Bagaimana menderitanya Veronica Han yang harus hidup berdampingan dengan lelaki musuh bebuyutannya semenjak orok. yang sialnya lagi lelaki bernama lengkap Bian Nugroho itu adalah bos di cafe tempat ia bekerja. penderitaan ini akan terus berlanjut sampai akhirnya tumbuh benih cinta di antara kedua manusia paling tidak akur di dunia.
"Selamat pagi bos"
"jangan sok asik sama bos sendiri! mentang mentang saya orang yang kamu kenal jauh malah sksd begitu"
"terserah Lo deh Bian!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uriii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
022 | Ramalan dari Romi.
"Bian! Udah gue bilang jangan taro anduk di kasur! Kan jadi basah!"
Veronica sudah lelah memberitahu Bian agar selalu rajin. Tapi makin hari malah makin menjadi joroknya.
Bian menulikan telinganya, ia sibuk dengan laptopnya yang selalu di tatap setiap saat. Membuat Veronica muak setiap melihat Bian yang fokusnya pada benda kerja itu.
"Denger nggak sih Yan?" Veronica bertanya dengan nada sewot. Yang hanya di balas deheman saja oleh lelaki tersebut.
Veronica yang sudah tidak mood membawa keranjang kotor miliknya dan Bian ke kamar mandi. Untuk ia cuci dalam mesin cuci.
Setelah memasukkan pakaian kotor itu ke dalam mesin cuci, Veronica berjalan menuju dapur untuk lanjut masak menu sarapan pagi ini sebelum berangkat bekerja. Biar saat pulang nanti apartemen sudah dalam keadaan bersih dan ia tinggal masak untuk makan malam saja.
Telinganya ia sumpah dengan earphone agar tambah enjoy lagi melakukan pekerjaannya.
Ia sudah sibuk sana sini semenjak jam setengah lima. Sedangkan Bian baru saja bangun karena lelaki itu bilang bahwa bisa tidur nyenyak setelah di buatkan minuman seperti semalam dan ingin di buatkan lagi setiap malam.
"Ve," Bian terus memanggil Veronica tanpa menoleh ke belakang letak gadis itu sedang memasak sembari mengangguk anggukkan kepalanya menikmati alunan musik.
Bain berdecak kesal, karena panggilannya tidak di gubris oleh Ve. Apa gadis itu ngambek kembali? Kini Bian sudah tahu sifat seperti apa gadis itu, selain tukang malak semenjak kecil. Ia juga suka baperan, orangnya senggol bacok sekali. Apalagi jika yang menghadapi Bian. Meledak!
Ia berdiri dan berjalan ke arah Veronica, setelah tahu penyebabnya. Lagi lagi terdengar decakan dari mulut Bian. Jadi di sini siapa yang salah?
"WOY!"
Setelah berhasil melepas earphone gadis itu, Bian berteriak kencang tepat di telinga Veronica.. membuat gadis itu yang sedang mencuci sayuran terkejut bukan main. Untuk Veronica bukan dalam keadaan memegang pisau, jika ia. Entah apa yang akan terjadi.
"KAGET!" Veronica berteriak kencang.
Bian cekikikan melihat wajah Veronica yang memerah padam, ia suka jika melihat raut Veronica yang seperti ini. Terlihat lucu di matanya.
"Lagian, Lo gue panggil nggak nyahut nyahut. Taunya make ginian. Kalo lagi kerja tuh jangan make ini, kalo gue butuh sesuatu gimana?"
Veronica mendelik, ia berjalan ke arah kamar mandi. Mesin cucunya sudah mati. Tak menggubris Omelan tak berfaedah dari Bian
"Ngapain ngintil gue sih Bian? Sono kerja lagi!"
Bian terus mengekor seperti anak kecil di belakang Veronica. Membuat gadis itu kesal karena pekerjaannya tak leluasa.
"Sarapannya udah jadi belum? Gue laper!" Bian mengusap perutnya sembari menunjukkan raut sedih agar Veronica iba dan memberinya makan.
"Nanti, bentar lagi. Lo tunggu di meja makan aja Sono ah! Gue mau ngeringin baju Lo ini!"
Bian yang sudah ikutan kesal di pagi buta seperti ini, berjalan dengan sengaja ia hentakkan agar Veronica tahu bahwa ia tengah marah padanya.
Veronica menghela nafas lelah, setelah bekerja menjadi babu Bian selama tiga bulan ini. Sedikit demi sedikit Bian mulai melunak padanya. Ya walaupun ada saja pertengkaran yang terjadi di antara keduanya.
"Gue pengen nasi gorengnya di taroin kemangi, biar wangi."
Veronica mengangguk saja. Tadi siapa yang ngambek. Tapi kembali mengajak ia bicara lagi saat di butuhkan.
"Hari libur, Lo belanja bulanan lagi ya Yan? Stok di kulkasnya udah abis."
Bian menengok. "Nggak bisa Ve, gue mau ke Tangerang. Nge cek pembangunan kafenya udah berapa persen."
Veronica menghela nafas. "Terus gue yang belanja gitu? Ya udah deh, kirim uang nya aja."
Bian berdehem. Setelah sesi pusing pusingan karena memikirkan pencabangan kafe, akhirnya Bian mengiyakan saja keinginan papa nya itu. Baru dua bulan ini kafe di bangun.
"Nggak papa kan? Mau di temenin sama Chika?" Bian menawarkan. Karena takut Veronica kerepotan membawa banyak sekali bahan masakan dalam sebulan ini.
"Kalo ketahuan gimana?" Tanya Veronica.
"Ya tinggal kasih tahu, ceritain yang sejujurnya."
Memang tidak ada yang tahu Veronica tinggal bersama Bian karna pekerjaan selain Roki yang pernah memergoki Veronica tengah masak di apartemen dan akhirnya dengan terpaksa Bian menceritakan semuanya.
"Nggak segampang itu Yan, Lo tau kan Chika orangnya kaya gimana? Hal yang nggak gue suka dari Chika itu mulutnya. Dia nggak bisa banget jaga rahasia temennya."
Bian mengangguk membenarkan, Chika memang wataknya seperti itu. Jadi wajar jika ia tak memiliki teman selain teman dari karyawan Bian saja.
"Minta di temenin sama Roki aja mau? Biar Lo ada yang bantu bawa."
"Emang Roki nggak ikut Lo nge cek juga? Kan dia orangan Lo."
Bian mengangguk juga, ia menghela nafas lelah. Memikirkan ini saja membuatnya pusing tujuh keliling.
"Hari ini aja udah lah, habis pulang kerja. Kita setengah hari," Veronica melotot matanya tak percaya.
"Cari mati Lo? Sama aja itu mah kaya ngajak Chika."
"Ya terus gimana?" Bian sudah prustasi memikirkan hal yang sepele seperti ini saja.
"Ya pake taxi lah ege! Minta sopirnya bawain. Nanti Lo kasih uang lebih aja sama dia."
Bian mengangguk setuju. Ia membuka kembali laptop-nya walaupun semua pekerjaan sudah ia lakukan tapi rasanya seperti ada yang kurang.
Kurang menjahili Veronica, tapi gadis itu sedang sangat sibuk. Membuat sarapan, mencuci baju, belum menyiapkan baju kerja untuknya. Jadi Bian sedikit tahu diri.
"Ve," Bian memanggil Veronica dengan nada lirih yang di pastikan gadis itu tak menyahut karna tidak terdengar.
"Gue kenapa ya?" Ia bergumam dalam hati.
•••
"Bos lagi sibuk banget ya? Dari tadi bulak balik kafe sama perusahaan Mulu."
Romi menganggu setuju, kasihan juga melihat bosnya yang sepertinya kelelahan karena menghadapi pencabangan kafe.
"Emang bener perusahaan itu punya bokapnya bos?" Tanya Veronica yang di balas anggukan malas dari Romi.
"Iya Ve! Lo tuh udah nanya itu dari taun kapan dah? Masa lupa terus?"
Veronica cekikikan melihat raut kesal keduanya. Ia memutar permen gagang yang ada dalam mulutnya dan berucap kembali.
"Tapi nih ya, selama gue kerja di sini setengah tahun. Nggak pernah lihat bokapnya tuh."
"Namanya juga orang terpandang Ve, jarang nongol di publik kek ginian. Kalo pengen liat, Lo harus jadi karyawan kantorannya. Atau nggak, biar bisa setiap hari ketemu. Lo jadi istrinya bos."
Ucapan absurd dari Romi membuat Veronica terbatuk-batuk seketika. Chika bahkan kelimpungan melihat Veronica dengan muka merahnya.
"Air! Air mana air!"
"Di depan Lo Chik, itu ada air."
Chika mendelik ke arah Romi, bukannya ikut membantu malah cekikikan tidak jelas.
"Gue ramal Ve sama bos berjodoh."
"APA?!"