Tidak semua cinta terasa indah, ada kalanya cinta terasa begitu menyakitkan, apalagi jika kau mencintai sahabatmu sendiri tanpa adanya sebuah kepastian, tentang perasaan sepihak yang dirasakan Melody pada sahabatnya Kaal, akan kah kisah cinta keduanya berlabuh ataukah berakhir rapuh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Withlove9897_1, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 22
...****...
"Siapa nama lelaki itu Melody..."
Celetukan Kaal semakin membuat gadis itu membelalak. Ia tidak dapat menerka mengapa Kaal menanyakan pertanyaan yang tidak memiliki relevansi sama sekali dengan seluruh pembicaraan mereka malam ini.
Bagaimanapun, ia tetap harus membalas.
"Dia...."
"Faisal...."
Kaal tersenggal pendek kemudian mengulang nama yang baru saja Melody sebutkan.
"Hm, Faisal..."
Punggung gadis itu tiba-tiba bergetar, sementara genggaman yang melingkupinya perlahan lepas. Wajah yang sedari tadi tersembunyi kini mendongak.
Bersama pandangan mereka yang bersambut, Kaal kemudian memoleskan senyum sedih yang membuat perut Melody bergejolak.
"Apa kau bahagia bersamanya?"
Entah mengapa Melody merasa kalimat itu terdengar seperti kalimat yang sudah dilatih berkali-kali.
Kaal seolah sudah pernah mempraktekkannya mungkin di tempat lain, pada orang lain, dengan tujuan yang tidak ia ketahui dan itu membuat segenggam pahit tersangkut di tenggorokannya.
Ia tidak menemukan kekuatan untuk berbohong lagi.
Ia tidak menemukan kekuatan untuk sekedar menjawab ya, aku bahagia, karena apa yang ia inginkan saat ini hanyalah menyerah, lalu membawa Kaal yang tampak begitu terluka ke pelukannya.
Melody tahu ia lemah, maka dari itu ia tidak memiliki pilihan lain selain terburu-buru mendorong kursinya menjauh dari meja.
"K-Kau tahu," ujarnya terbata.
"Maaf Kaal, kita bisa membicarakan tentang masalah apartemen ini lain kali. Aku sudah tidak lapar lagi sekarang..."
Bersama penutup itu, Melody berderap meninggalkan lelaki itu tanpa menengok ke arah Kaal yang masih terdiam bingung.
Ia mendorong pintu keluar dengan kasar, kemudian berlari ke salah satu pilar. Punggungnya dengan cepat bersandar pada permukaan pilar tersebut selagi tangis yang ditahan dibiarkan pecah sepenuhnya.
Melody menangis sambil menggigit bibirnya kuat, berupaya agar sebisa mungkin tidak satupun orang yang bisa menemukannya.
Tetapi tentu Kaal Vairav menemukannya.
Tentu Kaal harus melihatnya di saat ia berada pada fase paling buruknya.
Melody sontak membuang muka. Ia berniat untuk menutupi wajahnya, namun Kaal lebih cepat meraih dagunya.
Ibu jari lelaki itu lantas mengusap air mata yang berjatuhan di pipi, sementara hela napas berat berhembus ke sela-sela surai Melody.
"Aku minta maaf Melody, maafkan aku, jangan menangis lagi.... kumohon " bisik lelaki tinggi dengan nada yang kental akan penyesalan.
"Aku tidak akan mencampuri pilihanmu lagi, aku minta maaf"
Pernyataan itu justru membuat Melody menangis lebih keras. Serpih-serpih rasa frustasinya berkumpul karena Kaal tidak mengerti.
Kaal Vairav masih saja tidak kunjung mengerti apa yang seharusnya sudah jelas; ia—juga, ingin kembali.
Akan tetapi, ia takut akan konsekuensi.
Ia takut ia akan membodohi dirinya sendiri sekali lagi.
Kendati demikian, suara Kaal terdengar terlalu halus untuk diabaikan dan terlalu berharga untuk dilewatkan.
Tanpa perlawanan lebih, Melody menyerah ketika kedua lengan lelaki itu menguburnya dalam dekapan.
Ia merasakan bibir Kaal kini menempel pada keningnya selagi lelaki itu menambahkan
"Aku berjanji ini adalah terakhir kali aku mengganggumu."
Melody nyaris berkata jangan.
Ia rela—sekali lagi, berada di pusaran kebimbangan yang sama jika itu berarti ia dapat memahami isi kepala Kaal.
Bahkan secuil pun mungkin akan menjadi berarti. Karena beberapa hari terakhir, Melody merasa setiap bujukan Kaal kepadanya menjelma menjadi penyusup kecil yang merekatkan hatinya sisi demi sisi, tepi demi tepi.
Tetapi bungkamnya Melody diartikan Kaal sebagai sesuatu yang lain sebab lelaki itu mendadak membungkuk untuk menemukan matanya yang basah.
Bibir yang tadi mengecup kening kini berganti menyentuh bibir dalam ciuman panjang tanpa lidah.
Melody tidak menolak.
Ia menikmati ciuman itu hingga akhir, hingga Kaal memutusnya secara sepihak sebelum bergumam dengan intonasi terpenggal di tengah
"Lihat yang bisa aku lakukan hanya membuatmu menangis Melody, betapa payahnya aku..."
Lelaki itu melepas seluruh kontak fisik mereka.
"Seharusnya aku tahu, seharusnya aku menyadarinya dari awal, aku tidak pernah pantas bersanding denganmu, aku tidak bisa menjadi yang terbaik untukmu..." Kaal menggeleng pelan dengan pandangan terlempar ke atas, kakinya mundur selangkah.
"Aku akan pergi Melody."
Tidak.... Jangan
"Aku akan pergi…"
Melody membohongi diri bahwa ini adalah jalan terbaik
...****...
Kaal merasa sedang berada dalam mode autopilot. Hari-hari berkelebat tanpa meninggalkan jejak di memorinya. Ia menjalankan rutinitas, tetapi tidak ada satupun yang membekas.
Kaal sedikitnya terkejut belum ada komplain yang dilayangkan kepadanya di lingkup kerja. Walaupun begitu, perkara ini tetap membuatnya mengeluh kepada diri sendiri. Ia sungguh berharap ia dapat segera menuntaskan masa patah hatinya.
Permasalahannya, Kaal justru tengah menambah satu perihal yang tidak perlu.
Ia menduga itu adalah pengaruh dari perintah alam bawah sadarnya. Kaal tidak tahu kapan, dimana, atau apa yang ia rencanakan saat ia meminta Hans untuk mencari informasi mengenai seseorang.
Sang asisten datang beberapa hari kemudian, membawa informasi yang dimaksud dan Kaal—masih dalam keadaan tidak sepenuhnya berpikir jernih, memutuskan untuk mengirim pesan singkat kepada nomor telepon yang tercantum di antara deret detail lain.
Keputusan pada hari itu membawanya ke hari ini.
Dimana ia duduk menunggu bersama satu cangkir kopi yang belum tersentuh. Ibu jari bermain pada bibir, mencubit-cubit kecil untuk melunturkan kegugupan serta suatu perasaan tidak nyaman lain merangkak hingga tengkuk.
Sepuluh menit berlalu dari waktu perjanjian, Kaal berubah semakin gelisah. Ia tengah memutuskan untuk menyesap kopinya ketika penglihatan menangkap satu lelaki yang tengah membuka pintu kafe.
Jari yang sudah memegang cangkir terhenti di udara. Konsentrasi Kaal teralih untuk memastikan dugaan. Ia melihat lelaki itu melongok seolah sedang mencari seseorang, sebelum pandangan akhirnya mendarat padanya.
Satu rekognisi terhubung.
Lelaki itu tersenyum santun ke arahnya, sementara Kaal meletakkan cangkirnya terburu-buru. Ia berdiri cepat untuk menyambut, tangannya terulur ketika sosok yang menghampiri menawarkan jabat tangan.
"Kaal Vairav, betul?" lelaki yang kini berdiri di hadapannya bertanya.
Impresi pertama untuk mendeskripsikan lelaki itu adalah sempurnaㅡjajaran gigi yang terlihat rapi, fitur wajah yang nyaris tanpa cela, serta suara hangat yang menyapa disamping mereka masih berada dalam sekat orang asing.
Kaal menelan kelegaan bercampur getir yang bergumul di kerongkongannya diam-diam. Tetapi melihat bahwa Melody ternyata berhasil menemukan orang yang jauh lebih baik dari dirinya di segala sisi sudah sepatutnya membuat ia berbesar hati.
"Terimakasih sudah menyetujui untuk bertemu, " Kaal membalas tersenyum meskipun batinnya enggan. Lalu bersamaan dengan tangan yang ditarik, ia menyebutkan nama lelaki di depannya untuk pertama kali
"Senang bertemu denganmu... Faisal."
...***...
Segala sesuatu tentang Melody Senja selalu mengganjal bagi Faisal. Ia tidak dapat menyebutkan secara rinci apa saja, akan tetapi satu hal yang pasti adalah gadis itu tidak pernah terlihat benar-benar bahagia saat bersamanya.
Ketika mereka bersama, Faisal selalu bisa merasakan bahwa Melody terlalu berusaha untuk terlihat nyaman. Hal itu bisa dengan mudah dideteksi dari cara gadis itu tersenyum, balasan dialog yang minim, serta mata yang tidak pernah tertuju padanya.
Kecurigaan Faisal terbukti.
Ternyata, memang ada alasan di balik semua itu.
Berselang tiga hari setelah pertemuannya dengan Kaal Vairav, ia mendapatkan banyak kepingan terlewatkan yang akhirnya bisa ia susun untuk melihat gambaran Melody seutuhnya.
Ia sekarang tahu alasan mengapa hubungan mereka selalu berada dalam fase stagnan tanpa kemajuan. Ia sekarang tahu alasan mengapa gadis yang lebih muda darinya itu tidak akan pernah jatuh kepadanya.
Pada sesi makan malam rutin mereka, Faisal tidak bisa melepaskan pandangan dari Melody. Ia sedang meneliti—membuktikan suatu poin untuk kemudian ditarik kesimpulan sebagai fakta.
Maka dari itu, ketika gadis yang tengah menyuap sendok pertama makanan penutupnya membalas pandangannya, ia akhirnya memberanikan diri memancing.
"Melody? Boleh aku bertanya sesuatu?" Ujar Faisal, ia telah menanggalkan imbuhan resmi pada nama gadis itu.
"Hm, tentu saja" jawab gadis itu seadanya
"Kau ingat ketika kau mengatakan bahwa kau belum siap untuk suatu hubungan serius karena seseorang terdahulu?"
Terlihat bingung, Melody tetap mencoba membalas.
"Ya, ada apa dengan itu?"
"Seseorang yang kau maksud, beberapa hari lalu menemuiku"
Deg!
...TBC...