NovelToon NovelToon
Cinta Dalam Cengkeraman Mafia Kejam

Cinta Dalam Cengkeraman Mafia Kejam

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Nikah Kontrak
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Hayda Pardede

Dira Amara adalah seorang mahasiswi berusia 21 tahun yang penuh ambisi, cerdas, dan selalu berusaha keras untuk mencapai tujuannya. Ia tumbuh dalam keluarga miskin di sebuah kampung kecil, di mana kehidupan yang serba kekurangan membuatnya terbiasa untuk bekerja keras demi mencapai apa yang diinginkan. Ayahnya, seorang buruh pabrik yang selalu bekerja lembur, dan ibunya, seorang penjual makanan keliling, berjuang keras untuk menyekolahkan Dira hingga kuliah.

Suatu ketika, hidup Dira berubah drastis saat ayahnya terjerat utang kepada organisasi mafia yang dipimpin oleh Rafael. Tanpa pilihan lain, Dira dipaksa untuk berhadapan langsung dengan Rafael, pemimpin mafia yang terkenal kejam. Sebagai perempuan muda yang tidak berdaya, Dira harus menghadapi situasi yang tak pernah dia bayangkan, tetapi dia tetap berusaha bertahan dengan kebijaksanaan dan keberanian yang dimilikinya.

Namun, hatinya mulai terikat dengan sosok Rafael yang tidak hanya kejam, te
bagaimana kelanjutannya yuks lnjt 😊

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayda Pardede, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

jalan yang tak bisa dibelokkan

Dira berjalan pelan menuju pintu keluar rumah orangtua Rafael. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah bumi menahan kakinya agar tidak melangkah lebih jauh. Ia menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan air mata yang ingin meluncur, meskipun tak ada yang peduli. Tidak ada yang peduli. Tidak ada yang mengerti.

"Jaga dirimu, nak," suara ibu Rafael memecah kesunyian, namun Dira hanya membalas dengan anggukan kecil. Tidak ada kata yang keluar dari mulutnya, hanya kehampaan yang semakin menguasai dirinya.

Begitu mereka keluar dari rumah megah itu, Bagas yang menunggu di luar menyambut mereka tanpa berkata apa-apa. Dalam diam, Rafael dan Dira mereka berdua melangkah kembali menuju mobil. Dira duduk di kursi belakang, tepat disamping Rafael menatap jendela dengan pandangan kosong. Perjalanan kembali ke rumah orangtuanya terasa seperti perjalanan menuju ruang kosong yang tak akan pernah terisi. Setiap kilometer yang mereka tempuh semakin mengingatkan Dira bahwa hidupnya telah berada di jalur yang tak bisa dibelokkan lagi.

Rafael dan Dira tidak banyak bicara sepanjang perjalanan. Dira tahu dia merasa canggung, tidak tahu harus berkata apa. Ia juga tidak menginginkan percakapan. Hanya ada desah napas dan suara mesin mobil yang memenuhi ruang di antara mereka. Sesekali Dira menatap ke luar jendela, mencoba menemukan sesuatu yang bisa memberinya kekuatan, tapi semuanya terasa kabur dan jauh.

Di rumah orangtuanya, suasana tidak jauh berbeda. Ayah dan ibunya menyambutnya dengan senyum yang terpaksa, mencoba menyembunyikan kelelahan dan kegelisahan mereka. Dira tahu mereka khawatir, tetapi mereka tidak bisa berbuat banyak lagi. Keputusan sudah diambil, dan Dira adalah satu-satunya yang harus menjalani semuanya.

"Bagaimana pertemuanmu dengan orangtuanya Rafael?" tanya Reja, ayah Dira, dengan nada yang lebih serius. Suaranya sedikit serak, seolah menahan sesuatu yang dalam. Dira mengangkat bahu, menyandarkan tubuhnya ke kursi di ruang tamu.

"Seperti yang aku kira, Ayah. Mereka... tidak peduli darimana aku berasal. Mereka hanya ingin pernikahan ini berjalan lancar," jawab Dira pelan. "Aku hanya... merasa semakin terperangkap."

Ella, ibunya, duduk di samping Dira, menggenggam tangan anaknya dengan lembut.

"Nak, ini bukan pilihanmu. Kami tahu kamu tidak ingin ini. Tapi ini demi keluarga kita. Kami... kami hanya ingin kamu tahu bahwa kami sangat mencintaimu."

Dira menatap ibu dan ayahnya satu per satu, matanya mulai berkilat dengan air mata yang menunggu untuk jatuh.

"Aku tahu, Bu. Aku tahu kalian mencintaiku. Tapi bagaimana kalau aku tidak bisa lagi mencintai diri sendiri setelah semuanya selesai?" suara Dira bergetar, namun ia berusaha sekuat mungkin untuk menahan tangisnya.

Reja menatap putrinya dengan mata penuh penyesalan. "Aku berharap, suatu saat kamu bisa memaafkan kami, Dira. Kami tidak punya pilihan. Kadang, hidup ini penuh dengan keputusan yang tidak bisa kita hindari."

Dira menunduk, mencoba meredam perasaan yang semakin mendalam. Perasaan hampa itu terus menggerogoti hatinya. Ia ingin melawan, ingin mengubah segalanya, tapi kenyataannya adalah bahwa ia telah terjebak dalam permainan yang terlalu besar untuk dilawan seorang diri.

"Besok, kita akan mulai mempersiapkan segalanya untuk pernikahanmu," ujar Ella, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Kami akan membuatnya sederhana, sesuai dengan keinginanmu."

Dira hanya mengangguk lemah. Sederhana. Tapi di dalam hatinya, pernikahan itu sudah terasa seperti sebuah istana yang penuh dengan jebakan. Tidak ada ruang untuk kebebasan. Tidak ada ruang untuk cinta. Semua ini tentang kekuasaan dan kontrol, tentang menjaga kehormatan keluarga, tentang memenuhi ekspektasi yang tak pernah ia pilih.

Keesokan harinya, Bagas datang lagi untuk menjemputnya. Dira bisa merasakan ketegangan di udara. Wajah Bagas yang biasanya tenang kini tampak lebih serius, seolah-olah dia tahu bahwa pernikahan itu bukan sekadar acara, melainkan awal dari sebuah perjalanan yang tidak bisa dihentikan. Dira tidak bertanya banyak, karena ia tahu bahwa Bagas juga tidak bisa memberikan jawaban yang ia butuhkan.

Mereka kembali menuju rumah orangtua Rafael, dan perjalanan kali ini terasa semakin menegangkan. Setiap detik yang berlalu semakin mempertegas kenyataan bahwa ia tidak akan bisa kembali. Semua pintu telah terkunci rapat, dan yang tersisa hanyalah jalan yang harus dilalui.

Sesampainya di rumah orangtua Rafael, Dira merasa seolah-olah dirinya tidak ada. Semua hal di sekitar terlihat begitu jauh, begitu asing. Keluarga Rafael menyambutnya dengan senyuman yang hangat, tetapi Dira selalu berpikir bahwa senyuman itu hanya untuk memenuhi kewajiban sosial semata. Dia tidak bisa melihat ketulusan dimata orang tua Rafael Di dalam hatinya, ia bisa merasakan adanya kesenjangan yang tak terjembatani. Mereka tidak pernah melihatnya sebagai individu, melainkan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan mereka.

Rafael terlihat lebih tenang hari ini. Dia menyambut Dira dengan pelukan singkat, namun Dira bisa merasakan bahwa pelukan itu tidak tulus. Ini semua tentang peran yang harus mereka jalani, tentang perjanjian yang harus ditepati. Tidak ada ruang untuk perasaan atau keinginan pribadi.

"Selamat datang, Dira," kata ibu Rafael, Diana, dengan senyuman yang seolah terpatri di wajahnya. "Kami senang kamu datang. Mari kita bicara lebih banyak tentang pernikahan ini."

Dira hanya membalas dengan senyuman kecil, meskipun di dalam hatinya, ada keraguan yang semakin dalam. Ia tahu bahwa semuanya akan dipersiapkan sesuai dengan keinginan mereka, tanpa ada ruang untuk pendapatnya. Ia tidak punya kendali atas apapun lagi.

Pernikahan ini, bagi Dira, sudah lebih dari sekadar upacara. Itu adalah pintu yang akan menutupkan dirinya dalam dunia yang tidak bisa ia pahami, sebuah dunia yang penuh dengan aturan yang bukan miliknya.

Rafael mulai berbicara dengan keluarganya tentang rencana pernikahan. Dira mendengarkan, tetapi kata-kata itu tidak lagi berarti apa-apa. Ia merasa seolah-olah berada di luar tubuhnya sendiri, menonton semuanya dari kejauhan, tanpa bisa berbuat apa-apa.

"Semua sudah diatur dengan baik. Semua sudah siap. Tinggal menunggu hari-H," kata Rafael, menatap Dira dengan mata yang penuh dengan keyakinan. Namun, Dira hanya bisa tersenyum samar, mencoba menahan semua perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya.

Setelah beberapa waktu, mereka pun selesai berbicara. Dira merasa semakin lelah, semakin terperangkap dalam dunia yang bukan miliknya. Ia hanya ingin semuanya berakhir, namun ia tahu bahwa pernikahan itu adalah permulaan dari segalanya. Tidak ada jalan mundur. Tidak ada tempat yang aman. Tidak ada kebebasan.

"Ini akan segera berakhir," pikirnya dalam hati, meskipun hatinya terasa begitu hancur. "Aku hanya perlu bertahan sedikit lagi."

Ketika mereka meninggalkan rumah orangtua Rafael, Dira merasa ada sebuah beban yang lebih berat menimpa pundaknya. Bagas menatapnya dengan penuh perhatian, tetapi Dira tidak bisa lagi merasakan kehangatan dalam pandangannya. Ia hanya merasa kosong, hampa, dan terperangkap.

Di dalam perjalanan pulang, Dira tidak berkata banyak. Ia menatap ke luar jendela, mengamati dunia yang terus berjalan, meskipun dirinya semakin terhimpit dalam dunia yang semakin gelap.

Di luar sana, waktu terus berjalan. Namun bagi Dira, waktu kini terasa terhenti.

1
Jonny Tripardi
up lgi
Ataru Moroboshi
Aduh, hatiku berdebar-debar pas baca cerita ini, author keren abis!
aidaa: tetap ikuti terus ya sayang hehe😊
total 1 replies
Pandora
Thor, aku udah nggak sabar nunggu next chapter.
aidaa: sabar ya sayang😊
total 1 replies
aidaa
guyss untuk bab 1&2 masih seputaran tengtang kehidupan Dira dan Rafael yah 😊 😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!