NovelToon NovelToon
CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Cinta Murni
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Leova Kidd

Guliran sang waktu mengubah banyak hal, termasuk sebuah persahabatan. Janji yang pernah disematkan, hanyalah lagu tak bertuan. Mereka yang tadinya sedekat urat dan nadi, berakhir sejauh bumi dan matahari. Kembali seperti dua insan yang asing satu sama lain.

Kesepian tanpa adanya Raga dan kawan-kawannya, membawa Nada mengenal cinta. Hingga suatu hari, Raga kembali. Pertemuan itu terjadi lagi. Pertemuan yang akhirnya betul-betul memisahkan mereka bertahun-tahun lamanya. Pertemuan yang membuat kehidupan Nada kosong, seperti hampanya udara.

Lantas, bagaimana mereka dapat menyatu kembali? Dan hal apa yang membuat Nada dibelenggu penyesalan, meski waktu telah membawa jauh kenangan itu di belakang?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leova Kidd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pagi Itu

 

Beberapa hari setelah peristiwa tawuran, Raga hilang bak tertelan bongkahan bumi. Batang hidungnya pun tak terlihat sama sekali. Yang biasanya setiap hari muncul menggangguku, ini menampakkan sosoknya sedikit pun tidak.

Sementara aku adalah orang yang terbiasa mendewakan gengsi. Aku tidak suka mengemis perhatian dari seseorang yang memang tidak aku inginkan. Maka, kudiamkan saja apapun yang terjadi.

Senin, hari pertama menjelang kembali ke rutinitas padat. Hari pertama aku memasuki tahun ajaran baru di kelas 2. Hari pertama aku memiliki adik kelas. Dan hari pertama aku menjadi middle senior.

Pukul 5 pagi, seharusnya dan biasanya aku sudah tiba di pemberhentian bus daerah Te'an. Namun, hari itu kami sekeluarga justru baru terjaga dari lelapnya buaian udara subuh.

Ya, kami terlambat bangun. Otomatis semua gedubrakan sebab khawatir sekolahku terlambat. Aku mandi ala bebek—siram-siram kelar, tanpa bersabun. Selesai mandi, berpakaian pun dengan terburu-buru sambil disuapi makan oleh Ibu. Ibuku memang senantiasa membiasakan aku untuk sarapan pagi dulu sebelum menghabiskan waktu seharian beraktivitas di luar rumah.

Semua pekerjaan yang diburu waktu tersebut berakhir tepat pukul setengah enam. Bapak sudah siap di depan pagar bersama becak kesayangan, siap mengantarku menuju halte dengan setengah ngebut karena frustrasi melihat kepanikan anaknya dan mendengar omelan sang istri. Padahal, Ibu tuh tipikal perempuan sabar loh. Tapi pagi itu bisa ngomel panjang lebar kayak petasan renceng.

Ketika sudah menempuh hampir separuh perjalanan, tepatnya di pertigaan Jalan Merak, sebuah motor menyalip dari sebelah kiri, lalu berhenti di tepi jalan. Pengendara berseragam SMA turun dan membuka kaca helm. Ah, aku tahu siapa dia. Hafal juga dengan motornya.

Raga!

“Pak, stop!” pintanya dengan nekat, menghentikan laju becak.

Secara refleks, Bapak pun mengerem becaknya.

“Ada apa, Mas? Ini aku kesiangan,” protesku dengan mimik wajah penuh rasa cemas.

Sudah terbayang kalau sampai terlambat tiba di sekolah, maka aku harus mengikuti upacara bendera dari luar pagar. Malunya itu loh. Gedung sekolahku berada di tepi jalan raya yang padat lalu lintas. Otomatis akan menarik perhatian para pengendara jalan kalau sampai hal itu terjadi.

“Aku antar,” ceplos Raga membuatku tercengang beberapa saat. Cowok itu beralih menatap Bapak. “Boleh kan, Pak? Nggak pa-pa, kan? Saya antar Nada ke sekolah, ya?”

Bapak tersenyum aneh. Antara lega, tapi segan. “Ya, kalo nggak merepotkan ....”

“Nggak, Pak! Nggak! Nggak repot sama sekali,” sahut Raga cepat.

Cowok itu mengulurkan tangan untuk membimbing bahuku supaya turun dari jok becak. Aku yang masih kebingungan, mau tak mau menurutinya. Pun saat dia menarik tanganku menuju motor, lalu mengulurkan sebuah helm.

“Pake helm!”

Bagai kerbau dicucuk hidungnya, aku mengikuti semua yang Raga instruksikan.

Namun, mendadak aku teringat sesuatu.

"Eh, sebentar!" seruku lirih.

Tanpa menunggu persetujuan Raga, aku berlari menghampiri Bapak yang masih terpaku menatap kami dari belakang becak. Aku lupa belum pamit. Sebelum pergi ke mana pun, mencium punggung tangan orang tua merupakan keharusan bagiku.

 

🍁🍁

 

Motor Raga meliuk-liuk di antara kendaraan lain, dengan kecepatan yang membuat aku hanya bisa memejamkan mata sembari istigfar. Dengan posisi duduk menyamping sebab memakai rok seragam, menempuh perjalanan sejauh 27 kilometer, pinggang rasanya seperti mau patah.

Terbayang kan bagaimana tidak enaknya posisi dibonceng motor sport yang jok belakangnya nungging seperti ekor capung? Terlebih duduk miring. Jarak jauh pula. Apalagi yang ngebonceng cuma teman. Mau pegangan sungkan, nggak pegangan takut terlempar. Soalnya nih motor kecepatannya gila-gilaan.

Itu kali pertama Raga memintaku berpegangan di pinggangnya. Padahal, dalam kondisi demikian, tanpa disuruh pun aku juga auto memeluk dia erat sambil menyembunyikan wajah di balik punggung. Untung Raga memiliki bahu selebar sayap malaikat. Nyaman digunakan untuk berlindung.

“Kok Mas Raga kebetulan banget lewat di situ tadi?” tanyaku tepat di belakang tengkuk cowok itu, di antara deru angin yang kami tebas.

Raga menoleh sebentar, tapi tak menjawab apa-apa. Mungkin dia menjawab, tapi aku tidak mendengar. Soalnya helm yang dia pakai helm full face.

Akhirnya aku memilih diam. Berbincang di jalan dalam posisi menyetir kendaraan, itu akan sangat membahayakan. Lebih baik diam dulu, biarkan dia fokus. Untuk bertanya kan bisa nanti kalau sudah sampai sekolah. Walaupun sebetulnya aku juga gagal paham. Tumben sepagi itu Raga sudah mengenakan seragam abu-abu putih rapi, komplit dengan sepatu dan tas. Padahal, baru pukul setengah enam dan sekolah dia tidak terlalu jauh. Setidaknya masih di Kota Madiun, yang dapat ditempuh dalam waktu 10 menit, bahkan bisa kurang.

 

 🍁🍁

 

Setengah jam kemudian, tibalah kami di depan gedung sekolahku. Raga melepas helmnya sendiri, lantas membantuku melepas helm yang aku pakai. Helm tersebut adalah helm yang sama yang pernah aku pakai bersama Kevin beberapa waktu lalu. Helm yang kunci pengaitnya rusak.

“Makasih ya, Mas,” kataku lirih seraya meliriknya melalui sudut mata.

“Makasih untuk?”

“Ya, makasih sudah diantar.” Aku tersenyum, dan dia membalas ucapanku dengan senyum juga. “Aku nggak tahu jam berapa tiba di sekolah kalau tadi nggak ada Mas Raga.”

“Mau nggak tiap hari Mas Raga anter jemput? Jadi nggak perlu lagi bangun pagi-pagi.”

Aku terkekeh lirih. “Nggak usah. Jauh. Kasihan Mas Raga,” tolakku halus.

“Kalo Adek mau, aku justru seneng.”

“Jangan!” sergahku cepat, “aku nggak mau bikin repot.”

“Siapa pula yang repot?”

“Anyway ... tadi kebetulan banget Mas Raga lewat?” Aku mengalihkan pembicaraan yang mulai membuatku tersipu kebaperan. “Mana sudah pakai seragam. Memangnya Mas Raga biasa sepagi itu berangkat sekolah?”

Raga tersenyum lebar. “Enggak, lah. Gila aja setengah enam berangkat.”

“Jadi?”

“Tadi tuh Mas sengaja datang ke rumah Adek. Jam 5 sudah di depan.”

“Depan rumahku?” Aku terbelalak keheranan. Perasaan tadi depan rumah sepi-sepi saja, tidak ada siapa-siapa.

“Rumah Pak Mono.”

Pak Mono adalah tetanggaku yang merupakan Kepala Sekolah Raga.

“Nggak kelihatan, kehalang tanaman. Adek nggak mungkin lihat," lanjut Raga menjelaskan.

“Eh? Masa, sih?” Dahiku mengernyit tajam.

Perasaan tanaman di depan rumahku tidak menghalangi jalan, deh. Orang cuma kaktus. Ada bunga bougenville sih, tp Bapak selalu merapikannya kok. Misal Raga ada di depan rumah Pak Mono, seharusnya terlihat waktu aku dan Ibu keluar pagar.

“Aku tu emang sengaja, tauk! Sengaja pengen nganter, pengen tahu sekolah Adek.”

Aku tertawa mengikik. “Nekat banget, jam 5 pagi nyamperin anak gadis!”

“Tiap hari begitu. Adek aja yang nggak tahu.”

“Hah? Gimana?”

“Sejak peristiwa malam itu, Mas Raga tuh malu ketemu orang tua Adek. Tapi Mas kangen, pengen ketemu Adek. Kepaksa deh, pagi-pagi ke sana, ngeliatin Adek pergi ke Pasar sama Ibu dari kejauhan.”

Mendengar kalimat panjang Raga, seakan ada yang berdesir di ulu hati. Aku merasakan sesuatu yang aneh. Ketakutan yang tak kutahu pasti karena apa dan terhadap apa. Rasa khawatir yang aku sendiri tidak mengerti apa yang aku khawatirkan.

Aku melihat arloji di pergelangan tangan. Pukul 06.25 WIB. Masih terlalu pagi buatku, tapi bisa jadi kesiangan untuk Raga pergi ke Sekolahnya. Dia harus menempuh perjalanan 27 kilometer lagi. Bahkan lebih jika menuju ke gedung sekolah dia.

Tiba-tiba ide itu muncul. Ide untuk menghentikan ocehan pemuda tersebut. Makin lama kalimat-kalimatnya kian mengerucut menuju satu arah, yakni posesif. Dia berkata seolah aku ini sudah menjadi miliknya. Pokoknya overthinking banget saat itu. Dibilang sok cantik, memang iya!

“Mas, sudah setengah tujuh loh.”

“O iya, hampir lupa aku harus sekolah,” tukasnya seraya bergegas mengenakan kembali helm biru mudanya.

“Makasih ya, sekali lagi. Hati-hati, jangan ngebut.”

“Oke!” Dia menautkan jari jempol dan telunjuk membentuk huruf O. Sejurus kemudian, dibukanya kaca helm. “Nanti pulang jam berapa? Mau dijemput?”

“Eh? Ng-nggak, nggak usah!” sahutku dengan gugup. Aku tahu, sekali bersedia dijemput olehnya, maka akan ada kemungkinan dia nekat menjemput lagi di lain waktu. Itu yang aku tidak mau. “Naik bus aja, Mas.”

“Ya sudah, aku tunggu di tempat biasa.”

Tempat biasa yang dimaksud adalah gapura dekat rumah.

“I-iya.”

“Eh, salim dulu!” perintahnya sembari mengulurkan tangan kanan. Aku nyengir mendengar permintaan aneh tersebut. “Ayo! Buruan!”

Terpaksa kuturuti, menerima uluran tangannya.

“Cium!” Kali ini aku hampir marah. Mataku mendelik lebar. Kulit wajahku serasa terpanggang. “Tangannya,” imbuh cowok itu kemudian seraya terkekeh geli. Dia menggoyang-goyangkan tangan kanan yang tengah menggenggam tanganku.

Dengan setengah kesal, aku menuruti permintaan aneh tersebut. Badanku setengah membungkuk, mencium punggung tangan Raga sekilas dengan gerakan sewot. Raga tertawa terbahak-bahak, tampak puas sekali berhasil mengerjai aku.

Rasanya jengkel dan malu banget. Teman-teman yang mulai berdatangan, memandangi kami dengan tatapan kepo. Mereka tahu aku tidak punya kakak lelaki. Jika saat itu ada cowok muda mengantarku ke sekolah dengan motor Ninja, pasti mereka mengira itu adalah kekasihku. Ditambah lagi pakai acara cium-cium tangan segala macam gaya pacaran remaja pada zaman itu. Sangat mustahil mereka berpikir anak lelaki berseragam SMA tersebut adalah Bapakku.

 

🍁🍁

 

 

 

1
leovakidd
👍
Mugini Minol
suka aja ceritanya
leovakidd: masya Allah, makasih kakak 😍
total 1 replies
Kiran Kiran
Susah move on
leovakidd: pasukan gamon kita
total 1 replies
Thảo nguyên đỏ
Mendebarkan! 😮
leovakidd: Thanks
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!