Ailen kaget setengah mati saat menyadari tengah berbaring di ranjang bersama seorang pria asing. Dan yang lebih mengejutkan lagi, tubuh mereka tidak mengenakan PAKAIAN! Whaatt?? Apa yang terjadi? Bukankah semalam dia sedang berpesta bersama teman-temannya? Dan ... siapakah laki-laki ini? Kenapa mereka berdua bisa terjebak di atas ranjang yang sama? Oh God, ini petaka!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rifani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 22
Brruukk
Tubuh Ailen jatuh di atas kasur setelah didorong paksa oleh Derren. Sorot mata pria ini datar, membuat Ailen terus menelan ludah dan merasa takut.
"Kau bilang di depan dia kalau aku ini adalah anak kucing?" Derren menyeringai. "Aku penasaran anak kucing jenis apa yang bisa membuatmu mend*sah sepanjang malam. Bisa beritahu apa rasnya?"
"D-Derren, tadi aku hanya bercanda. Aku ... aku tidak mungkin memberitahu dokter Fredy kalau kau sedang tidur di kamarku," jawab Ailen terbata-bata. Dia serasa sedang berada di padang gersang yang sangat panas dan kering. Sungguh.
"Apa kau bilang? Dokter Fredy? Cih, beraninya kau menyebut nama bedebah itu dengan bibirmu. Minta dihukum apa bagaimana?"
Glukk
(Bagaimana ini? Derren marah. Harus dengan cara apa membujuknya? Tatapannya sangat mengerikan. Seperti srigala kelaparan yang sedang mengintai mangsa untuk disantap. Hiii)
"Jawab, Ailen. Kau sengaja mencari masalah agar aku menghukum bibir nakalmu inikan?" desak Derren sembari naik ke atas kasur. Melihat Ailen beringsut menjauh,dengan cepat dia menahan kakinya lalu menindih tubuhnya. Derren tersenyum. "Mau ke mana, hm? Ingin melarikan diri? Tidak akan bisa, sayang. Hanya di pelukanku saja kau bisa bersembunyi."
"Tolong jangan begini. Kau menakutiku," cicit Ailen memohon. Tatapannya memelas seperti anak anjing yang baru lahir.
"Kau menakutiku," ucap Derren meniru ucapan Ailen. Setelah itu jari tangannya bergerak mengusap bibir merah yang menjadi favoritnya. "Jangan takut, aku belum akan memakanmu. Lain kali jangan pernah gunakan bibir ini untuk bicara dengannya lagi. Karena jika sampai ketahuan olehku, di hadapannya langsung aku akan mengeksekusimu. Paham?"
"Ini ancaman?"
"Iya. Kenapa memangnya?"
"Kenapa lebih terdengar seperti pelecehan?"
"Pria mana yang akan melecehkan wanitanya sendiri?"
"Kau. Kau orangnya," Dengan berani Ailen menuduh Derren.
"Aaa, jadi sekarang kau sudah sadar kalau aku ini adalah pria-mu?"
Hening. Ailen terpaku saat menyadari kesalahan ucapannya. Mengapa bisa lupa? Mengapa otaknya lupa mencerna? Astaga, sekarang ucapannya jadi boomerang untuk diri sendiri. Ailen merutuk dalam hati.
(Bodoh sekali aku. Kenapa bisa sampai kelepasan bicara sih. Sekarang Derren jadi semakin merasa punya hak atas tubuh dan perasaanku 'kan? Aahhhh)
"Ailen, cemburu itu tanda sayang. Kalau tidak, aku bahkan tak akan peduli meski menyaksikan langsung dirimu menggoda banyak pria. Tetapi karena aku mencintaimu dan juga tipe pria posesif, aku akan memaksamu agar menjaga jarak dari bedebah itu. Patuh ya?" tukas Derren lembut, tapi penuh penekanan. Di dunia ini tidak akan ada satu pria pun yang rela melihat wanitanya berbincang terlalu lama dengan pria lain. Apalagi diantara mereka tidak ada hubungan kerabat. Mustahil ada pertemanan murni antara pria dan wanita. Pasti ada salah satunya yang memendam rasa.
"Orang itu seniorku di rumah sakit. Kedekatan kami normal mengingat dulu dokter Fredy-lah satu-satunya dokter yang mau berteman denganku. Aku berhutang jasa padanya," sahut Ailen mencoba memberi pengertian pada Derren. Juga karena tak rela diminta menjauhi pria yang disukainya.
"Bayar cash saja. Kau butuh berapa untuk melunasi jasa-jasa yang sudah dia beri?"
"Aku tahu kau kaya, tapi tidak semua hal harus diselesaikan dengan uang. Jasa dan kebaikan orang lain tak bisa dinilai dengan uang, Derren. Aku tersinggung."
Untuk pertama kalinya Ailen berani menunjukkan emosi di depan Derren. Dia merasa tak adil dengan sikap pria ini yang semakin semena-mena. Padahal, tidak ada ikatan apapun diantara mereka selain karena pernah menjadi partner ranjang. Eh, tunggu tunggu. Partner ranjang? Astaga.
"Kenapa, sayang? Wajahmu kok tiba-tiba berubah panik begini. Apa yang terjadi?" tanya Derren penasaran.
"Em itu ... aduh, bagaimana caraku menyampaikan ya?"
"Ya tinggal disampaikan saja langsung di depanku. Tenang, aku akan menjadi pendengar yang baik."
Bola mata Ailen tak henti bergerak melirik ke kanan kiri ketika diminta untuk bicara. Keraguan serta kegelisahan tercetak jelas di sana. Reaksi ini jelas memicu keheranan di diri Derren. Ada apa? Bukankah tadi semuanya baik-baik saja?
"Ailen, bicara. Jangan membuatku habis kesabaran. Bicara sekarang!"
"Bagaimana jika aku hamil?"
Kriik kriik
Suasana menjadi hening setelah Ailen menyinggung soal kehamilan. Rasanya aneh membahas hal tersebut dikala mereka tak terikat hubungan pernikahan. Jangankan pernikahan, sebagai pasangan kekasih pun bukan. Sangat ambigu, tapi fakta yang ada mereka pernah melakukannya.
"Malam itu ... malam itu kita sama-sama sedang tidak sadar. Kau tidak memakai pengaman 'bukan?"
"Tentu saja tidak. Akukan bukan pemain. Mana mungkin terpikir untuk menyiapkan benda seperti itu," jawab Derren santai menanggapi kegelisahan Ailen. Tak ada kepanikan yang terpancar di wajahnya. Seolah dia menganggap kehamilan sebagai sesuatu yang biasa.
"Makanya sekarang aku bingung. Bagaimana kalau nanti aku hamil?"
"Mudah saja. Aku tinggal membawamu ke kantor sipil kemudian menikah. Beres 'kan?"
Mulut Ailen menganga lebar mendengar jawaban Derren yang begitu santai. Sebenarnya pria ini bisa berpikir tidak sih? Dampak dari perbuatan mereka bisa berimbas pada banyak hal. Terutama pada perasaan mereka berdua. Ailen mana mungkin mau menikah dengannya disaat hatinya sendiri telah terisi nama orang lain. Gila saja.
"Hei, ada apa dengan reaksimu. Kau terlihat tidak senang saat aku membahas soal pernikahan. Kenapa?" protes Derren sambil menahan kesal.
"Karena kita sebelumnya adalah orang asing." Ailen menarik napas dalam-dalam. "Hanya karena kesalahan satu malam, jangan sampai kita mengorbankan banyak hal. Terutama yang berhubungan dengan perasaan. Aku punya tujuan hidup sebelum bertemu denganmu, dan kau pun pasti sama. Jadi kita mana bisa menentukan pilihan dengan semudah itu. Harus dipertimbangkan dengan matang supaya tidak ada penyesalan di kemudian hari."
"Repot sekali. Di mataku, malam itu adalah malam paling berkesan yang pernah ku rasakan sepanjang menjadi seorang pria. Dan mengenai pernikahan yang ku tawarkan, itu adalah bentuk tanggung jawabku yang tak sengaja telah merenggut kesucianmu. Jarang sekali ada pria yang mempunyai keputusan sepertiku. Kenapa kau marah? Kau sedang menjaga hati orang lain atau bagaimana?"
Ucapan Derren bagai belati yang menghujam tepat di ulu hati. Perih, tapi benar. Memang betul ada hati yang berusaha Ailen jaga meski pemilik hati tersebut tidak tahu akan perasaannya.
"Ingat, Ailen. Kau itu milikku. Jadi jangan coba-coba menggatal dengan memikirkan pria lain di luaran sana. Tahu?"
"Apa hakmu melarangku memikirkan pria lain?"
"Tentu aku punya hak."
"Why?"
"Karena kau yang sudah merenggut keperjakaanku. Kau harus bertanggung jawab atau aku akan membawa kasus ini ke meja hijau."
Ini adalah kekonyolan tak masuk akal yang pernah dilakukan Derren secara sadar. Ingin menggugat Ailen karena telah merenggut keperjakaannya, adakah yang lebih konyol daripada ini?
"Menyingkir kau dari atas tubuhku. Terlalu lama bicara denganmu otakku bisa gila!" kesal Ailen sambil mendorong tubuh Derren yang lumayan berat. Dia perlu udara segar untuk menetralkan napasnya yang menderu gara-gara ancaman gila pria ini.
"Di sini saja. Aku masih mengantuk."
"Masa bodo. Awas!"
"Sayang, aku ngantuk. Temani," rengek Derren seperti anak kecil.
"Minta temani hantu saja sana. Aku sedang tidak mood. Jangan menggangguku!"
Rengekan demi rengekan tak dihiraukan oleh Ailen. Derren pasrah. Sambil memanyunkan bibir, dia kembali berbaring di kasur sambil sesekali melihat ke arah pintu. Derren bergumam. "Kejam sekali wanita itu. Pria setampan aku tega-teganya dianggurkan begitu saja. Huh,"
***