Nadif, seorang pria tampan berusia 30 tahun yang hidupnya miskin dan hancur akibat keputusan-keputusan buruk di masa lalu, tiba-tiba ia terbangun di Stasiun Tugu Yogyakarta pada tahun 2012- tahun di mana hidupnya seharusnya dimulai sebagai mahasiswa baru di universitas swasta ternama di kota Yogyakarta. Diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan masa lalunya, Nadif bertekad untuk membangun kembali hidupnya dari awal dan mengejar masa depan yang lebih baik.
Karya Asli. Hanya di Novel Toon, jika muncul di platform lain berarti plagiat!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fernicos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nadif - Bab 22: Rumah Jessy
“Kita naik ini?” Nadif bertanya dengan nada setengah kagum.
Jessy tertawa kecil.
“Iya, sayang. Mobil ini akan bawa kita langsung ke rumah di Menteng.”
Mereka masuk ke dalam mobil, dan Nadif langsung terkesan dengan interiornya yang mewah. Sofa kulit lembut, suasana cahaya yang tenang, dan sistem hiburan canggih membuatnya merasa seperti berada di dunia lain. Supirnya menutup pintu dengan hati-hati sebelum kembali ke tempatnya dan mulai mengemudikan mobil keluar dari bandara.
“Jadi, kamu udah sering naik mobil kayak gini?” Nadif bertanya sambil menyentuh jok kulit yang empuk.
Jessy tersenyum, menatap keluar jendela. “Ya, lumayan sering. Orang tua aku biasanya pakai ini kalau lagi di Jakarta. Tapi sekarang mereka lebih banyak di Eropa, jadi mobil ini jarang dipakai. Kamu suka?”
“Suka banget. Ini pertama kalinya aku naik mobil semewah ini,” jawab Nadif sambil terkekeh.
Jessy menatap Nadif dengan senyum simpul.
“Tapi sekarang kamu udah punya aku, jadi kamu bisa ngerasain semuanya, Dif.”
Nadif tertawa, meraih tangan Jessy dan menggenggamnya dengan lembut.
“Iya, bener banget. Dan aku beruntung banget bisa punya kamu.”
Jessy tersenyum hangat, menggenggam balik tangan Nadif.
“Aku juga beruntung. Apalagi, sekarang aku nggak ngerasa kesepian lagi di Jakarta karena ada kamu. Hmm aku jadi nggak sabar deh nunggu event-nya nanti. Aku yakin kamu bakal tampil keren.”
Nadif menatap Jessy dengan serius.
“Ngomong-ngomong, gimana rasanya balik ke Jakarta? Kamu kangen nggak sama kota ini?”
Jessy terdiam sejenak, memandang keluar jendela sambil berpikir. “Jujur, nggak ada yang terlalu istimewa. Kalau balik Jakarta, aku cuma inget betapa sibuknya orang tua aku. Mereka nggak pernah punya waktu buat aku. Aku selalu ngerasa sendirian, bahkan di rumah yang gede itu. Kadang aku nggak pulang ke rumah, tapi ke hotel.”
Nadif mendengar dengan serius, mencoba memahami perasaan Jessy.
“Aku bisa ngerti. Kadang rumah yang mewah nggak berarti apa-apa kalau nggak ada kehangatan di dalamnya.”
Jessy mengangguk pelan, matanya sedikit murung.
“Makanya, aku seneng kamu di sini. Mungkin, dengan kamu ada, aku nggak akan ngerasa sendirian lagi.”
Nadif tersenyum hangat, mencoba menghibur Jessy.
“Aku bakal mastiin kalo kamu nggak ngerasa sendirian lagi. Selama di sini, aku bakal selalu ada buat kamu. Lagipula, kita bisa jalan-jalan keliling Jakarta. Kamu bisa tunjukin tempat-tempat yang kamu suka di sini.”
Jessy mulai tersenyum lagi, matanya berkilauan penuh harapan.
“Boleh banget. Aku tau beberapa tempat bagus yang mungkin kamu bakal suka. Dan satu hal lagi, aku pengen kita tinggal di rumah aku di Menteng. Nggak jauh dari GBK, jadi kamu nggak perlu repot bolak-balik buat persiapan event.”
Nadif sedikit terkejut mendengar tawaran itu.
“Serius? Tapi, apa nggak ngerepotin? Ntar malah kamu yang susah karena harus ngurus rumah.”
Jessy tertawa kecil dan menggeleng.
“Nggak usah khawatir soal itu sayang. Di rumah itu udah ada pembantu dan supir yang siap bantu kita. Jadi, kamu bisa anggap rumah itu seperti rumah kamu sendiri. Aku pengen kamu nyaman selama di sini.”
Nadif merasa terharu dengan perhatian Jessy.
“Kamu perhatian banget. Makasih, ya sayang. Aku nggak tau harus bilang apa lagi.”
Jessy menepuk tangan Nadif dengan lembut.
“Nggak usah bilang apa-apa, cukup kamu mencintaiku sepenuh hati kamu. Itu udah lebih dari cukup buat aku.”
Mereka terus berbicara sepanjang perjalanan, membahas rencana-rencana mereka selama di Jakarta. Nadif merasa semakin dekat dengan Jessy, sementara Jessy merasa semakin yakin bahwa membawa Nadif ke Jakarta adalah keputusan yang tepat. Mereka akhirnya tiba di rumah Jessy yang ternyata adalah kawasan elit di Menteng.
Saat Rolls Royce hitam itu perlahan memasuki gerbang besar rumah Jessy, Nadif langsung terpukau oleh pemandangan di depannya. Sebuah rumah bergaya klasik Eropa dengan pilar-pilar putih tinggi menyambut mereka. Halaman depan yang luas dihiasi dengan taman yang rapi, air mancur di tengahnya memancarkan suara gemericik yang menenangkan. Beberapa mobil sport seperti Lamborghini, Ferrari, dan McLaren terparkir rapi di sisi jalan masuk, menambah kesan kemewahan yang melekat pada rumah ini.
Jessy menatap Nadif yang terdiam, senyum penuh arti di wajahnya.
“Gimana, sayang? Sesuai bayangan kamu nggak?”
Nadif hanya mengangguk, masih terpesona.
“Lebih dari sesuai. Ini sih lebih kayak istana daripada rumah.”
Jessy tertawa kecil, menggandeng tangan Nadif untuk masuk ke dalam.
“Ayo, aku tunjukin dalamnya. Pasti kamu lebih suka.”
Begitu mereka melangkah masuk, Nadif langsung merasakan atmosfer mewah dari rumah itu. Lantai marmer yang mengilap, lampu gantung kristal yang megah, dan langit-langit yang tinggi dengan ukiran-ukiran indah memberikan kesan elegan yang luar biasa. Dinding-dindingnya dipenuhi lukisan-lukisan klasik, dan furnitur antik yang mahal menghiasi setiap sudut. Sofa kulit, meja kayu jati berukir, dan karpet Persia semuanya terlihat mewah dan berkelas.
Nadif melangkah pelan, matanya menyapu setiap detail ruangan.
“Keren banget! Ini rumah yang paling mewah yang pernah aku lihat. Kamu tinggal di sini sendirian?”
Jessy mengangguk sambil tersenyum.
“Iya, sekarang cuma aku di sini. Orang tua aku lebih sering di luar ngurus bisnis mereka, jarang banget pulang. Jadi, aku tinggal di sini sama pembantu dan supir aja. Kalau kamu butuh apa-apa, tinggal minta ke Bibi. Dia udah lama kerja di sini, jadi udah ngerti semua keperluan rumah.”
Nadif menoleh ke arah Jessy, masih merasa sedikit canggung dengan kemewahan yang mengelilinginya.
“Makasih ya sayang.”
Jessy mendekat, menggandeng tangan Nadif dengan hangat.
“Santai aja, sayang. Jangan ngerasa asing, anggap aja ini rumah kamu juga.”
Mereka berjalan bersama ke ruang tengah, di mana sebuah grand piano hitam berdiri megah di dekat jendela besar yang menghadap taman belakang. Nadif melihat-lihat sekitar, masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Aku tidur di kamar mana nanti?” tanya Nadif sambil tersenyum, mencoba menyesuaikan diri dengan suasana yang begitu berbeda dari kehidupannya sebelumnya.
Jessy melirik Nadif dengan mata genit dan tersenyum penuh arti.
“Kamu tidur sama aku aja, di kamarku.”
Nadif tertawa kecil, merasa geli dengan godaan Jessy.
“Kamu serius?”
Jessy mengangguk, senyum tak hilang dari wajahnya.
“Ya iyalah, kita kan pacaran. Ngapain pisah-pisah kamar? Lagipula, bukannya sebelumnya juga kita pernah tidur berdua ya dulu di hotel?”
Nadif merasa pipinya sedikit memerah, tapi dia tetap tersenyum.
“Yaudah, kalau kamu yang minta, gimana aku bisa nolak?”
Jessy menarik tangan Nadif, mengajaknya naik ke lantai dua.
“Ayo, aku tunjukin kamarnya. Kamu pasti suka.”
Kita sebagai pembaca seolah dibawa oleh penulis buat ngerasain apa yg Nadif alamin. Keren bangettt 🌟🌟🌟🌟🌟
semangat berkarya ya thor🙏🏽
#Gemes aku bacanya klw MC-nya Naif kaya gini.
Harusnya MC lebih Cool dan benar2 fokus memperbaiki diri, bahagiain keluarga, memantapkan karirnya. Jangan diajak2 RUSAK, malah mau...🙄