Keidupan normal Karina gadis 17 tahun yang baru saja putus cinta seketika berubah, Dengan kedatangan Dion yang merupakan artis terkenal, Yang secara tidak terduga datang kedalam kehidupan Karina, Dion yang telah mempunyai kekasih harus terlibat pernikahan yang terpaksa di lakukan dengan Karina, siapakah yang akan Dion pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehidupan Baru, Masalah Baru
Namun, tak lama setelah Karina masuk ke kamarnya, ponsel Dion berdering. Dia melihat layar ponsel dan menghela napas sebelum menjawab panggilan itu.
"Dion! Lo ke mana aja? Seminggu nggak ngabarin gue, semua jadwal lo harus di-pending, gue dimarahin sama produser! Lo kena finalty!" omel suara bising di ujung sana, dengan nada yang jelas sekali milik Boim, manajernya yang cerewet.
"Aduh, Boim, sorry banget. Kemarin tuh banyak banget drama. Besok lo ke apartemen aja, kita ngobrol langsung," jawab Dion sambil mengusap wajahnya, merasa lelah dengan segala omelan yang menimpanya.
"Lo tuh kebiasaan banget, ya—" Namun sebelum Boim sempat melanjutkan, Dion buru-buru memutuskan teleponnya, merasa pusing dengan suara bernada tinggi manajernya itu. "Dih, si Dion ini kebiasaan deh!" omel Boim kesal setelah panggilannya diputus sepihak, tapi tak bisa berbuat banyak
...****************...
Keesokan Harinya
Ting tong... suara bel apartemen berbunyi, memecah keheningan pagi. Karina yang sedang sibuk membuat sarapan mengerutkan dahi. "Aduh, siapa sih? Masih pagi udah ada tamu," gumamnya sambil mengelap tangannya dan berjalan menuju pintu.
Saat ia membuka pintu, seorang pria berdiri di sana. "Selamat pagi, ada perlu apa ya, Mas?" tanya Karina sopan, meskipun sedikit bingung karena tidak mengenali pria tersebut. Pria itu, Boim, tertegun melihat sosok Karina. "Kamu siapa?" tanyanya dengan nada kaget, matanya membelalak karena ia tak pernah melihat wanita itu di apartemen Dion sebelumnya.
Karina juga bingung, tak tahu harus menjawab apa. "Emm..." ia mencari kata-kata, tapi tak sempat menemukan jawabannya. Beruntung, di saat yang tepat, Dion muncul dari arah dalam apartemen. "Eh, Boim! Masuk, masuk," ucap Dion santai, menghampiri mereka berdua dengan senyuman.
Boim memandang Dion dengan tatapan penuh tanya, lalu melirik Karina sekali lagi sebelum akhirnya masuk ke dalam apartemen. "Ini apaan sih, Dion? Gue seminggu nggak ada kabar, tiba-tiba ada cewek di apartemen lo. Ada apa sebenarnya?" tanya Boim dengan nada penasaran, meski diselipi kekesalan.
Dion tersenyum lebar, berusaha meredakan ketegangan. "Santai, Boim, gue jelasin nanti. Lo sarapan dulu, Karina lagi bikin sarapan tuh," katanya, mencoba mengalihkan pembicaraan dengan suasana yang lebih ringan.
Karina hanya tersenyum canggung, sementara Boim masih tampak kebingungan, tapi dia akhirnya mengangguk setuju, meskipun rasa penasarannya belum terjawab sepenuhnya. "Ya ampun, Dion! Baru balik dari Bali udah bawa cewek baru aja," sindir Boim sambil duduk di kursi dengan gaya khasnya yang centil. Matanya menyipit, menatap Karina yang sibuk di dapur.
Dion, dengan santainya, menjawab, "Dia istri gue." Boim hampir tersedak mendengar jawaban itu. "WHAT? Istri? Kapan lo kawin? Kok bisa? Kan lo masih sekolah!" serunya, matanya terbelalak lebar penuh rasa penasaran. Dion menghela napas panjang, terlihat malas untuk menjelaskan.
"Panjang ceritanya, Im. Gue sebenernya males bahas masalah ini."Mendengar nada Dion yang serius, Boim langsung panik. "Aduh, ini gawat banget! Nggak boleh sampai publik tahu! Karir lo bisa ancur lebur, Dion! Gimana dong?" tangis Boim, hampir histeris.
"Makanya, itu tugas lo. Lo harus tutupin semua ini dari produser, publik, dan satu lagi, jangan sampai Alisha tahu," Dion menegaskan, berharap Boim bisa menjaga rahasia. Boim menggelengkan kepalanya sambil memijat pelipisnya.
"Ya ampun, Dion, lo bikin gue pusing aja. Tapi lo beneran cinta sama cewek tadi?"Dion menatap Boim sejenak, lalu menjawab dengan datar, "Gue sama dia nggak beneran kawin. Ini cuma formalitas buat orang tua kita. Kita tinggal bareng, tapi selebihnya, ya, masing-masing urusan pribadi."Boim melotot, lalu buru-buru bertanya lagi, "Terus Alisha gimana?"
Dion terdiam sejenak, lalu berkata, "Hubungan gue sama Alisha harusnya aman, asal dia nggak tahu soal nikah ini."Saat itu, Karina mendekat ke meja, tersenyum dan berkata, "Dion, sama om-nya, ayo makan dulu." Dia mengajak mereka berdua untuk sarapan. Boim yang mendengar dirinya dipanggil 'om' langsung protes, "Panggilnya jangan om! Emang gue keliatan kayak om-om? Panggil nama aja, BOIM!"
Karina tersenyum kaku, merasa sedikit bingung, "Oke, Boim."
Mereka kemudian duduk di meja makan. Boim menatap makanan di depannya dengan kagum. "Wah, banyak banget sarapannya! Lo pinter masak juga, ya!" Boim mengagumi masakan Karina, sementara Karina hanya tersenyum malu malu.
"Silakan dimakan, semoga suka," ujar Karina sambil menyajikan makanan untuk Boim.
Saat menikmati sarapan, Boim masih penasaran dan bertanya, "By the way, nama lo siapa sih? Kita belum kenalan. "Nama saya Karina, om," jawab Karina ramah. Boim langsung berdecak kesal. "Om lagi, om lagi. BOIM, Karina, bukan om!" Karina tertawa kecil, sedikit canggung. "Ah, susah, soalnya Boim lebih tua. Masa panggil nama, kan nggak sopan."Boim tersenyum geli, lalu berkata, "Yaudah, panggil kakak aja. Kan gue masih muda!"
Karina tersenyum manis. "Oke, kakak," ucapnya sambil terkikik. Boim mengangguk puas, akhirnya mendapat panggilan yang dia inginkan. Setelah menikmati sarapan dengan lahap, Boim berpamitan untuk pulang. "Dion, jangan lupa besok siang, pulang sekolah langsung ke lokasi syuting," ucapnya mengingatkan Dion sebelum beranjak pergi.
Namun, sebelum benar-benar keluar dari apartemen, Boim berbisik kepada Dion, "Istri lo lebih cantik dari Alisha, menurut gue." Dion hanya tersenyum tipis, tapi perkataan Boim terus terngiang-ngiang di pikirannya. Ia tak bisa mengabaikan kenyataan bahwa Karina memang memiliki pesona tersendiri. Tak lama setelah Boim pergi, Karina keluar dari kamar, sudah rapi dan tampak anggun dengan pakaian yang dipakainya.
"Rin, lo mau kemana?" Dion bertanya, penasaran melihat Karina yang tampak berbeda pagi itu.
"Mau ke butik ibu," jawab Karina singkat sambil merapikan tasnya. "Mau dianterin gak?" Dion menawarkan tumpangan, meski ia tahu Karina biasanya menolak. "Nggak usah, gue bisa pesan ojek online," tolak Karina dengan sopan. "Oh, oke. Hati-hati ya," ucap Dion sambil mengangguk, lalu kembali ke kamarnya.
Karina menuju butik ibunya dengan satu tujuan: meminta uang. Sesampainya di sana, Karina langsung menghampiri ibunya yang sedang membereskan baju. "Bu, Karina mau minta uang," rengek Karina dengan nada manja. Ibunya menatapnya sekilas, lalu tersenyum tipis. "Lho, kok minta sama ibu? Kan kamu udah punya suami. Minta dong sama Dion," jawabnya sambil tetap melipat pakaian.
Karina menghela napas panjang, merasa kesal. "Yaudah kalau ibu nggak mau kasih, aku pergi dulu," ucapnya dengan nada kecewa, lalu meninggalkan butik tanpa pamit lebih lanjut. Setelah keluar dari butik, Karina merasa frustrasi. Dia berjalan ke taman terdekat untuk menenangkan pikirannya.
Di sana, sambil memandang sekitar, Karina berpikir keras. Ia tak ingin bergantung pada Dion, tapi juga tak ingin terus-terusan mengandalkan orang tuanya. "Aduh, gue harus ngapain ya? Gue gak boleh minta uang dari Dion," gumamnya sambil menggulirkan layar ponselnya, mencari inspirasi.
Lalu sebuah ide muncul di benaknya. "Ah iya, gue bisa kerja part time di kafe!" Karina tersenyum penuh semangat. Tanpa buang waktu, ia segera pergi ke warnet terdekat untuk membuat surat lamaran. Setelah menyusun lamaran secara online, ia mengirimkannya ke beberapa kafe yang sedang membuka lowongan.