Kisah Cinta Devanno dan Paula tidak berjalan mulus. Sang mama tidak setuju Devanno menikahi Paula yang bekerja sebagai waiters di sebuah diskotik. Sang mama berusaha memisahkan Devanno dan Paula. Ia mengirim Devanno ke luar negri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara julyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 22
Mendengar ucapan David barusan, Vania melebarkan matanya yang bening itu. Dia kelihatan sangat terkejut.
"Apa? mas Vano ke Amerika?" tanyanya kemudian.
"Iya," jawab David yang sepertinya paham atas keterkejutan Vania.
"Kok, kak Paula nggak pernah cerita sama aku. Pantas nggak pernah datang ke rumah," ucap Vania.
"Dia buru-buru perginya," jawab David.
"Yah, begitulah orang-orang kaya, buru-buru, repot dan nggak ada waktu. Itulah warna-warni kehidupan mereka yang sibuk," kata Vania sambil tertawa.
"Yah, begitulah," sahut David lagi.
"Enakan juga jadi orang biasa, santai," ucap Vania lagi yang kelihatan masa bodoh itu.
David tersenyum mendengar ocehan Vania. Adik Paula itu agak lain dari sang kakak yang sedikit pendiam. Sifatnya lebih terbuka, supel, ramah dan suka bercanda.
"Siapa namamu? tanya David.
"Nama panjang atau pendek?" Vania tertawa lagi, sehingga lesung pipi miliknya mencuat dan menambah kesan manis di wajahnya.
"Nama panjang dan nama pendek juga," jawab David sambil tersenyum.
"Nama panjang ku Vania Anastasya, nama belakangnya sama dengan nama kak Paula. Itu nama pemberian orang tua kami. Nah kalau nama pendek, mas David cukup panggil aku Vania aja," ucap Vania sambil kembali terkekeh.
"Baiklah, kalau begitu aku akan memanggilmu Vania," David pun ikut tertawa.
Di dalam hatinya, David semakin kesal pada mamanya. Mamanya yang selalu menghina dan merendahkan keluarga Paula. Padahal yang dia perhatikan saat ini, keluarga ini keluarga baik-baik dan tampaknya saling menyayangi.
"Apanya yang kurang dari keluarga ini? memang mama sangat sombong," batin David.
"Bolehkan aku memanggilmu Vania saja?" kata David.
Vania tertawa lagi dan lesung pipit itu juga tampak lagi menghiasi wajahnya yang cantik.
"Boleh saja, tunggu sebentar ya mas, biar ku panggilkan kak Paula," sahutnya kemudian.
"Apa Paula sedang sibuk?" tanya David.
"Enggak, kayaknya cuma lagi melamun di kamarnya."
"Hemmm, begitu," David berpikir lagi, berarti Paula masih terus memikirkan masalahnya itu. Dia merasa kasihan pada gadis itu yang sepertinya benar-benar tertekan.
"Apakah kira-kira kedatanganku ini mengganggu nya?"
"Kayaknya enggak deh mas, karena kak Paula saat ini dia sedang sakit."
"Sakit?" David bertanya dengan khawatir.
"Jangan-jangan Vania udah curiga dengan kehamilan kakaknya," gumam David dalam hatinya.
"Ya sakit rindu," setelah berkata begitu, Vania kembali tertawa lagi.
Kemudia dengan langkah lebar ia masuk ke dalam dan menuju kamar Paula untuk memanggil kakaknya itu.
Sepeninggal Vania, David tersenyum sendiri. Dia merasa cukup aneh dengan pengalamannya dua hari ini.
Kemarin saat berkenalan dengan Paula, baru sebentar saja dia sudah merasa seperti sudah kenal lama. Dan sekarang, baru saja dia mengenal adik gadis itu, dia juga merasa seperti sudah lama berkenalan. Bahkan dia sudah begitu cepat akrab dengan gadis yang bernama Vania itu. Ini adalah sesuatu yang hampir tak pernah di alaminya.
Sambil menunggu Paula keluar, David memperhatikan ruang tamu rumah ini. Rapi dan bersih walaupun tidak ada barang-barang mewah yang tertata disana.
Paula keluar menemui David. David melihat Paula siang ini berbeda dengan Paula yang di lihatnya semalam. Saat ini wajah Paula polos tanpa polesan make up.
Rambutnya di cepol ke atas. Memakai baju rumahan sederhana yang bahkan warnanya sudah mulai memudar. Tapi sedikitpun itu semua tidak mengurangi kecantikan Paula.
"Maaf, aku datang tanpa memberitahumu lebih dulu, kalau kamu sedang sibuk bilang saja, lain kali aku datang lagi," kata David setelah Paula duduk di depannya.
"Nggak apa-apa kok mas, aku nggak sibuk," jawab Paula.
"Sebelum kita bicara, Dimana ibumu? bolehkah aku berkenalan dengan beliau?" kata David lagi.
"Ibu lagi nggak ada di rumah mas, ada panggilan untuk membantu masak di acara pesta," jawab Paula.
"Ohhh."
"Mau minum apa," tawar Paula dengan suara lembut.
"Kita cuma punya sirup dan teh aja kak Paula, ngapain kakak pake acara nawarin segala, entar kalau mas David minta yang lain gimana?" Vania yang masih berdiri di ambang pintu menyela perkataan kakaknya sambil tertawa.
Mendengar gurauan Vania, David tertawa. Paula juga tersenyum sambil melirik adiknya.
"Maaf mas David, adik ku itu memang agak bandel," katanya kemudian.
"Dia asyik, aku suka keramahannya dan candaannya," sahut David.
"Nah kan kak, aku tuh nggak bandel," Vania menimpali.
"Hush, udah sana masuk!" usir Paula dengan sayang.
"Masuk itu, maksudnya aku di suruh nonton tv atau buat minuman?" tanya Vania bercanda lagi.
"Nggak usah repot-repot Vania, aku cuma sebentar kok," sela David.
"Ah, cuma bikin sirup aja apa susahnya," Vania melangkah masuk.
Setelah kepergian Vania, David kembali menatap Paula.
"Paula, adikmu sangat ramah dan menyenangkan. Enak di ajak ngobrol. Tapi kedatanganku kesini ada maksud tertentu yang hanya akan kita bicarakan berdua saja. Maukah kamu pergi denganku untuk membicarakan maksudku ini?" kata David.
Paula mengerutkan dahinya.
"Apakah itu penting sekali mas? apa nggak akan mengganggu urusan kerjaanmu kan sekarang jam kerja," tanya Paula.
"Apa yang mau aku bicarakan denganmu ini sangat penting, Paula. Karena ini menyangkut dirimu. Aku udah menemukan jalan keluar untuk masalah yang kamu hadapi."
"Benarkah mas, tapi...,"
"Jangan khawatir masalah pekerjaanku, aku sudah mengaturnya," David memotong ucapan Paula.
"Lalu, dimana kita akan bicara mas?"
"Di restorant langgananku, tempat nya sangat nyaman."
"Aku nggak selera makan."
"Minum jus saja."
"Jangan bicarakan soal makanan mas, aku ingin muntah mendengarnya."
Mendengar perkataan Paula yang terakhir, David baru sadar bahwa Paula masih dalam kondisi tak menentu. Akibat kehamilannya yang mulai berproses. Perubahan fisiknya juga mempengaruhi, mengakibatkan dia mudah sekali mual dan pusing.
"Maaf, kalau begitu kamu saja yang menentukan tempatnya," kata David cepat-cepat.
"Tempatnya sih udah oke mas, cuma soal makanan biar aku saja yang memilih, karena membayangkan makanan aja rasanya mau muntah."
"Baiklah."
"Oke, aku ganti pakaian dulu ya mas."
"Silahkan."
Ketika Paula masuk ke kamarnya, Vania keluar dengan membawa dua gelas minuman yang langsung di letakkannya di depan meja David.
"Silahkan di minum, mas."
"Ya, terimakasih."
"Hari ini adalah giliranku untuk masak, aku harus ke dapur sekarang," Vania tertawa sambil membawa baki yang sudah kosong.
David tersenyum menanggapi ucapan Vania. Dia berpikir bahwa di rumah ini ada pembagian tugas yang sangat adil. Dan mereka melakukan tugasnya masing-masing dengan senang hati. Walaupun tanpa pembantu rumah tangga sepertinya di rumah ini segala sesuatunya berjalan dengan lancar. Sungguh sangat menyenangkan menjadi keluarga ini.
Tak lama kemudian Paula keluar dari kamarnya. Paula memakai celana jeans panjang dan di padukan dengan blus yang tampak serasi.
Rambut yang tadi di cepolnya, di lepaskannya, tergerai menyentuh bagian atas punggungnya.
Tambahan make up hanya ada pada bibirnya yang sekarang di beri sentuhan lipstik warna muda yang cocok dengan warna pakaiannya.
"Kamu tampak cantik dengan pakaianmu itu!" komentar David sambil mengambil kunci mobilnya.
"Sebentar lagi pakaian ini nggak akan bisa ku pakai lagi," lirih Paula dengan raut muka yang tampak sedih.
David melihat perubahan raut wajah Paula, sehingga dia tidak mau melanjutkan pembicaraan tentang hal itu. Di ajaknya Paula untuk segera berangkat.
Bersambung....
Semoga Paula bisa melewati masalah ini. Hrus bgt di support keluarga sih....
tidak semua waitress club malam itu berstatus wanita gampangan....keren....
Poor girl. Semoga Paula ttap bisa mmpertahankan bayinya. Tapi aku takut ngebayangin gimana reaksi ibunya Paula...
Ingat ya kamu habis ngapain sama Paula !! Jgn habis manis, sepah dibuang 😤😤