Bagi Krittin, pernikahan ini bukanlah tentang cinta—melainkan tentang balas dendam. Bertahun-tahun ia menyimpan kebencian mendalam terhadap keluarga Velora, yang dianggapnya telah menghancurkan keluarganya dan merampas segalanya darinya. Kini, dengan perjodohan yang dipaksakan demi kepentingan bisnis, Krittin melihat ini sebagai kesempatan emas untuk membalas semua rasa sakitnya.
Velora, di sisi lain, tidak pernah memahami mengapa Krittin selalu dingin dan penuh kebencian terhadapnya. Ia menerima pernikahan ini dengan harapan bisa membawa kedamaian bagi keluarganya, tetapi yang ia dapatkan hanyalah suami yang memandangnya sebagai musuh.
Ruang hati sang kekasih adalah kisah tentang pengkhianatan, luka masa lalu, dan perjuangan antara kebencian dan cinta yang tak terelakkan.
bagaimana kisah mereka? yuk kepoin kelanjutan nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yarasary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
" Katakan padaku, apa yang harus aku lakukan? "
Isakan mulai terdengar, semakin jelas ketika Krittin menghidupkan loudspeaker dan meletakkan nya di depan wajah. Velora kembali menangis, wanita itu seolah tak lelah melakukan itu padahal tak sampai satu jam wajah nya kering, tapi sekarang basah lagi karena air mata yang tak bisa ia bendung.
" Aku tidak mengerti. tapi ini sangat menyiksaku. Aku lelah berpikir bagaimana kedepannya. semua orang semakin melangkah maju, hidup ku juga terus berjalan, tapi... Tapi tidak ada yang berkembang. "
Velora meremat selimut di bawahnya, berharap bisa mengurangi keras nya isak tangis namun hal itu seperti nya tak berarti apa-apa.
Tangan Krittin terangkat menyentuh dada nya yang terasa sesak, suara tangis Velora terdengar memilukan dan menyayat hati. Dia pikir Velora akan lebih baik jika tak bersama nya, yang Krittin tahu Velora adalah wanita baik dan menyenangkan yang pasti akan banyak orang berupaya mendekati dan berkeinginan memiliki. Tapi Krittin salah, dia melupakan perasaan mendalam yang di miliki istrinya. Velora tetap lah Velora, dia sudah tidak bisa keluar dari cengkraman perasaan nya sendiri yang menempatkan Krittin pada pusat dunia terdalam dalam hatinya. Tempat di mana tidak ada yang bisa tergantikan oleh siapa pun sampai sejauh ini.
" Vel...? " Suara Krittin terdengar setelah helaan nafas Velora mulai teratur di seberang sana.
Kelelahan menangis dan rasa sakit di tubuh membuat Velora terlelap tanpa memikirkan panggilan yang belum terputus. Meski matanya terasa berat, dan tubuhnya tak bergerak. Velora masih mampu mendengar suara seseorang yang memanggil nama nya, hingga tak menunggu lama kesadaran wanita itu kembali pulih namun hanya kesunyian yang ia dapati.
Lagi-lagi Velora merasa kecewa karena berharap apa yang di dengar nya adalah kenyataan. Ingin memutus panggilan itu tetapi sesuatu dalam diri nya menolak karena mungkin hanya dalam sambungan ini saja ia akan terhubung dengan orang tercinta nya.
" Velora! "
Tapi suara itu kembali memekakkan telinga Velora, seluruh tubuh nya lemas karena bahagia sebab Krittin benar-benar memanggil namanya dengan begitu akrab dan lembut. Untuk saat ini Velora sudah cukup merasakan rindunya terobati, meski ia tak dapat melihat wajah tampan yang begitu ia puja, satu panggilan saja sangat mewakili jika Krittin masih memiliki kepedulian terhadap dirinya.
" Berhenti lah menangis. "
Hati Velora terenyuh ngilu, tapi tak memiliki keinginan untuk bersuara dan membiarkan pria di sana menganggap nya tertidur tak mendengarkan.
" Tolong jangan menangis lagi Vel. "
Krittin menggigit bibir bawah nya, berusaha menahan dobrakan dalam dada yang ingin mengutarakan seluruh keluh kesah nya pada seseorang yang berani mengambil hati Krittin sampai tak menyisakan orang lain untuk menggantikan nya. Tapi pikir krittin, mungkin ini bukan waktu yang tepat, velora sudah tidur dan akan sia-sia jika ia berbicara panjang saat ini.
" Aku merindukan mu! " Lirih krittin, memutus panggilan nya, dan melemparkan diri ke atas kasur.
Kalimat penutup yang terdengar begitu manis membuat velora tak dapat menahan air mata nya lagi. Kali ini bukan karena rasa sakit atau yang lain, tetapi perasaan bahagia sebab mengetahui jika orang yang di cintai nya juga merasakan hal yang sama. Meski velora tidak yakin krittin benar-benar tulus, tapi untuk orang yang berharap bisa di cintai kembali, pasti akan berpikir jika kalimat penenang yang krittin lontarkan begitu nyata.
" Aku lebih merindukan mu, sangat amat merindukan mu Tin." Ungkapan velora beriringan dengan senyum merekah indah menghiasi wajah pucat nya. Perlahan memejam dan mulai memasuki alam mimpi dengan harapan esok pagi akan datang terlambat karena tak ingin malam yang begitu membahagiakan berlalu dengan cepat.
.
.
******
Penthouse.
Aroma masakan begitu harum terdengar hingga lantai atas. hanian terganggu, menekan perut nya yang terasa perih, sambil mengingat kenapa ini terjadi. Dia melupakan jika semalam tak sempat makan, menunggu krittin untuk kembali pulang membuat Hanian tak memiliki selera mengisi perut nya meski kala itu di rasa sangat lapar.
Dengan langkah tergesa-gesa, Hanian membuka pintu kamar, melangkah turun dengan senyuman cerah. Namun detik berikut nya, senyuman itu luntur saat memandang seseorang di sana ternyata bukan kakak nya.
Arsenal berbalik, meletakkan dua piring nasi goreng di atas meja. Melempar senyum simpul saat mendapati Hanian yang sudah berdiri di sana, menatap ke arah nya.
" Pagi. " Sapa Arsenal, berbalik untuk meraih peralatan makan sebelum menarik kursi tempat ia duduk.
" Pagi Dokter. " Hanian berjalan lesu sebelum menghenyak kan diri di salah satu kursi samping Arsenal.
" Makanlah. "
" Terima kasih. " Tangan Hanian meraih sendok yang Arsenal berikan, mulai memasukkan sesuap nasi ke dalam mulut meski sebenarnya ia tak minat. Bukan karena masakan ini buatan Arsenal, tetapi pikiran Hanian yang tak bisa fokus pada apa pun selain kakak nya.
" Bagaimana? Apa rasanya cocok di lidah mu? "
Hanian mengulas senyum manis, " Enak. dokter hebat bukan cuma di bidang medis, tapi seperti nya di segala bidang. "
" Cuma masak nasi goreng, siapa pun bisa. "
Keduanya fokus menghabiskan sarapan, sampai suara ketukan langkah kaki mengalihkan pandangan mereka. Hanian segera bangkit, memutari meja dan melangkah ke ruang tengah untuk melihat siapa yang datang.
" Kak... "
Krittin berbalik, kembali melanjutkan langkah nya ke kamar mengabaikan Hanian yang masih menunggu di lantai bawah. Sepuluh menit berlalu, Krittin keluar dengan pakaian lebih rapi, jaz hitam melekat mencetak tubuh indahnya.
Hanian menghadang tepat di anak tangga paling bawah, " Kakak sudah mau berangkat? "
" Hmm. Lanjutkan saja sarapan mu dan jangan lupa minum obat. " Krittin mengusap lembut surai legam adik nya, tersenyum meski hal itu tak berlangsung lama.
Mengambil alih tangan yang masih mengambang di kepala, Hanian menggenggam tangan kekar itu erat seolah jika sampai terlepas ia akan kesulitan lagi menggapai nya, " Kak, maafkan aku. "
" Aku sadar aku salah, aku yang memaksa paman kyler. Sejak awal paman kyler sudah memperingati ku, tapi aku tidak mau mendengar kan nya. Aku yang egois, kakak pantas menghukum ku, tolong hukum saja aku kak, tapi jangan mendiami ku seperti ini. "
" Kamu serius mau menanggung hukuman? "
" Iya, asal kakak bisa memaafkan ku. " Hanian menatap penuh harap.
" Kamu di larang keluar selama sebulan, apa sungguh tak apa dengan itu? "
Dengan antusias Hanian mengangguk kan kepala, tersenyum dengan mata berkaca-kaca, dan mengiyakan pertanyaan krittin, "aku janji tak akan melanggar perintah kakak. Jadi, kak Tin sudah memaafkan ku sekarang? "
" Belum! "
" Kak... "
" Beri aku pelukan dulu. " Sela Krittin, melebarkan senyum sambil mengusap punggung Hanian yang kembali bergetar dalam pelukan nya.
" Dokter Arsenal akan menjagamu hari ini. Ada banyak pekerjaan di kantor, dan mungkin aku akan pulang terlambat nanti malam. Jadi tidak perlu menunggu ku. "
" Kakak tidak pulang bukan karena masih marah kan? " Hanian masih belum percaya seratus persen jika Krittin memaafkan nya, bayangan wajah murka pria itu masih terekam jelas di ingatan Hanian, dan itu cukup membuatnya ketakutan.
" Tidak. Berhenti lah menangis, kamu bisa sakit nanti. " Krittin berpaling pada Arsenal, seolah mengerti dengan tatapan mata tajam itu, dengan langkah ringan Arsenal mendekat lalu berdiri tepat di belakang tubuh Hanian.
" Jaga kan dia, aku berangkat dulu. " Pamit Krittin, Menepuk pundak Arsenal pelan setelah menunduk kan kepala untuk mengecup kening gadis kecil yang seukuran lengan nya itu.
Hanian langsung berbalik mengikuti langkah Krittin, " Aku ingin mengantarkan kakak. " Ucap nya, ketika Krittin terhenti.
" Sebaiknya jangan memikirkan apa pun, kamu terlihat pucat Zizi."
Lalu bagaimana dengan kak Tin? apa kakak tidak bercermin dan melihat seberapa gelap nya kantung mata yang kak Tin alami.
" Paman tolong jagakan kak Tin untuk ku. " Ucap Hanian pada Jayden.
" Tentu saja nona, anda tidak perlu mengkhawatirkan tentang itu. "
" Terima kasih paman, hati-hati di jalan. Aku menyayangi mu kak Tin. "
Krittin tersenyum mendengar seruan suara lantang Hanian di belakang tubuhnya, melambai kan tangan sangat tinggi hingga mobil keluar dari halaman penthouse dan menghilang dari pandangan.