Dipaksa pulang karena suatu perintah yang tak dapat diganggu gugat.
ya itulah yang saat ini terjadi padaku.
seharusnya aku masih berada dipesantren, tempat aku belajar.
tapi telfon hari itu mengagetkanku
takbisa kuelak walaupun Abah kiyai juga sedikit berat mengizinkan.
namun memang telfon ayah yang mengatas namakan mbah kakung tak dapat dibantah.
Apalagi mbah kakung sendiri guru abah yai semakin tak dapat lagi aku tuk mengelak pulang.
----------------------------------
"entah apa masalahmu yang mengakibatkan akhirnya kita berdua disini. tapi aku berharap kau tak ada niat sekali pun untuk menghalangiku menggapai cita2ku" kataku tegas. takada sama sekali raut takut yang tampak diwajahku
masabodo dengan adab kali ini. tapi rasanya benar2 membuatku ingin melenyapkan seonggok manusia didepanku ini.
" hei nona, bukankah seharusnya anda tidak boleh meninggikan suara anda kepada saya. yang nota bene sekarang telah berhak atas anda" katanya tak mau kalah dengan raut wajah yang entah lah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsa Salsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22
BAB 22
( POV Dipta )
“Dip, sini “. Teriak salah satu crew memanggilku.
Jujur ini kali pertama aku menginjakkan kaki di bandara Internasional Juanda. Ternyata gak kalah sibuk sama bandara Soekarno- Hatta.Banyak sekali calon penumpang pun juga yang baru saja turun dari pesawat yang juga tak kalah banyak.
Aku berjalan mengikuti para crew yang sudah berkumpul di sekitar mobil travel. Mobil yang akan membawa kami ke tempat tujuan. Tempat kita akan melakukan shooting film terbaruku.
Film yang genrenya yang belum pernah sama sekali aku mainkan selama beberapa tahun karirku sebagai aktor. Tokoh yang menurutku begitu kompleks dengan latar belakang yang sangat bertolak belakang dengan kehidupan pribadiku.
Film yang diangkat dari novel best seler ini benar- benar bagus sih menurutku. Memadu padankan antara pemikiran jawa kuno yang klasik juga latar tempat dan juga suasana yang berbau kental dengan nuansa religi.
Sampai detik ini pun aku sebenarnya belum begitu yakin dengan pendalaman karakter yang telah kulakukan. Pun sebagus- bagusnya cerita di dalam novel itu sebenarnya tak begitu menarik untuk aku ambil perannya. Lebih kepada merasa kurang pantas saja diriku yang seperti ini malahan menjadi karakter yang luar biasa itu.
Mama adalah orang pertama yang setuju dengan projec ini. Padahal biasanya mama tak begitu peduli dengan apa yang aku kerjakan yang penting itu masih dibatas wajar. Pun papa yang satu pendapat dengan sang nyonya besar.
Mobil sudah meninggalkan perbatasan kota pahlawan. Pemandangan persawahan dengan latar belakan gunung yang indah menemani perjalanan kami kali ini. Aku tak tau pasti dimana letak tempat yang akan kami tuju.
Perjalanan satu jam lebih membawaku ke sebuah kota yang tiba- tiba mengingatkanku padanya. Senyum di wajah ini tak dapat kutahan. Hanya karena sebuah palang selamat datang. Tapi itu sudah sangat cukup bagiku mengembalikan tenaga selama perjalanan.
Sedikit terbesit harapan yang tiba- tiba membisiki pikiranku ‘apakah kita bisa berjumpa di tanah ini’. Akan kumulai panjatkan doa itu selama aku berada disini.
Mobil berhenti saat waktu magrib hampir habis. Jangan tanya apakah kami berhenti saat azan tadi berkumandang. Karena pasti jawabannya tidak kawan. Yah ini lah dunia luar itu. Mereka orang kota. Kalian pasti sudah tahu apa yang kumaksud tanpa harus kugambarkan terlalu gamblang.
Sudah lama sekali aku tidak mendatangi tempat seperti ini. Yah mungkin setahunan atau kurang entahlah. Terakhir kali saat aku bersama keluarga besar yang tentunya juga dengan mertuaku saat itu kami silaturahmi saat hari raya Idul Fitri. Tanpa dia tentunya.
Apa tempat dia belajar juga seperti ini. Atau malahan sangat berbeda. Aku tak tau tapi sebenarnya aku begitu penasaran. Kuta tak pernah berkomunikasi tentu saja. Sama sekali. Terakhir saat hati perpisahan itu.
Memang aku lah yang telah menangung semua kebutuhannya setahun terakhir ini tapi itu semua masih lewat ibu dan juga ayah yang sangat- sangat rutin bertukar kabar dengannya.
Aku tau. Semua itu memang telah kita sepakati. Ini adalah waktu yang kuberikan untuknya. Untuk menata hatinya. Pun juga aku manfaatkan untuk memperbaiki diriku ini. Karena tak mungkin seorang tuan putri harus mendapatkan upik abu tanpa sebuah perjuangan memantaskan diri bukan.
Kami disambut begitu ramah. Tuan rumah yang sama sekali tak memandang kita sebagai orang awam yang entah lah. Kalian bisa menyebutnya sendiri.
Tempat yang telah dipilih langsung oleh sang penulis novel sekaligus juga salah satu penulis skrip film ini.
Percakapan yang ringan di antara kami para tamu dan juga sang tuan rumah. Penataan tempat yang hampir sama dengan tempat di Pekalongan itu. Ya ruang tamu antara perempuan dan juga laki- laki terpisah. Apakah semua pesantren seperti itu.
Saat obrolan yang begitu mengalir terdengar samar rengekan balita dari balik pintu lipat panjang yang memisah tempat ini dengan ruang tamu putri. Terlihat siluet seorang wanita. Pintu yang sedikit terbuka membuatku tak sengaja melihat area khusus itu. Seorang wanita yang entah kenapa malahan membuatku sedikit gelisah saat ini.
Postur tubuh itu begitu tak asing. Jantungku tiba- tiba berdetak tak karuan.
kalo siang ada jadwal yang lebih penting.
makasih ya dukungannya🙏🙏🫶🫶