Novel dengan bahasa yang enak dibaca, menceritakan tentang tokoh "aku" dengan kisah kisah kenangan yang kita sebut rindu.
Novel ini sangat pas bagi para remaja, tapi juga tidak membangun kejenuhan bagi mereka kaum tua.
Filosofi Rindu Gugat, silahkan untuk disimak dan jangn lupa kasih nilai tekan semua bintang dan bagikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ki Jenggo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 Dewi Senggono
Kami berlima meluncur menuju sebuah hutan yang telah di sebutkan oleh Pras. Menurut keterangan Pras di situ terdapat sebuah air terjun atau jurug. Pletuk nama air terjun tersebut.
Perjalanan menuju Petuk sangat indah. selepas dari kota kami melewati hutan yang indah. Hutan Kayu putih dan sebuah hutan lindung. Pepohonan telah berusia tua dengan batang pohon besar yang menciptakan kerindangan dan payung alami bagi para pejalan.
Selepas hutan lindung di Sukun kami di suguhan sebuah perkampungan yang nampak asri dan alami. Sedikit aku tersentak, karena aku kira perkampungan itu merupakan perkampungan adat. Namun aku teringat bahwa di situ banyak rumah rumah yang terbangun megah dan mewah, membuat khayalanku tentang kampung adat Sirna.
Dari pasar Pulang kami di ajak Pras untuk belok kanan. Jalan beraspal yang semula landai kini di ajak menanjak. Sebagai tanda bahwa wilayah tersebut merupakan wilayah pegunungan. Lepas tanjakan kami memasuki hutan. Hutan di sini berbeda dengan hutan yang sebelumnya. Jenis pepohonan di sini merupakan pohon jati dan mahoni dipinggir jalan. Bahkan ada pohon kesambi pada wilayah jalan yang agak rata.
Di samping pohon Kesambi terdapat dua buah warung yang mengajaknya untuk berhenti dan menikmati secangkir kopi. Terlebih sejak pagi, belum ngopi.
Setelah kami memarkir motor di dekat warung tersebut, kami segera memesan minuman dan memilih tempat seperti gubuk untuk para pembeli.
"Wah, adik lokasinya. Ngapain kamu tidak cerita ada tempat kayak gini, Pras?" tanya Anika.
"Ngapain kudu cerita pada kamu. Emang ini warungku. Aku belok ke sini aja juga hari ini," jawab Pras.
Aku tersenyum melihat mereka mulai berilah untuk buat guyonan.
Ima yang duduk di samping ku tiba tiba bertanya pada Pras, "Itu tadi kayak lokasi angker. Lokasi apa, Pras?"
"Yang namanya Punden Slentuk, itu ya yang itu," jawab Pras sambil menunjuk ke arah lokasi.
"Berarti tempat jati di ambil untuk bedug Tegal Sari dari situ, " tanya Hengki.
"Kalau dari jauh orang berkata demikian. Namun kalau di Sooko bukan. Lokasi tidak di Punden Slentuk tapi di sekitar Slentuk. Di Kanan jalan menuju Centong. Namanya Jati Bedug," jawab Pras.
"Tepatnya di mana?" tanya Hengki Penasaran.
"Timur situ. sekitar 100 meter dari sini. Tapi tunggak jatinya sudah habis," ujar Pras.
"Lokasi sini banyak kisah yang berkaitan dengan Sejarah," tanyaku.
"cerita yang berkaitan dengan Tegalsari banyak. Juga rute gerilya Jendral Sudirman. Sedang Pundennya di Centong banyak yang bercerita tentang Majapahit," ujar Pras.
"Begitu. La, kalau di sini?" tanya Anika.
"Sebelah itu namanya Gunung Thukul. Juga ada kisah yang berkaitan dengan Majapahit. Tapi juga Jendral Sudirman, bahkan ada cerita terjadi bentrokan dengan Belanda di pertigaan timur situ," terang Pras.
Setelah bercakap cakap ringan di warung, Pras mengajak untuk melanjutkan perjalanan. Karena menurut Pras, Ibunya telah mempersiapkan makan siang. Ibu Pras mengharapkan kami makan siang dulu sebelum ke Petuk.
Dari Warung itu kami melewati jalan yang turun agak curam. Namanya Biting, biting adalah nama yang identik dengan Bereng. Rumah Pras agak jauh dari Biting. Kami harus melewati jalan yang lika liku dan naik turun.
Setelah lima belas menit perjalanan aku sampai di rumah Pras. Rumahnya berada di timur dari Kantor Kecamatan Sooko. Namanya Dukuh Setumbal, masuk wilayah Desa Jurug.
Benar apa yang di sampaikan Pras. Ibunya sudah mempersiapkan makan siang untuk kami berlima. Setelah kami sampai di rumah Pras ibunya telah menyambut dengan ramah.
"Pas, masaknya selesai kok ya pas datang, " kata Ibu Pras, sambil menyilahkan kami untuk masuk.
Sampai di ruang tamu, kami telah di sambut berbagai menu yang enak lengkap dengan buah segar. Ada ayam goreng, ada soto lengkap seperti warung makan saja.
"Ini namanya merepotkan, Ibu Pras", kata Anika, sambil mengambil nasi.
"Nggak Ndhuk, tidak merepotkan. Justru saya senang bila sampeyan mau makan di sini," jawab Ibu Pras yang mendengar pernyataan Anika.
"Ini permintaan Pras ya, Bu," sahutku.
"Tidak kok, aku cuman ngabarin besok temanku mau ke pletuk mampir ke rumah," jawab Pras.
Ibu Pras tertawa kecil.
Dan memang begitu kebiasaan orang orang Ponorogo, di pedesaan. Mereka siap menyambut tamu dengan menyajinya. Dan hal ini di lakukan dengan senang hati tanpa pandang bulu siapa tamunya. Kalau mereka mampir dan mau minum kopi atau makan nasi, sangat gembira tuan rumah. Sebab tamu bagi masyarakat Ponorogo ada yang mengibaratkan rezeki.
Setelah makan dan salat Duhur di rumah Pras yang sederhana, bapak Pras yang seorang petani itu datang. Bapak Pras baru saja ikut sambatan. Sambatan adalah kerja gotong royong dalam mengerjakan sawah dengan masyarakat Desa.
Lepas Jam 2 siang kami berangkat menuju air terjun Pletuk. Air Terjun itu berada di sebuah wilayah yang agak jauh dari rumah Pras. Dan lokasinya berada di Kaki Perbukitan.
Menurut cerita dari Bapaknya Pras di keindahan air terjun petuk tersebut ada sebuah Goa di balik air terjun. Juga ada cerita mitos bahwa pada air terjun tersebut sering muncul Raja Kera yang berbulu putih, yang orang menyebut Blanthongan.
Kisah ini bagiku telah cukup menjelaskan keberadaan binatang yang dimitoskan. Jelas konon ada kelompok Kalang berada di wilayah ini meski tanpa adanya bukti literasi.
Anika dan Ima duduk pada sebuah batu besar yang berada dekat dengan air terjun itu. Aku memandangnya cukup jauh. Demikian juga dengan Pras dan Hengki. Muncratan air terjun yang indah mengenai tubuh kami. Hingga mengisaatkan kami untuk menjauh menikmati hawa pegunungan dengan air pinus di Pletuk.
Pras memanggil Anika dan Ima dengan isyarat lambaian tangan, untuk mengikuti kami.
"Angannya di sini lebih segar tidak dingin kayak di dekat air terjun," Ujar Ima sambil duduk di sebuah batu yang permukaannya agak rata.
"Mungkin adakah sebuah Punden di sekitar sini, Pras? " tanyaku.
Pras menggelengkan kepala. Dia tidak mengetahui tentang hal Punden di sini. Tapi entah bagi masyarakat.
Setelah puas kami bermain di sekitar hutan di Pletuk yang konon pernah menjadi lokasi wisata Pras mengajak menuju sebuah kampung yang tidak jauh dari lokasi tersebut.
Namun belum lama langkah kaki kami, tiba tiba terjadi keanehan bagi Hengki. Hengki menjerit Histeris dan memukul batu yang di duduknya.
"Trance, Hengki teramat payah, " kataku dalam hati.
"Ada apa Heng? "tanya Pras sambil mendekati Hengki.
Hengki dengan mata melotot memandang kami satu persatu, dengan pandangan tak bersahabat.
"Ayo kita kekampung," ucap Pras.
"Kampung apa?!," jawab Hengki.
Tubuh Hengki nampak kaku. Giginya beradu dengan tangan terus mengepal ngepal. Melihat kondisi semacam itu Ima sama Anika terlihat takut.
"Aku Dewi Senggonowati, pemilik istana ini!" kata Hengki.
Melihat kondisi tidak bersahabat, aku menatap Hengki. Aku mencoba mengamati dari arah mana aku melumpuhkannya. Sementara Pras mengambil pesawat Hape untuk mencari bantuan.
*****
mari terus saling mendukung untuk seterusnya 😚🤭🙏
pelan pelan aku baca lagi nanti untuk mengerti dan pahami. 👍
bantu support karyaku juga yuk🐳
mari terus saling mendukung untuk kedepannya