Soraya adalah gadis paling cantik di sekolah, tapi malah terkenal karena nilainya yang jelek.
Frustasi dengan itu, dia tidak sengaja bertemu peramal dan memeriksa takdirnya.
•
Siapa sangka, selain nilainya, takdirnya jauh lebih jelek lagi. Dikatakan keluarganya akan bangkrut. Walaupun ada Kakaknya yang masih menjadi sandaran terahkir, tapi Kakaknya akan ditumbangkan oleh mantan sahabatnya sendiri, akibat seteru oleh wanita. Sementara Soraya yang tidak memiliki keahlian, akan berahkir tragis.
•
Soraya jelas tidak percaya! Hingga suatu tanda mengenai kedatangan wanita yang menjadi sumber perselisihan Kakaknya dan sang sahabat, tiba-tiba muncul.
•
•
•
Semenjak saat itu, Soraya bertekad mengejar sahabat Kakaknya. Pria dingin yang terlanjur membencinya. ~~ Bahkan jika itu berarti, dia harus memaksakan hubungan diantara mereka melalui jebakan ~~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tinta Selasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22
“MELATI ….”
Mendengar namanya diserukan dari lantai bawah, Melati segera bangkit dari tempat tidurnya. Dengan langkah gontai, dan tangan mengucek mata, Melati turun ke bawah. “Ada apa Pa?”
“Loh, anak gadis Papa kok kamu ketiduran? katanya tadi mau ketemu sama Sora?”
“Oh iya!” Ucap Melati, sambil menepuk dahinya. Dia sedikit panik untuk sesaat, namun dengan cepat menjadi tenang.
“Nggak apa-apa, kita janjian di kafe yang ada perpusnya, biar si Sora baca-baca dulu.”
Mendengar ini, pria botak berkacamata, yang dipanggil Papa itu segera menggeleng.
“Jangan begitu, jangan buat teman kamu menunggu lama. Lagipula, Papa yakin perpus bukan kesukaan Soraya.”
Mendengar ini, Melati jelas terkekeh. Tentu saja pemilihan kafe berkonsep perpustakaan itu adalah idenya. Dialah yang suka membaca disini.
“Baiklah, kalau gitu Papa panggil aku kenapa?”
“Tidak. Papa hanya heran, karena belum lihat kamu pergi.”
Mendengar ini Melati memutar bola mata dengan senyuman. Dia memang agak santai dalam keadaan tertentu, yang apabila janjian, membuat Soraya harus menjadi pihak yang menunggu.
“Kalau gitu aku siap-siap.” Ujar Melati yang berbalik naik ke atas.
~~
“Pak Bram,”
Pria yang adalah Ayah melati itu, berbalik saat namanya dipanggil.
“Ada apa?”
“Ini Pak, nomor ini tidak mau berhenti menelpon. Bagaimana kalau Bapak angkat saja, siapa tahu teman politik Bapak hehee ….”
Mendengar humor renyah sang sekretaris, Bram hanya bisa menggelengkan kepalanya. Dia tahu betul siapa pemilik nomor itu, meskipun tanpa nama. Bukan rekan politik atau rekan kerja manapun. Hanya seseorang yang akan membuat sang putri marah jika dia angkat.
Namun mempertimbangkan Melati yang sudah kembali ke kamar untuk bersiap, keinginan di hati kecil Bram tiba-tiba menyelinap keluar. Kali ini dia juga penasaran apa alasan sang penelepon, sebab sudah ada lima panggilan sebelumnya. Sesuatu yang benar-benar tidak biasanya.
“Berikan padaku.”
Setelah menerima ponsel itu, Bram segera berjalan ke arah kolam renang. Langkahnya tetap tergesa, meski tampak ditahan.
Dipikirnya, dia akan menjawab panggilan itu sebentar. Mengira masih akan lama bagi Melati untuk bersiap-siap, karena gadis masih harus mandi. Sayangnya, itu hanya perkiraan Bram. Karena pada kenyataannya, Melati bersiap lebih cepat, dan Bram larut dalam panggilan telepon itu lebih lama.
Membuat Melati yang baru saja turun lagi, mempertanyakan keberadaan Ayahnya.
“Om Jos, Papa mana?”
“Papa Ade lagi di kolam, sedang bicara di telepon.”
Mendengar ini, Melati menggigit kecil bibirnya karena bingung. Dia tidak mau mengganggu karena ayahnya sedang ditelepon, tapi terpaksa harus karena dompetnya yang sudah kosong.
Demi menjaga suasana, Melati berjalan sepelan mungkin dari belakang. Bagaimanapun, Ayahnya adalah seorang politikus. Tidak ada yang pernah tahu di ujung lain telepon siapa yang bicara, karena mungkin saja itu Presiden.
Tapi Melati jelas terlalu jauh, jadi ketika kenyataan tidak sesuai, dia adalah yang paling sengsara.
“Luna, sudah kamu jangan gitu-gitu lagi. Aku mau ketawa jadinya.” – Ucap Bram, yang membuat langkah Melati terhenti.
Nama Luna, adalah salah satu dari daftar nama yang paling tidak dia sukai di planet ini. Dan Melati yakin, itu bukan hanya nama yang sama, di balik itu juga sosok yang sama, yang Luna benci, karena dirasanya, akan mencuri sang Ayah.
Ya, setidaknya itulah yang ada dipikiran Melati saat ini. Hingga membuat seluruh tubuhnya kaku dan mendingin di tempat. “Papa,”
DEG. Bram berbalik dengan kedua mata membola.
“Sayang, ka-kamu ke-kenapa disini?”
“MELATI!” Suara Bram meninggi penuh peringatan, manakala Melati tiba-tiba merampas ponsel di tangannya.
“Melati, apa yang kamu lakukan! Kembalikan ponsel Papa.”
Melati yang sudah mengambil beberapa langkah jauh ke belakang, menggeleng keras dengan mata yang tidak melepaskan Bram. Alih-alih memberikan pada Bram, dia malah mengangkat ponsel itu ke telinganya.
“Halo!”
Ada balasan dari seberang telepon. Yang meskipun hanya mengatakan satu kata, tapi berhasil dikonfirmasi Melati, sebagai wanita itu.
“Perempuan tidak tahu malu! Kenapa kau masih menelpon Ayahku hah!”
Alih-alih jawaban, Melati malah mendapatkan tawa sebagai gantinya. Wanita itu benar-benar menertawakan Melati, dan bahkan meninggalkan ejekan sebelum memutus panggilan begitu saja.
“Melati?”
“TIDAKK! Jangan bicara padaku! Aku benar-benar kesal. Papa pembohong. Papa bilang, Papa tidak akan berhubungan lagi dengan wanita itu. Tapi apa ini? Papa malah telponan dan tertawa asik sama dia. Tega Papa sama aku.”
“Melati, jangan seperti itu. Kamu salah paham sayang, Papa bukannya—”
“CUKUP! Jangan membuat alasan. Apa Papa puas? wanita itu mengejekku, mengatakan aku labil dan kekanakan. Apa Papa puas sekarang!”
Mata Bram berair melihat bagaimana air mata mengalir dari mata indah putrinya. Pada akhirnya dia adalah orang dewasa di sini. Jadi semua yang terjadi adalah kesalahannya, tidak peduli apa yang coba dia jelaskan.
Bram pun tertunduk, “Maaf. Maafkan Papa. Tapi Papa bersumpah, itu tadi adalah pembicaraan pertama setelah sekian lama. Hanya pembicaraan biasa, tanpa ada maksud lain sama sekali.
Meskipun yang dikatakan Bram adalah kejujuran, Melati tetap menggeleng kepalanya, tidak percaya.
“Mela! Mela! Melati!” Bram mencoba mengejar Melati yang tiba-tiba berlari masuk, meninggalkan ponselnya diatas meja yang dilewati.
BRAK. Melati yang tadinya siap untuk bertemu Soraya, malah berakhir mengurung diri di kamar. Walaupun tadi dia sempat meneteskan air mata, tapi saat dia berdiri di depan kaca, tidak ada lagi bekas-bekas kesedihan. Hanya ada ekspresi yang sengit.
Drrttttt. Drrttttt. Drrttttt.
Kebetulan sekali ponsel di sakunya bergetar. Tanpa melihat, Melati tahu itu Soraya. Masih menatap kaca, tapi dengan tangan yang sudah mengangkat ponsel, Melati kembali teringat wanita bernama Luna itu.
“Sora, aku ada sedikit masalah. Bisa kau tunggu sebentar lagi?” Ucap Melati, yang mendapatkan sedikit protes dari Soraya.
Namun seolah tak punya pilihan, Soraya akhirnya setuju. Tapi saat ponsel dimatikan, bukannya bersiap, Melati malah membuka jaket yang sudah di pakainya, dan naik ke tempat tidur.
Melihat ponselnya sebentar, sebelum menonaktifkan layar.
•••
Matahari sudah terbenam, tapi Rex masih tidak bisa duduk dengan tenang. Dia sudah beberapa kali mengirim chat kepada Soraya tapi belum juga di balas, meski gadis itu berstatus aktif.
Tidak tahan dengan hal ini, Rex akhirnya bangkit dari tempat tidur dan menyambar jaketnya. Dia keluar kamar dengan kaos dan masih menggunakan celana basket tadi. Gantungan kunci ditangannya, menarik perhatian Taira dan Kakeknya yang sedang duduk mengupas kacang.
“Mau kemana kamu Rex?”
“Keluar bentar.”
“Yang Kakek tanya mau kemana, bukan berapa lama.”
Taira mengangguk setuju. Masih sedikit kesal dengan Rex, dia tidak tahan untuk menambahkan.
“Payah, masa pertanyaan segitu saja tidak nyambung.”
“Ra!” Tekan Rex, yang hanya diacuhkan Taira.
Melihat interaksi tidak biasa ini, sang Kakek akhirnya bertanya lagi. “Jadi mau kemana?”
Rex yang entah kenapa malu, akhirnya menggaruk tengkuk. “A-aku, akan kerumah teman.”
Mendengar ini, alis Taira terangkat, menatap Rex dengan mata melebar, “Apa kamu akan bertemu Soraya?”
“Siapa Soraya?” Tanya sang Kakek cepat. Ini adalah pertama kalinya, dia mendengar nama gadis yang terkait dengan Rex.
“Bukan siapa-siapa, hanya teman sekolah. Lagi pula, siapa yang berkata akan bertemu dengannya!” Kilah Rex, yang membuatnya mengernyit sendiri. Dia heran mendapati dirinya berbohong tanpa alasan yang kuat.
Sementara Taira, dia sontak saja mencebik mendengar penuturan Rex. Tapi melihat tingkah tidak percaya diri dari seseorang paling percaya diri, Taira tahu bahwa yang dikatakannya tepat sasaran. Tapi begitu, dia tidak mengekspos sepupunya itu, setelah menceramahinya sepanjang jalan.
Jadi begitu lah Rex keluar dari rumah, meski dia tidak yakin akan pergi kemana. Dengan memutar-mutar ponsel dalam jepitan dua jarinya, Rex membuang nafas kasar.
“Apa aku kerumahnya cantik aja yah? Ini kan baru saja malam, harusnya tidak masalahkan.” Pikir Rex, yang baru saja menjadi keputusannya.
Membelah jalanan, dia menuju ke rumah Soraya, tanpa tahu, bahwa yang hendak dituju sedang berjongkok di depan kafe seperti pengemis.
Satu-satunya yang melindungi Soraya saat ini, adalah hoodie-nya yang kebesaran. Yang menutupi seluruh wajahnya dari pandangan orang-orang.
Tidak ada yang bisa mengerti bagaimana keras kepalanya Soraya saat ini. Hingga meskipun dia sudah menunggu dari sore sampai malam, dari terang sampai gelap, dari janjian sampai tidak membalas, Soraya tetap menunggu Melati. Pada akhirnya, ini bukan tentang masalahnya lagi. Tapi dia menunggu Melati, karena Melati juga mengadu memiliki masalah. Merasa cemas, jika masalah Melati ternyata lebih sulit darinya. Jadi Soraya tetap menunggu, memastikan agar sahabatnya itu memiliki tempat untuk dituju.
•••
Rex menatap rumah mewah di depannya. Meskipun tidak berhenti tepat di depan gerbang, Rex tahu dia harus segera masuk. Atau kalau tidak, dia mungkin akan dicurigai sebagai seorang penjahat oleh satpam di rumah Soraya.
“Astaga, kuharap cantik ada, dan Kakaknya yang tidak ada. Atau kalau tidak, entah apa!” Khawatir Rex.
Nyatanya, kemarahan dan Omelan Taira cukup mempengaruhinya. Kalimat, ‘pikirkan menjadi Kakaknya, kau pasti akan marah!’ terngiang terus di telinga Rex. Dia bahkan tidak mengerti benar apa kesalahannya disini, tapi sudah harus menanggung beban moral.
Namun membulatkan tekad, Rex memberanikan diri untuk pergi ke depan gerbang. Menghadapi beberapa pertanyaan kecil satpam, Rex akhirnya diperbolehkan masuk.