kumpulan fic Jaewoo
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Withlove9897_1, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Introverted and Extroverted Part 002
...***...
Kim Jungwoo hanya lelah, itu saja.
Dia hanya membutuhkan waktu istirahat sendiri tanpa diganggu oleh Jaehyun. Bagaimana pun juga semalam tadi ia sudah bekerja keras memeriksa tumpukan dokumen yang sekarang menggunung di atas meja. Tentu saja ia kurang tidur. Dia hanya ingin istirahat sebentar. Dia tidak akan berhenti. Dia tidak serius saat mengatakan akan berhenti, kan?
Jaehyun mengangguk-anggukkan kepala dengan pasti. Berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Dia tidak jadi menyusul Jungwoo, karena, memangnya apa yang akan dia lakukan nanti? Dia sendiri masih kesal dan enggan minta maaf atas makiannya barusan.
Kim Jungwoo juga salah, dia yang mulai duluan. Jaehyun tidak akan mengatakan hal-hal menyakitkan tentang Jungwoo kalau saja pemuda itu tak memancing kemarahannya. Kalau saja Kim Jungwoo tak menjelek-jelekkan tim football yang berjaya di bawah komandonya.
Pemuda itu hanya marah sesaat. Seperti anak kecil yang tidak diberi permen. Sebentar lagi dia juga akan kembali menjadi Kim Jungwoo yang seperti semula. Penyendiri, tidak punya teman, aneh―
Jaehyun mengerutkan keningnya.
Tapi kenapa ia tidak merasa yakin? Kenapa Jungwoo terlihat begitu terluka? Kenapa dia menangis? Kenapa laki-laki itu terlihat lemah dihadapannya?
Jaehyun tahu kata-katanya berlebihan. Tapi dia tidak bohong. Semua hal yang ia katakan tentang Kim Jungwoo tadi adalah benar. Setidaknya itu anggapan yang beredar di seluruh penjuru sekolah.
Memang benar awalnya Jaehyun kira Kim Jungwoo adalah anak baru. Muka pucat bulat itu belum pernah ia lihat sebelumnya. Karena Jaehyun pasti ingat. Sepasang mata Jungwoo yang indah terlalu menawan untuk dilupakan sekali pandang.
Dan memang benar ia kira Kim Jungwoo bisu. Saat awal-awal mereka bekerjasama, Jungwoo bahkan tak bicara. Pemuda itu hanya menggeleng atau mengangguk, atau memutar bola matanya.
Jungwoo adalah orang yang kikuk, apalagi kalau diawasi. Jaehyun paling senang berpangku tangan saat rapat kesiswaan, menoleh ke arah Jungwoo, dan tersenyum geli menyaksikan bagaimana tingkah Jungwoo ketika mencatat detail penting.
Kim Jungwoo akan banyak melakukan gerak kecil. Menggaruk ujung hidung, menyentuh rambut, mengusap dahi, menggigiti kuku, bahkan menjulurkan lidah untuk membasahi bibirnya. Dan kalau pemuda itu menyadari perhatian Jaehyun tertuju padanya, dia akan menundukkan pandangannya dengan tak nyaman. Ujung telinganya akan memerah sangat kontras dengan kulit putihnya, begitu pula kedua pipinya. Reaksi Kim Jungwoo memang aneh, memang. Tapi entah kenapa Jaehyun sangat suka melihatnya.
Kim Jungwoo juga tidak terkenal.
Coba saja sebut namanya pada seseorang, Cha Eunwoo pemuda yang menempati posisi kedua murid yang populer setelahnya, misalnya. Hanya akan dibalas dengan 'huh, siapa dia Kim Jungwoo?'
Kim Jungwoo suka sekali menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan, karena sering malas pergi mengantri makanan di kafetaria. Terlalu ramai dan berisik, pasti begitu alasannya.
Dan jangan heran mengapa Jaehyun tahu banyak tentang keseharian wakilnya. Jujur saja, Jaehyun senang memperhatikannya. Sebenarnya dia hanya tidak ada kerjaan saja. Kalau tak disibukkan oleh football, sehingga dia bisa menghabiskan waktu untuk duduk santai di kursi presidennya, ia akan mencuri-curi kesempatan untuk mengekor Jungwoo yang sibuk berputar-putar dalam ruang kesiswaan mengerjakan tugasnya. Jaehyun akan berpura-pura menjadi agen rahasia dan mencari informasi tentang kim Jungwoo si pemuda manis yang misterius itu.
Dan wajah manisnya yang seperti perempuan itu― Ah, agak menggelikan memang. Jangan lupakan tahi lalat yang berada di sudut matanya yang memberi aksen unik pada muka Jungwoo. Mempertajam sepasang matanya yang cemerlang.
Jaehyun membubuhkan tanda tangan pada dokumen terakhir dan menghela nafas.
Jam di atas meja menunjukkan pukul 07.55, kelas akan dimulai lima menit lagi.
Jaehyun menghempaskan tubuhnya ke belakang dan menengadahkan kepala, melempar tatapan tajam pada langit-langit. Sepasang alisnya berkerut dalam.
Haruskah dia meminta maaf pada Kim Jungwoo?
Bukan hanya tentang perkataannya tadi, tapi tentang semua perbuatan sewenang-wenang yang tak sadar telah ia lakukan. Dia presiden kesiswaan, tapi semua tugasnya ia limpahkan pada Jungwoo. Pemuda itu yang mengurus semuanya, bagian-bagian yang menyita banyak waktu dan pikiran. Tugas Jaehyun hanya memberi tanda tangan dan pidato. Dan dia yang menerima semua pujian dan tepuk tangan. Dia yang dielu-elukan. Padahal dia tidak melakukan apa-apa. Padahal Kim Jungwoo yang melakukan semuanya.
"Argh, baiklah! Sialan, apa yang―" Pandangannya tertuju kepada tas di sudut ruangan.
Kedua alisnya terangkat.
"Apakah itu tasnya?"
Jaehyun beranjak dari kursi dan melangkah mendekat ke sudut ruangan.
Jaehyun baru akan berjongkok untuk memeriksanya ketika pintu dibuka dengan kasar dan munculah seorang Kim Jungwoo dengan muka memerah. Matanya sedikit bengkak, masih tampak basah oleh air mata.
Jaehyun hanya terdiam. Tapi sudut bibirnya sedikit terangkat ke atas, membentuk senyum samar. Samar sekali jika dibandingkan dengan senyum iklan pasta gigi yang selalu ia tampilkan di muka umum.
Benar, kan? Tentu saja pemuda itu hanya bercanda saat mengatakan akan berhenti. Bagaimana pun juga, dia tidak mempunyai kegiatan lain selain mengurusi kesiswaan. Hanya di organisasi ini dia dikenal. Siapalah Kim Jungwoo di luar sana, tidak ada sesuatu yang istimewa dengannya.
"Hei, aku sudah selesai menandatangani dok―"
Kata-katanya terpotong ketika Jungwoo menyambar tasnya dengan kasar. Tali strap yang menjuntai bahkan sempat menampar pipi Jaehyun. Sepasang mata Jungwoo membulat terkejut.
Tapi bukannya minta maaf, Jungwoo malah seenaknya melenggang pergi.
Sudut mata Jaehyun mengejang. Dia segera berlari keluar untuk menyusul Jungwoo.
Perih pada pipi menjadi penyulut emosi.
"Hei, Kim Jungwoo! Berhenti kau!" Teriakan Jaehyun menggelegar, menggema memenuhi koridor. Otomatis menarik perhatian siswa-siswa yang tengah berjalan menuju kelas masing-masing.
Tapi Jungwoo tak mengindahkan perintahnya, malah mempercepat laju larinya.
Jaehyun menggeram kesal dan berlari menyusulnya, diiringi sorot heran orang-orang.
Tak butuh waktu lama dan tenaga ekstra bagi Jaehyun untuk dapat mengejar Jungwoo. Sebentar saja dia sudah menarik pundak pemuda itu dan menghempaskan tubuhnya ke loker terdekat.
BRAKKK!!!
Terdengar bunyi berderak yang sempat membuatnya berjengit, punggung Jungwoo beradu dengan loker.
Tangan kirinya mencengkeram pundak Jungwoo, menahannya tetap di sana. Sementara tangan kanannya mengepal kesal. Sepasang matanya berkilat-kilat marah.
"Kau―!"
Manik itu membulat ketakutan. Kedua tangan Jungwoo memeluk tasnya erat di depan dada. Seakan-akan benda itu adalah satu-satunya pelindung baginya. Jaehyun hampir berharap mendengarnya mendengking.
Saat itu perhatian seluruh siswa yang berada di sekitar koridor tertuju pada mereka berdua. Kerumunan kecil mulai terbentuk. Bisik-bisik mulai terdengar. Tentang siapa pemuda malang yang akan segera menerima amukan Jung Jaehyun, sang pangeran sekolah, kapten tim football, sekaligus presiden kesiswaan Neo International School.
Jaehyun terkenal tidak gampang marah, jadi pasti si pemuda culun ini telah melakukan kesalahan besar, begitu bisik-bisik yang beredar.
Tapi memandangi badan pemuda yang lebih kecil darinya itu ketakutan selama beberapa detik berhasil sedikit meleburkan kemarahannya.
Jaehyun masih memang masih merasakan pipinya terasa perih terkena sabetan strap tas, tapi kini ada perasaan sesak yang menyusup ke dalam dadanya. Ada iba terpancar dari matanya.
Jaehyun menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan nya perlahan.
Cengkeramannya pada pundak Jungwoo melonggar.
"Hei... Kenapa kau lari begitu saja, hm?" Jaehyun bertanya dengan lembut, suaranya sedikit parau setelah berhasil meredam emosinya.
Ia harus berdehem dan menelan gumpalan dalam kerongkongannya. Suaranya tak boleh terdengar seperti dedaunan kering yang berserakan di jalan dan terinjak begitu saja.
Jungwoo memalingkan mukanya, menolak memandangi Jaehyun lebih lama.
Dengan posisi yang seperti ini Jaehyun dapat melihat jelas jejak-jejak air mata membekas pada pipinya. Dia benar-benar menangis, dan dilihat dari ukuran bengkak pada matanya, cukup lama. Mungkin ditambah oleh efek kurang tidur juga, tapi jelas pemuda ini telah menangis.
Sejenak hening. Bahkan bisik-bisik yang tadi terdengar berubah menjadi sunyi. Mereka seperti menanti penjelasan dari keributan ini.
"Jam pertama segera dimulai, idiot." Sepertinya ketakutan yang tadi menguasai Jungwoo telah berangsur-angsur menghilang. Kini sepasang mata itu memicing tajam.
Mendengarnya, sudut mata Jaehyun kembali mengejang, amarahnya kembali tersulut. Kali ini ia tak peduli dengan anggapan siswa-siswa lain nanti.
BUGHH!!!
Kepalan tangan kanan Jaehyun menghantam loker di samping kepala Jungwoo, pukulan yang berhasil mengejutkannya, dan membuat telinganya berdenging, pasti.
Tenaga yang Jaehyun terapkan berhasil membuat loker malang itu―entah nomor berapa dan punya siapa―penyok. Menambah ramai kerumunan yang mengerubungi mereka.
"Kau―!"
Sebelum Jaehyun dapat melakukan tindakan lebih lanjut, terdengar derap langkah tergesa mendekat dan kemudian ia ditarik menjauh.
"Jaehyun, apa yang kau lakukan padanya? Apa yang terjadi?"
Mark Lee.
"Jungwoo, kau tak apa-apa? Apa kau terluka?"
Pemuda yang biasanya tenang itu mulai terdengar panik. Apalagi Jungwoo hanya diam dan tidak merespon pertanyaannya, hanya menggelengkan kepalanya pelan.
Jaehyun sudah mundur dan melipat kedua tangannya di depan dada. Memperhatikan Kim Jungwoo dengan sorot mata tajamnya
"Hei, kau tuli? Itu temanmu yang bertanya. Satu-satunya teman yang kau punya. Cih menyedihkan" Jaehyun mendengus kesal.
Mark terlihat seperti akan memperingatkan Jaehyun tentang kata-kata kasarnya barusan, tapi belum sempat mengatakan apa-apa, Jungwoo mendorongnya menjauh sambil pemuda itu mencari celah untuk pergi. Bukannya berlari ke arah kelas yang harus ia ikuti, ia berlari ke arah yang berlawanan. Menuju pintu keluar.
Jaehyun tidak ingin peduli, sungguh. Tapi sekelebat raut muka Kim Jungwoo yang kembali terluka, bulir air mata baru yang menetes turun; membuat Jaehyun kembali merasa bersalah. Tetap saja, egonya tak membiarkannya pergi. Akhirnya ia hanya diam di tempat memandangi Mark berlari menyusul Jungwoo. Sementara bisik-bisik terdengar semakin ramai berisik.
***
"Apa yang sebenarnya terjadi?! Kenapa kalian bertengkar konyol seperti orang pacaran?!"
Jaehyun melemparkan tatapan tidak tertarik kepada Yuta, ketua komisi disiplin kesiswaan.
Atas usulan Mark, rapat dadakan diadakan usai jam sekolah hari ini. Karena nyatanya pemuda itu tak berhasil membujuk Jungwoo untuk tetap tinggal di kesiswaan; dia bersikeras ingin berhenti dari jabatannya selaku wakil kesiswaan
Jaehyun beranggapan Mark saja yang kurang pandai merayu. Tapi kalau Mark saja tak didengarkan oleh Kim Jungwoo, apalagi orang lain di kesiswaan? Tidak ada yang cukup berani untuk maju dan menarik Kim Jungwoo kembali, atau setidaknya pergi menemui pemuda yang seharian tadi membolos sekolah. Mereka tak mengenal Kim Jungwoo. Bahkan selama tergabung di kesiswaan si pemuda itu tetap saja menutup diri.
"Jaehyun, coba kau jelaskan kejadian yang sebenarnya!"
Jaehyun menghela nafas, menghempaskan tubuhnya ke belakang. Semua pasang mata tertuju ke arahnya, menanti penjelasan resmi darinya.
Sebentar saja telah banyak rumor beredar. Ada yang mengatakan bahwa Kim Jungwoo telah lama menjadi stalker Jaehyun dan pada akhirnya membuat sang pangeran sekolah itu kesal.
Semua kabar simpang siur yang beredar menyudutkan Kim Jungwoo. Tentu saja tak ada yang meletakkan Jaehyun pada posisi terpojok, dia kan didukung oleh hampir seluruh siswa disekolah ini. Meskipun ia bersyukur akan hal itu, tapi tetap saja ada perasaan menyesal terbersit pada dirinya.
Karena Jaehyun tahu dia yang salah.
Tak seharusnya ia begitu marah hingga memaki-maki Jungwoo hanya karena football. Tim football sekolah mereka penting, memang benar. Tapi organisasi kesiswaan prioritasnya lebih tinggi, karena posisinya di atas klub-klub sekolah dan jangkauannya mencakup siswa secara keseluruhan. Bahkan ia tak pernah mengucapkan terima kasih atas kerja keras yang Jungwoo lakukan selama ini.
Padahal semuanya dilakukan atas namanya. Wajar kalau Jungwoo berang dan memutuskan untuk berhenti. Kerja kerasnya tak diapresiasi atas namanya sendiri, melainkan nama Jaehyun. Padahal yang Jaehyun lakukan hanya kegiatan seremoni di depan umum. Padahal bukan ia yang memeras keringat. Padahal meluangkan waktu untuk rapat pun enggan ia lakukan.
Terang saja jika Kim Jungwoo jenuh dengan ketidakadilan semacam ini. Betapa jahatnya ia.
Keningnya berkerut dalam. Ia terdiam dalam waktu yang cukup lama, sementara mereka masih menunggu.
"Jaehyun?"
Dia menoleh ke samping dan bertemu pandang dengan Mark.
Jaehyun tahu ada hal-hal yang hanya ia seorang yang bisa memperbaikinya. Meski ia tidak yakin akan hasilnya, tak ada salahnya mencoba. Bagaimana pun juga dia adalah presiden kesiswaan. Semua pengurus menjadi tanggung jawabnya, termasuk wakilnya.
"Beritahu aku di mana rumah Kim Jungwoo."
Setidaknya sekali ini saja dia ingin melakukan tugasnya dengan benar.
***
Jaehyun tidak begitu terkejut saat mengetahui di mana pemuda itu tinggal. Ia sudah bisa menebak Jungwoo tidak berasal dari keluarga kaya raya.
Penampilannya biasa-biasa saja. Rumah dua tingkat di hadapannya terlihat sederhana, namun halaman depannya tertata rapi. Rimbunan mawar merah tumbuh di balik pagar kayu.
Jaehyun harus memperhatikan setiap langkahnya, memastikan yang ia injak adalah batu pijakan, bukan karpet rumput yang menghijau. Ia yakin ada tulisan 'dilarang menginjak rumput' di sekitar sini, hanya tak terlihat oleh matanya saja.
Jaehyun baru akan mengetuk pintu di hadapannya saat tiba-tiba pintu dibuka ke dalam dan seorang pria mengerutkan alisnya kepada Jaehyun.
Siapa dia? Auranya sama sekali berbeda dengan punya Jungwoo. Tapi kali ini Jaehyun tidak berani berkomentar, muka pria ini terlihat cukup garang.
"Siapa kau?"
Jaehyun tersenyum kikuk. "Ah, maaf mengganggu. Aku Jung Jaehyun, teman Jungwoo. Apa dia ada di rumah?" Dia sedikit berjengit saat kata teman meluncur dari mulutnya.
Sejak kapan dia menjadi teman Kim Jungwoo?
Pria itu menyandarkan punggungnya pada bingkai pintu dan melipat kedua tangannya di depan dada. Ia memandangi Jaehyun sekilas dari ujung rambut hingga ujung sepatu, dengan sepasang matanya yang identik dengan Jungwoo, hanya lebih tajam.
"Oh? Aku tidak tahu dia punya teman lain selain orang bernama Mark itu." Aksen kental mirip dengan Kim Jungwoo menyapa telinga Jaehyun.
"Dia mengurung diri di kamar seharian. Entah apa yang terjadi pada bocah manja itu, membolos sekolah seenaknya. Apa dia pikir sekolahnya gratis? Heh. Kalau uang tumbuh subur di pohon di belakang rumah, maka aku tidak akan peduli dengan apa yang ia lakukan. Tsk."
Jaehyun hanya bisa tersenyum kikuk.
Kemudian pundaknya ditepuk pelan. Pria itu (mungkin dia kakaknya Jungwoo) memandanginya dengan tampang serius.
"Aku tidak punya waktu lagi untuk membujuk anak itu keluar dari kamarnya, bahkan orang bernama Mark itu juga tidak berhasil." Ia mengerling jam yang melingkari pergelangan tangan kirinya.
"Aku harus segera pergi bekerja. Ada makanan di atas meja, pastikan dia memakannya. Dan pastikan dia berangkat sekolah besok. Mungkin dia tak mendengarku tadi, beritahu dia kalau aku tidak akan pulang sampai lusa."
"Ah, tunggu―"
Pria itu hanya melambaikan tangannya, menuju mobil yang terpakir di depan rumah dan segera melaju pergi.
Jaehyun mengerjapkan sepasang matanya dengan bingung. Memandang bergantian ke arah jalanan dan ke dalam rumah yang pintunya dibiarkan terbuka.
Harusnya dia mengajak Mark ke sini. Jaehyun bahkan tidak tahu siapa pria tadi.
Dan dengan mudahnya orang itu mempercayakan rumah ini ―dan Jungwoo― kepadanya.
Sekarang apa yang harus ia lakukan?
Perlahan Jaehyun melongokkan kepalanya ke dalam, mengamat-amati interior rumah ini. Tidak ada yang istimewa.
Hanya perabotan biasa. Bahkan masih terasa lebih monoton dibanding rumahnya. Setidaknya bufet di ruang tengah rumahnya dipenuhi medali-medali dan piala prestasinya dalam bidang olahraga. Tapi bahkan dinding rumah ini dicat putih polos, tanpa lukisan atau potret keluarga jadi pajangan.
Di atas meja juga tak ada foto berbingkai. Padahal Jaehyun ingin tahu siapa saja keluarga Jungwoo, selain pria tadi.
"Jungwoo?"
Dia tidak tahu di mana kamar pemuda itu, jadi ia menjelajahi rumah mengikuti instingnya saja. Lagipula pria tadi secara tidak langsung telah memberinya izin untuk melihat-lihat, kan?
Jaehyun merasa seperti tengah bermain game dan menjelajahi tempat yang baru pertama kali ia datangi. Ia tetap harus waspada. Siapa tahu ada monster yang tiba-tiba muncul di sudut ruangan dan mengajaknya duel. Apakah dia punya opsi 'kabur' kali ini? Mungkin tidak.
Jaehyun membiarkan kedua kakinya membawanya melangkah pergi, menaiki anak tangga menuju lantai dua. Ia tak tahu apa yang harus dia harapkan.
Jungwoo bisa saja semakin kesal saat tahu Jaehyun datang untuk menyeretnya makan dan membujuknya kembali ke kesiswaan.
Dia bisa saja mendiamkannya dan tetap mengurung diri di kamar, hingga kakaknya sendiri yang harus mendobrak pintu untuk menariknya keluar. Bahkan kemungkinan Jungwoo marah besar begitu melihat Jaehyun dan melemparkan benda-benda berat ke arahnya juga dapat terjadi. Bisa jadi dia menelepon kantor polisi, menuduh Jaehyun sebagai pencuri karena seenaknya masuk rumah orang.
Jaehyun meringis dan mempersiapkan diri, terus melangkah dengan hati-hati menyusuri lantai dua yang sepi. Padahal besok dia ada pertandingan melawan Dream.
Harusnya sore ini ia duduk santai di rumah dan beristirahat untuk besok. Bukannya berada di sini untuk minta maaf dan memohon Kim Jungwoo kembali. Ini sudah bisa disebut sebagai pengorbanan, kan?
Kim Jungwoo harus tahu itu. Jungwoo harus tahu kalau Jaehyun tidak seegois yang ia kira. Yang hanya mementingkan football dan mengesampingkan urusan lain.
Jungwoo harus tahu kalau Jaehyun menyesal dan ia peduli.
Pintu di hadapannya terbuka ke dalam. Kali ini bukan sosok pria garang yang muncul dari sana, melainkan Jungwoo.
Sepasang matanya membulat kaget. Jaehyun juga kaget, tidak menyangka Jungwoo akan keluar sendiri dari tempat persembunyiannya.
"Jungw―"
Tanpa pikir panjang Jungwoo berniat membanting pintu tertutup dan kembali mengurung diri di dalam.
Namun sebagai atlet sekolah, Jaehyun jauh lebih lincah darinya. Sebelum Jungwoo dapat menutup pintu seutuhnya, Jaehyun telah menyelipkan kaki kanannya pada bingkai, sementara lengannya menahan daun pintu, melangkah maju.
Mereka terlibat dalam adu kekuatan yang tidak imbang. Karena, jelas Jaehyun lebih kuat darinya. Dengan sekali dorong―kali ini Jaehyun sungguh-sungguh dan mengeluarkan tenaganya―ia berhasil membuat pintu terbuka lebar. Bahkan hingga membuat Jungwoo terhuyung ke belakang, hampir saja terjatuh.
"Hei―"
"Apa yang kau lakukan di sini?!" Jungwoo menyalak marah. Tangan kirinya berpegang pada pinggiran meja, menyeimbangkan diri.
Jaehyun waspada kalau-kalau Jungwoo akan meraih vas bunga dan melempar benda itu ke arahnya.
"Aku ingin minta maaf." Dan ia kira akan sulit mengatakannya. Karena, jujur saja, Jaehyun tak terbiasa meminta maaf.
Dia cukup memamerkan senyuman cemerlangnya dan semua orang akan melupakan kesalahannya. Salah satu dari banyak keuntungan menjadi orang populer seperti dirinya. Jadi dia menambahkan gurat senyum pada wajahnya. Berharap pesonanya dapat melumerkan hati seorang Kim Jungwoo dan membuat wakilnya itu memaafkannya, menarik keputusannya untuk berhenti, kemudian mereka akan berakhir hidup bahagia selamanya. Tamat.
Tentu saja Jaehyun terlalu banyak menonton film Disney.
Karena hanya sunyi yang merebak di antara mereka. Alis Jungwoo mengernyit. Pandangannya teralihkan, tertuju pada rangkaian bunga mawar di atas meja.
Sementara Jaehyun, dia masih berdiri di ambang pintu dengan tangan kanan berpegang pada kenop. Sepasang matanya terfokus pada Jungwoo. Menunggu respon darinya.
Anggukan kepala, gelengan, mata yang memicing tajam, dengusan; apa pun. Apa pun selain diam. Karena ia begitu buruk dalam membaca situasi, apalagi membaca pikiran orang. Lagipula Kim Jungwoo begitu sulit ditebak. Ia begitu misterius dan tidak terkenal.
Pada akhirnya Jaehyun menghela nafas. Pegangannya pada kenop pintu mengerat.
"Aku minta maaf." Ia memandangi satu titik di lantai yang tiba-tiba terlihat menarik untuk diperhatikan. Keningnya berkerut.
"Aku tahu aku keterlaluan. Tidak seharusnya aku berkata seperti tadi pagi. Aku minta maaf, Jungwoo."
Jungwoo masih diam, sementara Jaehyun masih menunggu.
Jujur saja, dia paling tidak suka dibuat menunggu. Padahal si pemuda ini hanya tinggal memaafkannya dan semua beres. Apa susahnya?
Jaehyun masih harus bersiap untuk pertandingan besok. Dia tidak boleh kelelahan hanya karena bosan menunggu jawaban dari Jungwoo. Lihat saja nanti, kalau sampai besok ia kalah, maka Kim Jungwoo yang salah.
"Jungwoo, kau tahu besok aku ada pertandingan dengan sekolah Dream, kan?"
Kalau harus menunggu, Jaehyun tidak tahu sampai kapan. Terlebih dia tidak dikenal sebagai orang yang sabar. Karena waktu adalah uang. Tentu Kim Jungwoo tahu hal sesederhana itu, kan? Tapi kalau ia lupa, Jaehyun tidak keberatan untuk mengingatkannya.
Kali ini Jungwoo mengangkat kepalanya. Kedua pasang mata mereka bertemu.
"Jadi, apa kau akan memaafkanku? Karena, kau tahu, aku benar-benar menyesali kata-kata kasarku tadi pagi. Aku hanya terbawa emosi. Kau mengerti, kan?" Jaehyun tidak bermaksud untuk mendesak Jungwoo.
Kalau saja besok ia bebas, Jaehyun ingin sekali menghabiskan waktunya berjam-jam untuk merayu orang ini. Tapi dia tak punya waktu lagi. Saat ini juga, atau tidak sama sekali.
"Jungwoo, hei. Aku minta maaf."
Masih belum ada tanggapan.
"Jungw―"
"Kau persisten sekali, Jaehyun." Jungwoo menghela nafas.
Jaehyun kembali memamerkan senyumannya. Tentu saja pesonanya tak terelakkan. Memang seperti itu kenyataannya. Tentu saja hati es seorang Kim Jungwoo dapat dilumerkan olehnya.
"Jadi, kau memaafkanku, kan?" tanya Jaehyun memastikan.
Jungwoo menganggukkan kepalanya pelan. Melihatnya, senyuman Jaehyun melebar.
"Terima kasih, Jungwoo. Aku tahu kau pasti mengerti." Jaehyun menghela nafas lega.
"Jadi, kita bertemu di ruang kesiswaan besok? Sebelum aku bertanding dengan Dream?"
Manik Jungwoo memandanginya. Jungwoo mendengus, berjalan mendekat ke arah Jaehyun, kemudian berdiri di depannya.
Jaehyun masih memasang senyuman pada wajahnya.
Mungkinkah Kim Jungwoo akan memberi ciuman-penerimaan-maaf padanya? Dia tidak menyangka pemuda ini bisa bersikap begitu manis.
"Memang aku memaafkanmu, Jaehyun. Tapi bukan berarti aku bersedia menjadi pesuruhmu lagi. Pulanglah."
Dia belum sepenuhnya mencerna kata-kata Jungwoo, saat didorong keluar dengan paksa dan pintu itu dibanting tepat di depan mukanya. Sepasang matanya mengerjap tak mengerti.
"J-Jungwoo! Hei, apa maksudmu?! Jungwoo, buka pintunya!" Jaehyun berakhir menggedor-gedor pintu dengan kesal begitu menyadari apa yang dikatakan oleh Jungwoo.
"Bodoh! Pergi dari rumahku dan urus saja tim footballmu itu! Aku akan memanggil polisi kalau kau terus membuat keributan!" Jungwoo berteriak dari dalam.
"Jungwoo, hei! Buka pintunya! Apa maksudmu?! Aku tidak memintamu menjadi pesuruh! Hei, Jungwoo! Kim Jungwoo!"
Bukan Jung Jaehyun namanya kalau tidak keras kepala.
Selama beberapa saat ia terus menggedor-gedor pintu di hadapannya, sambil menyeru kepada Jungwoo meminta penjelasan. Karena dia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran pemuda itu. Katanya dia telah dimaafkan, lalu kenapa tidak mau kembali ke kesiswaan? Padahal yang Jaehyun butuhkan bukan penerimaan maaf.
Dia membutuhkan Kim Jungwoo.
Membutuhkan Jungwoo sebagai tangan kanannya, sebagai orang yang dapat ia percaya. Lebih tepatnya, membutuhkan Jungwoo untuk menyelesaikan semua tugas yang tak sempat ia kerjakan.
Apakah Kim Jungwoo tidak tahu kalau keberadaannya begitu berarti?
"Jungwoo, ayolah! Jangan bercanda, ini tidak lucu! Kau harus kembali ke kesiswaan! Kami semua membutuhkanmu. Aku membutuhkanmu! Jungwoo!"
Apa yang akan dia lakukan tanpa orang itu? Jaehyun tidak mungkin bisa mengatasi semuanya. Bagaimana dengan tim footballnya? Tahun ini ada banyak pertandingan penting yang harus ia menangkan. Perhatiannya tidak boleh terbagi, atau konsentrasinya akan pecah dan buyar. Dia tidak mungkin membiarkan timnya terpuruk dalam kekalahan. Tapi bagaimana dengan badan kesiswaan? Ada banyak program kerja yang menanti eksekusi.
Apa yang bisa Jaehyun lakukan tanpa Kim Jungwoo?
"Jungwoo, kumohon padamu, kembalilah ke kesiswaan. Jungwoo…"
Tidak ada balasan. Jungwoo di dalam sana hanya bungkam. Padahal kalau mereka beradu mulut, Jaehyun pikir masih ada kemungkinan ia akan menang.
Entahlah, paling tidak ia akan merasa lebih baik karena tidak diacuhkan. Tidak seperti sekarang. Dia seperti mengemis-ngemis pada pintu di hadapannya. Menyedihkan. Seorang Jung Jaehyun tidak pernah memohon, ia bisa mendapatkan segalanya dengan mudah.
Dan ia kira mendapatkan hati Jungwoo, membujuknya untuk kembali, akan sama mudahnya.
Jaehyun pulang setelah hari gelap dan masih tidak ada tanda-tanda kehidupan dari balik pintu di hadapannya.
Yang tak ia sadari, sepasang mata mengintip dari balik tirai warna krem lembut, mengikuti sosoknya hingga menghilang dari pandangan.
...TBC...