Sulit mencari pekerjaan, dengan terpaksa Dara bekerja kepada kenalan ibunya, seorang eksportir belut. Bosnya baik, bahkan ingin mengangkatnya sebagai anak.
Namun, istri muda bosnya tidak sepakat. Telah menatapnya dengan sinis sejak ia tiba. Para pekerja yang lain juga tidak menerimanya. Ada Siti yang terang-terangan memusuhinya karena merasa pekerjaannya direbut. Ada Pak WIra yang terus berusaha mengusirnya.
Apalagi, ternyata yang diekspor bukan hanya belut, melainkan juga ular.
Dara hampir pingsan ketika melihat ular-ular itu dibantai. Ia merasa ada di dalam film horor. Pekerjaan macam apa ini? Penuh permusuhan, lendir dan darah. Ia tidak betah, ia ingin pulang.
Lalu ia melihat lelaki itu, lelaki misterius yang membuatnya tergila-gila, dan ia tak lagi ingin pulang.
Suatu pagi, ia berakhir terbaring tanpa nyawa di bak penuh belut.
Siapa yang menghabisi nyawanya?
Dan siapa lelaki misterius yang dilihat Dara, dan membuatnya memutuskan untuk bertahan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Menyerahkan Diri
Tentang konsekuensi dari tindakannya, Miranti sadar sepenuhnya.
Hanya ada dua kemungkinan. Satu, Tuan terjerat dan ia berhasil menaikkan taraf hidup, baik menjadi istri atau hanya simpanan.
Dua, Tuan tersinggung, menganggapnya melakukan perbuatan tercela, dan ia dipecat.
Namun, hati kecilnya mengatakan, Tuan tidak akan melakukan yang kedua.
Sudah tiga bulan Tuan tidak pulang ke Cina atau Taiwan, pasti cairan cintanya telah penuh, siap untuk dimuntahkan.
Dengan keyakinan yang baru, Miranti melepaskan jaket yang ia kenakan. Di baliknya, ia hanya mengenakan lingerie tipis bertali kecil, yang sekarang sudah melorot karena gerakannya, menyingkapkan dadanya yang membusung yang tidak ditutupi apa-apa.
Dengan berani, Miranti duduk di atas paha Bernard, tepat di tonjolan yang masih terlelap seperti pemiliknya. Tetapi Miranti telah merasakannya bertemu dengan miliknya, meskipun terhalang kain piama.
Ia bertanya-tanya, sebesar apa jika itu dikeluarkan dari kandangnya, apakah binatang buas atau hanya peliharaan jinak? Ia agak tidak sabar untuk segera melihatnya.
Merasakan sesuatu menindihnya, Bernard akhirnya membuka mata. Semula agak terpicing, lalu matanya yang sipit melebar, jelas dia sangat terkejut.
Miranti telah menunduk, dadanya yang penuh berada sangat dekat dengan wajah Bernard. Bahkan putingnya yang telah tegak dan mengeras hanya sekian senti dari bibir Bernard.
“Tuan…” Miranti berbisik, suaranya serak karena dorongan hasrat. “Aku jatuh cinta pada Tuan. Apakah Tuan tidak menginginkan aku?”
Berkata begitu, napasnya yang hangat menyapu pipi Bernard.
Ada tubuh molek di pangkuannya, setengah telanjang, dadanya membusung dengan puncaknya yang menantang siap dikulum di depan mata, putingnya yang besar pasti sangat memuaskan untuk diisap.
Bahkan seorang santa pasti goyah, apalagi Bernard yang hanya manusia biasa.
Tanpa menjawab, seketika tangannya menarik kepala Miranti. Bibirnya langsung melumat bibir Miranti dengan ganas.
Seolah kesetanan, Bernard duduk dan merobek lingerie tipis Miranti. Tangannya lalu menjalar ke mana-mana, meremas dan menggosok, membuat Miranti melenguh dan melentingkan tubuh.
Lidah Bernard membuka mulut Miranti, menjulurkan lidahnya untuk saling mengait dengan lidah Miranti. Mereka bertukar saliva dengan terengah-engah. Kemudian, Bernard mendorong tubuh Miranti sehingga posisi mereka terbalik.
Kini, Miranti yang berbaring di tempat tidur dan Bernard mengungkungnya. Tangan Bernard bergerak ke antara kedua kakinya yang tidak ditutupi apa-apa. Miranti sengaja tidak mengenakan bra dan celana dalam. Bernard mengusap naik turun di sana, dan suara rintihan lolos dari bibir Miranti yang masih dikulum Bernard.
Dengan berani, Miranti mengulurkan tangan untuk menyentuh kejantanan Bernard, mengeluarkannya dari balik piama. Itu telah tegak sempurna. Dan ternyata, itu binatang buas, bukan peliharaan jinak.
Miranti menjilat bibir. Miliknya telah sangat basah, liang sanggamanya siap menerima kehadiran sang binatang buas. Ia memang masih perawan, tapi telah berniat akan menyerahkannya pada Bernard. Malam ini juga.
Bernard menunduk, bibirnya melahap gunung kembarnya bergiliran, menjilati dan mengisap putingnya, membuat Miranti menggelinjang, mendorong tubuhnya lebih lekat ke bibir Bernard.
Bernard membimbing tangannya agar mengurut kejantanannya. Miranti menurut, menggerakkan tangannya naik turun sepanjang batangnya.
“Kamu sudah berani berbuat, harus tanggung jawab.” Kata Bernard di tengah pergumulan mereka. “Aku tidak akan bisa berhenti. Ini harus selesai.”
“Tuan, siapa yang ingin berhenti? Jangan berhenti. Selesaikan, aku mohon…” Miranti berbisik di antara desahan.
Bernard menghentikan gerakannya dan menurunkan celana piama, sehingga kini tubuh mereka berdua telah sama-sama polos.
Miranti mengerjap, terpana melihat tubuh lelaki setengah baya itu masih tampak liat. Ia ingin segera tahu, sekuat apa Bernard akan menggempurnya.
Bernard meraih sesuatu dari dalam laci, Miranti meliriknya, dan tahu bahwa itu sebuah kondom.
“Tuan… jangan.” Kata Miranti.
“Jangan? Aku sudah bilang tidak akan bisa berhenti. Ini harus tuntas.” Bernard menyobek kemasan kondom itu.
“Mak… maksudku, jangan pakai. Aku mau Tuan buang di dalam.”
Bernard tertegun sejenak.
“Kamu yakin?”
Miranti mengangguk, lalu memeluk Bernard erat-erat. “Tapi pelan-pelan ya Tuan. Aku masih perawan.”
Mendengar itu, Bernard sempat ragu. Tapi Miranti menangkap bibirnya dan memainkan lidahnya di mulut Bernard, membuat hasratnya kembali tersulut.
Mereka melanjutkan permainan hasrat, memacu gelora, menghentak nafsu. Hingga keduanya tiba di puncak kenikmatan dan meledak bersama.
Miranti tidak memedulikan rasa sakit dan pedih yang dirasakan. Karena jika dibandingkan dengan kenikmatan yang mengikutinya, itu bukan apa-apa.
Sejak malam itu, Miranti pindah tidur di kamar Tuan. Mereka bercinta setiap malam. Dengan segala gaya. Membuat Miranti tergila-gila dan ketagihan akan rasa surgawi yang ia alami, dan Bernard tentu saja menikmati ego yang terpenuhi.
Mereka seperti pengantin baru. Bahkan di siang hari, ketika tidak ada kegiatan, Bernard sering sengaja mengirim Ari, sopir pribadinya, untuk pergi membeli sesuatu. Kadang sengaja di tempat jauh, sehingga perjalanan bolak-balik akan memakan waktu setidaknya empat jam.
Dan ketika hanya ada mereka berdua, mereka melakukannya di mana saja. Di kantor, di sofa, di dapur, di kamar mandi, sambil berdiri di depan pintu, bahkan di taman terbuka.
Miranti pernah meragukan khasiat darah ular yang konon dipercaya dapat meningkatkan stamina dan kejantanan pria. Tetapi sekarang ia memercayainya.
Usia Bernard hampir dua kali lipat usianya. Bahkan jika ayahnya masih hidup, mungkin mereka sebaya. Tetapi karena sering minum darah ular, energinya seolah tak ada habisnya.
Bahkan Miranti lebih sering terkapar lemas kehabisan napas lebih dulu, sementara Bernard masih bersemangat untuk mengulang.
Meskipun mereka bercinta habis-habisan hampir setiap waktu, belum ada ucapan ajakan menikah yang terlontar dari bibir Bernard.
Miranti menanti-nanti, tetapi sampai enam bulan hubungan mereka, penantiannya belum berbuah.
Ia berpikir keras, bagaimana caranya agar Tuan menikahinya.
Dan semesta membisikinya sebuah ide cemerlang.
Meskipun memiliki tiga istri, Tuan tidak memiliki anak perempuan. Ketiga istrinya hanya memberinya tujuh anak laki-laki.
Ia akan mengaku hamil. Tuan pasti percaya, karena mereka tidak pernah memakai pengaman.
Barangkali, itu akan membuat Tuan berharap mendapatkan seorang putri darinya.
Dan menikahinya.
yang masih jadi pertanyaan di benakku adalah, asal usul Damar.
keren abis
penulisan biar alur maju mundur tapi runtut
semoga banyak yg baca dan suka Thor semangat
sehat selalu author