Maya Elina Putri dan Mila Evana Putri adalah sepasang anak kembar yang meski lahir dari rahim yang sama, memiliki kepribadian yang sangat berbeda. Maya dengan kecerdasannya dan Mila dengan kenakalanya. Kedua orang tua mereka seringkali membedakan Mereka Berdua. Maya selalu mendapatkan pujian, sementara Mila lebih selalu mendapatkan teguran. Namun ikatan mereka sebagai saudara kembar tetap kuat. Mereka saling menyayangi dan selalu mendukung satu sama lain.
Arga, kapten tim basket di sekolah mereka, adalah sahabat dekat Mila. Mila secara diam-diam menyimpan perasaan lebih kepada Arga, tetapi ia tak pernah berani mengungkapkannya. Ketika Arga mulai menunjukkan ketertarikan pada Maya, hati Mila hancur. Arga memilih Maya, meyakini bahwa hubungannya dengan Mila hanyalah sebatas persahabatan. Hal ini membuat Mila merasa dikhianati oleh takdir, apalagi ketika Maya dan Arga resmi berpacaran. Luka di hati Mila semakin dalam, dan dia mulai menaik diri dari Maya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laura Putri Lestari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka yang tak Terlihat
Empat hari telah berlalu sejak kecelakaan itu terjadi, namun bagi Maya, setiap detik terasa seperti siksaan. Maya sudah diperbolehkan pulang setelah luka-lukanya ditangani, tetapi pikirannya masih tidak tenang. Dia merasa bersalah, meski tahu kecelakaan itu bukan atas kesalahan siapa pun. Di rumah, suasana terasa sangat berat. Kedua orang tua mereka lebih sering terdiam, dan ketika mereka berbicara, nada bicara mereka selalu sarat dengan kemarahan dan kekhawatiran. Maya tau jika orang tuanya juga memerdulikan Mila tapi kenapa rasa kepedulian mereka lebih besar terhadap Maya.
Di rumah sakit, Mila masih belum sadarkan diri. Setiap hari nya, Maya selalu datang untuk menunggu di samping brangkar tempat kembaranya itu berbaring seakan tengah tertidur nyenyak, Maya selalu berharap ada tanda-tanda Mila akan segera bangun dari tidur panjangnya. Dia mengingat semua momen yang telah mereka lalui bersama, dari kecil hingga sekarang, dan betapa eratnya hubungan mereka sebagai saudara kembar. Tapi kali ini, Maya merasa ada sesuatu yang berubah. Kedekatan mereka seolah tergantikan oleh jarak yang tidak terlihat, yang semakin lebar dengan berjalannya waktu.
Suatu hari, saat Maya sedang duduk di samping tempat tidur Mila, mamanya masuk ke dalam ruangan. Wajahnya tampak lelah, dengan garis-garis kekhawatiran yang jelas terlihat di wajahnya.
"Maya, kamu di sini lagi?" tanya mamanya dengan nada suara lembut. Maya hanya mengangguk, tanpa menatap mata mamanya.
"Kamu nggak perlu terlalu sering di sini. Mila butuh istirahat, dan kamu juga harus fokus sama sekolahmu," lanjut mamanya.
Maya menahan napas mendengar nasihat itu. "Ma, Mila pasti bakal bangun, kan?" tanyanya dengan suara kecil, penuh harap.
Mamanya terdiam sejenak sebelum menjawab. "Dokter bilang, kondisi Mila masih stabil, tapi kita harus siap menghadapi kemungkinan terburuk. Kita hanya bisa berdoa dan berharap yang terbaik."
Maya merasa dadanya semakin sesak mendengar kata-kata mamanya. Dia menundukkan kepala, mencoba menyembunyikan air mata yang mulai mengalir di pipinya.
Saat malam tiba, Maya pulang ke rumah dengan hati yang berat. Namun, begitu dia memasuki rumah, suasana semakin dingin. Papanya yang biasanya ceria, hanya duduk di ruang tamu dengan ekspresi muram, memandangi televisi yang menyala tapi tidak benar-benar ditonton.
"Kamu dari rumah sakit lagi?" tanya papanya ketika Maya masuk.
Maya hanya mengangguk. Dia tahu apa yang akan dikatakan oleh papanya selanjutnya, dan dia benar-benar tidak ingin mendengarnya.
Papanya menghela napas panjang, menatap Maya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Maya, Kami rasa, sebaiknya kamu fokus pada hal-hal yang lebih penting. Jangan terlalu larut dalam kesedihan. Mila akan baik-baik saja."
"Tapi, Pa..." Maya mencoba membantah, tetapi kata-katanya terhenti ketika melihat tatapan dingin papanya.
"Kamu sudah cukup besar untuk mengerti, Maya. Apa yang terjadi kemarin adalah sebuah pelajaran. Mila mungkin terlalu keras kepala, tapi kita semua tahu itu. Yang perlu kamu lakukan sekarang adalah memastikan masa depanmu tidak ikut hancur karena kejadian ini," ujar papanya tegas.
Maya merasa seluruh dunianya runtuh. Dia ingin berteriak, ingin membela Mila, tetapi dia tahu tidak ada gunanya. Orang tuanya tidak akan mengerti. Dengan langkah berat, Maya berjalan ke kamarnya dan menutup pintu. Di dalam kamar yang gelap, dia hanya bisa menangis, meratapi keadaan yang semakin membuatnya merasa sendirian.
Beberapa hari berlalu tanpa banyak perubahan. Maya berusaha menjalani hari-harinya seperti biasa, meski hatinya terasa kosong. Arga sering menghubungi untuk mengajaknya keluar, tapi Maya selalu menolak. Dia merasa tidak ada gunanya mencoba bersenang-senang sementara adiknya masih terbaring koma di rumah sakit.
Namun, saat pagi, ketika Maya sedang bersiap untuk pergi ke sekolah, ponselnya berdering. Arga menelepon, suaranya terdengar panik di ujung sana.
"Maya, Kamu harus ke rumah sakit sekarang juga!" katanya dengan nada mendesak.
Maya yang tadinya merasa lelah dan tak bersemangat, tiba-tiba merasa darahnya berdesir. "Kenapa, Ga? Ada apa sama Mila?"
"Mila... dia Udah sadar, Maya! Mila udah bangun!" jawab Arga dengan suara yang terdengar penuh harap.
Tanpa pikir panjang, Maya segera berlari keluar rumah, melewati ruang tamu tanpa mengatakan apa-apa kepada orang tuanya. Dia tahu ini adalah momen yang dia tunggu-tunggu, momen yang mungkin bisa mengembalikan semua yang hilang.
Saat tiba di rumah sakit, Maya langsung menuju ke kamar Mila. Begitu membuka pintu, dia melihat adiknya yang terbaring di ranjang, matanya yang terbuka perlahan menatap ke arahnya. Meski masih tampak lemah, Mila tersenyum tipis melihat kedatangan Maya.
"Maya..." suara Mila terdengar serak, tapi bagi Maya, itu adalah suara terindah yang pernah dia dengar.
"Mila, akhirnya kamu bangun juga..." Maya berbisik dengan suara yang penuh emosi, menahan air mata yang kembali menggenang di pelupuk matanya.
Di dalam hati, Maya merasa sedikit lega. Namun, dia tahu, jalan mereka masih panjang. Luka yang terlihat mungkin bisa sembuh dengan waktu, tetapi luka yang tidak terlihat, di hati mereka, akan membutuhkan waktu yang jauh lebih lama untuk pulih.
kamu berhak bahagia meskipun bukan dgn keluarga, sodara dan sahabat pasti akan ada orang diluaran sana yg tulus menyayangi kamu mil...