Dirga sangat mencintai Maya. Ia tidak ingin bercerai meski Maya menginginkannya. Ia selalu memaklumi Maya yang bertingkah seenaknya sejak Dirga kehilangan pekerjaan dan membuat keluarga mereka terpuruk.
Tapi suara desahan Maya di ponsel saat ia menghubunginya merubah segalanya.
Apa mereka akan tetap bercerai atau -lagi lagi- Dirga memaafkan Maya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Herliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Nara kembali bertemu dengan Dirga. Kali ini di toko perhiasan langganan Nara.
Dirga -seperti biasa- sedang menemani Tikno yang ingin membeli hadiah pernikahan untuk Kirana.
Tatapan mereka bertemu untuk beberapa saat. Tapi mereka sama - sama merasa malu untuk mulai bertegur sapa. Mereka memilih diam dan pura - pura tidak ingat pernah bertemu sebelumnya.
"Yang ini gimana, Ga?" Tikno memperlihatkan sebuah kalung. Tidak terlalu besar. Tapi lumayan cantik.
"Itu kan buat Istrimu. Kok tanya Aku?" Dirga merasa sungkan.
"Seleramu kan, bagus. Perhiasan Maya semuanya cantik dan elegan."
Nara membuka telinganya lebar - lebar.
'Benar, kan. Dia ini pastilah suami yang baik.' batinnya. Tanpa sadar ia mengangguk sendiri. Ia lalu meminta pelayan mengambilkan cincin pilihannya.
"Coba lihat yang itu, Mbak."
"Itu kan dulu. Sekarang Aku mana mampu?" keluhan Dirga tertangkap telinganya.
Nara menggeser tubuhnya mendekati tempat Dirga dan Tikno berdiri. Lalu menunjuk lagi,
"Yang itu, Mbak." si Bibik merasa heran. Dari rumah niat Nara hanya membeli cincin karena ia sudah bosan pada cincin - cincinnya.
"Non Naya mau beli kalung juga?" bisik si Bibi tapi masih dapat di dengar oleh Dirga dan Tikno.
Tikno langsung menjentikkan jarinya.
"Biasanya perempuan lebih pintar memilih. Mbak bisa bantu pilihin buat istri Saya?" tanya Tikno pada Nara.
"Itu juga perempuan." tunjuk Nara pada pelayan toko.
Tikno tertawa lepas.
"Mbak kok lucu, sih? Dia kan yang jualan? Pasti Dia bilang semuanya bagus dan cocok."
Wajah Nara memerah. Seumur - umur baru ada yang mengatakan dirinya lucu.
Dirga yang melihat perubahan wajah Nara menyenggol tangan sahabatnya ini.
"Maaf, Mbak. Bukan maksudnya teman saya ini ngatain Mbak, lho."
Tikno menggaruk kepalanya karena merasa tidak bersalah. Kenapa harus meminta maaf, sih?
Si bibik merasa tidak asing melihat Dirga.
"Lho? Mas ini, kan?" bibirnya lalu membentuk bulatan.
Dirga mencoba tersenyum.
"Bibik masih ingat Saya?" Bibik mengangguk dengan penuh keraguan. Ia takut Nara marah padanya. Bagimana ia bisa lupa? Ia menyusuri semua lantai untuk mencari orang ini pada waktu itu.
Nara melirik dengan sudut matanya. Tangannya memegang kalung yang diberikan pelayan.
"Ini bagus. Bagaimana kalau yang ini?" diulurkannya kalung itu pada Dirga. Dirga bingung sejenak. Tapi ia segera sadar. Kalung itu ia serahkan pada Tikno.
Tikno tersenyum puas.
"Ini beneran bagus. Iya, kan?" ia masih bertanya pada Dirga.
"Bungkuuss!" Dirga setuju. Pilihan Nara dianggapnya sangat tepat.
"Tapi bukannya Kamu pilih kalung ini buat dirimu sendiri?" tanya Dirga. Ia menatap Nara dengan intens.
"Nggak papa." pipi Nara terasa panas. Ia merasa aneh dengan perasaannya sendiri.
'Aduh, kok Aku jadi dek - dek an gini, ya? Aduh, Nayaa! Dia itu suami orang!"
Tikno meminta pelayan memberi kotak yang cantik untuk kalung itu.
Ia lalu menoleh pada Nara dan mengulurkan tangannya.
"Makasih ya, Mbak..?"
"Naya." Dirga yang menjawab dan ia sama terkejutnya dengan Nara.
'Ia masih mengingat namaku!' hatinya -entah kenapa- menjerit bahagia.
Tikno juga terkejut. Ia tidak menyangka Dirga mengenal perempuan lain yang ia tidak mengenalnya.
Nara menangkupkan kedua tangannya di atas dada.
"Nara. Inara. Tapi Bibik memanggilku, Naya."
Tikno menurunkan tangannya dan tersenyum.
"Tikno."
Nara menatap Dirga yang segera sadar. Ia ikut menangkupkan kedua tangannya.
"Dirga."
'Dirga.' Maya mengulang nama itu dalam hatinya.
Mata Nara dan Dirga terus saling menatap.
Tikno yang dapat membaca situasi langsung
berdehem.
"Echm!" Ia menahan senyumnya melihat Dirga dan Nara saling membuang muka.
"Untuk ucapan terimakasih, bagaimana kalau Saya traktir Mbak Nara makan siang?"
*********************
Saat makan siang itulah Nara mengetahui semua masalah Dirga. Tikno yang menceritakannya di sela senda guraunya.
"Jadi Dirga kehilangan pekerjaannya dan hampir menjadi mantan suami gara - gara itu." Nara merasa iba sekaligus senang karena ia lebih yakin kalau Dirga adalah laki - laki yang baik.
Nara pulang dengan permasalahan Dirga di kepalanya. Ia sangat ingin membantu.
Malamnya ia menemui sang Papa.
"Papa, boleh Naya masuk?" ia mengetuk pintu kamar Papanya.
"Masuklah, Sayang." terdengar suara Handoko.
Nara membuka pintu dan masuk.
"Ada apa, nih? Tumben." Handoko menurunkan kacamatanya. Di tangannya ada laporan keuangan perusahaan.
"Papa lagi baca apa?" tanya Nara manja. Ia langsung memeluk bahu Handoko dari belakang.
Handoko menghela nafas.
"Ini. Papa lagi baca laporan keuangan. Kayak ada yang aneh. Tapi apa, ya?"
"Papa kok bawa - bawa kerjaan ke rumah, sih? Mana dong, waktu buat Nara?"
Handoko meletakkan berkas yang ia pegang ke atas kepala tempat tidur.
"Papa cuma penasaran aja. Kamu bisa bantu ngecek?"
Nara menautkan alisnya.
"Itu 'kan bukan bidang Naya, Pa. Kalau ngitung - ngitung takaran obat tuh, Naya baru bisa." Nara ini seorang apoteker.
Tiba - tiba Nara teringat tujuannya datang ke kamar papanya ini. Bukannya ini pas? Dirga itu adalah seorang staff accounting.
"Papa, Naya punya teman yang bisa membantu Papa."
"Oh, ya? Jangan bilang ada pengangguran yang mau melamar kerja di kantor Papa."
"Ih, Papa! Bahasanya sadis amat!" Nara mengerucutkan bibirnya.
"Tapi betul, kan?" Handoko tidak mau kalah.
Nara menghela nafas. Berpikir. Ia harus mengatakan hal yang dapat meyakinkan Papanya.
"Papa mau dibantuin nggak, sih?" berengutnya.
"Daripada Papa pusing terus kayak gini?"
Handoko menatap putri satu - satunya itu.
"Memang siapa sih, temanmu itu? Kalau Dia kompeten masa' Dia jadi pengangguran begitu?"
"Dia kena dampak pengurangan tenaga kerja."
"Tuh!"
"Papa!" Nara tidak mau menyerah.
"Tolong kasih kesempatan sama Dia, ya? Please? Ini teman baik Naya, Pa!"
"Dia dari perusahaan mana tadinya?" Nara mencoba mengingatnya. Tadi Tikno juga mengatakan nama perusahaan tempat Dirga dulu bekerja.
"CV Bintang Abadi." Handoko mengerutkan keningnya.
"Papa?" mata Nara begitu berharap. Kembali ia menghembuskan nafasnya. Ia lalu mengangguk.
"Baiklah. Minta Dia datang besok. Ke sini, Bukan ke kantor."
Nara melonjak.
"Makasih, Papa. Papa memang yang terbaik!" Nara setengah berlari keluar kamarnya. Ia ingin segera mengabarkannya pada Dirga.
"Naya! Jangan lari - lari begitu! Nanti jantungmu.." tapi Nara sudah tidak mendengarnya.
"Non! Kenapa, Non?" si Bibik panik melihat Nara yang terlihat pucat dan memegangi dadanya. Ia terlalu cepat berjalan. Dadanya terasa sakit.
"Obat Naya, Bik." Nara menurut saat Bibik membawanya ke tempat tidur.
Dengan cekatan si Bibik mengambil obat di laci nakas dan menuangkan segelas air.
"Ini, Non." ia membantu Nara meminum obatnya.
"Tiduran ya, Non. Istirahat. Bibik kasih tau Papa Non, ya?"
Nara menggeleng lemah. Ia meraih tangan Bibik.
"Jangan, Bik. Naya nggak papa, kok."
Bibik mengusap - usap tangan Nara.
"Non tidur aja, ya? Biar nanti langsung sehat."
Nara menganggguk. Ia memejamkan matanya. Terpaksa ia harus menunda keinginannya memberi kabar pada Dirga.
*****************