini.
Aku langsung membantingnya kebelakang dan dia mendarat tepat di kepalanya. Kepalanya langsung hancur sesaat setelah mendarat diatas tanah yang keras. Aku langsung bangkit dan segera menghindar dari tempatnya terjatuh. Aku menyeka darah yang memuncrat sebab serangan itu dan meludah setelahnya.
"Hewan-hewan yang menjijikkan,"